(Komentar Yang Bergentayang di Media Sosial Melihat Proses Jalannya Pembangunan)
Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Munculnya kritikan dalam masyarakat, yang mereka sampaikan melalui media sosial ( Instagram, Fecebook dan WhatsApp ) mencerminkan keadaan yang sedang dialami oleh masyarakat dalam melihat jalannya proses pembangunan di wilayah dataran Tinggi Tanah Gayo ( baca : wilayah kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah ) yang menginginkan koreksi, perbaikan dan menyebutkan adanya perubahan atau pergeseran nilai yang perlu diperhatikan.
Kritikan muncul biasanya dihubungkan dengan perlunya suatu situasi ideal dan perilaku ideal. Apabila suatu kritikan ditujukan kepada suatu golongan elite dalam dunia yang mengurus jalannya proses pembangunan, maka biasanya yang dipermasalahkan adalah ada atau tidaknya pelaksanaan fungsi dan tugas mereka berdasarkan etos dan moralitas yang tinggi, sebagai mana yang selalu diharapkan oleh masyarakat luas kepada mereka yang berkecimpung menentukan sepak terjang proses jalanan pembangunan di wilayah Dataran Tinggi Tanah Gayo
Kekuatan kritikan, baru akan muncul kalau sudah disampaikan ke publik. Tapi, kita sering mendengar seorang pejabat dalam jajaran elite birokrasi Dataran Tinggi Tanah Gayo, baik di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, ngomong, “ kalau mau mengkritik sampaikan langsung kepadanya pribadi, jangan dibeberkan atau dilontarkan lewat pers”.
Kalau saran sang pejabat itu, itu kita patuhi, atau kita langsung menyampaikan masalah keberatan atau keluhan terhadap kebijaksanaan sang pejabat tersebut. Itu namanya menyampaikan usul atau saran. Bukan lagi kritikan namanya. Contohnya lagi, misalkan kepala dinas di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah atau pejabat penentu kebijakan public yang minta agar bila memuat koment di Instagram, Fecebook dan WhatsApp malahan di media cetak jangan menjurus kepada pembentukan – pembentukan kontroversial, karena itu bisa menimbulkan “polemik”. Itu bukan kritikan, tapi itu sudah namanya membentangkan masalah. Kalau seorang cowok ngomong ke pacarnya, “lipstick yang adik pakai terlalu tebal kayak WTS menunggu tamunya”, tapi sambil tersenyum dengan bahasa yang penuh tenggang rasa. Itu namannya merayu, bukan mengeritik lagi.
Kritikan memang perlu disampaikan dengan lugas, tajam dan langsung to the point, alias tidak bertele-tele. Sebuah kritikan yang penuh tenggang rasa dan basa basi bisa mengandung bahaya akan sampai ketujuan secara bias alias samar-samar. Bisa jadi yang di kritik tidak dapat menangkap maksud pengkritik tapi dengan tafsiran yang keliru. Ini menyedihkan, karena tujuan utama sebuah kritikan dalam melihat jalannya pembangunan di wilayah dataran tinggi Tanah Gayo adalah menegakkan kebenaran sesuai dengan realita untuk meningkat mutu dan kualitas pembangunan yang selama ini cukup pantas kita sebut terpuruk dengan dana yang melimpah.
Kita ambil contoh kasus, misalnya sekarang banyak mahasiswa , kita lihat saat ini berani turun kejalan-jalan menentang kebijaksanaan rejim penguasa yang menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Mahasiswa tahu hal tersebut tidak akan berubah 100 % . Mereka tau itu tembok hanya bisa mengantarkan mereka kebelakang tirai besi dan di tuduh dengan bermacam- macam tuduhan seperti anti kemapananlah dan lain sebagainya. Tapi tembok mempunyai bagian – bagian yang lemah, seperti kemiringan, retak – retak dan lainnya hingga perlu diperbaiki, diluruskan atau dibuat rata. Kalau kemudian mereka itu ditangkap. Itu sudah resiko mereka, kalau mereka diamkan saja, itu juga berbahaya. Yang jelas, kritikan memang memerlukan pengorbanan.
Sebuah kritikan harus di publikasikan atau disampaikan di depan forum Instagram, Fecebook dan WhatsApp, bukan tatap muka empat mata. Kalau seandainya saja, kalau sebuah kritikan tidak mengandung kebenaran, pasti akan di tertawakan dan ditolak masyarakat. Kritikan yang mengandung kebenaran itu tetap beresiko menjatuhkan maupun membangun, bergantung pada pihak yang dikritik. Kalau pihak yang dikritik memang rapuh, dia akan segera jatuh. Tapi, kalau yang dikritik kuat, justru akan semakin kukuh.
Manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial. Namun, sebenarnya dia tetap merupakan individu yang unik. Tak seorang pun di dunia fana ini yang sama dalam segala hal dengan orang lain. Namun, kecenderungan manusia sebagai makhluk social juga menjuruskan individu menuju keseragaman. Seperti sekolah, media massa, etika, norma-norma, kecenderungan individu menjadi massa yang seragam.
Kalau menyangkut hal-hal yang sifatnya fisik, memang tidak masalah. Namun, kalau hal yang sama juga mulai menyangkut soal berfikir, masalahnya menjadi lain.
Ada lagi kritik yang muncul dari pengamat, yang menginginkan jabatan kepala dinas atau jabatan strategis lainnya diangkat dari kalangan orang-orang professional yang mengerti tentang tengek bengek bidangnya dan punya rekan jejak yang cemerlang, punya ide kreatif dan inovatif bukan yang berprinsip ABS (Asal Bapak Senang). Dan bukan lahir dari kalangan politikus atau diangkat berdasarkan kedekatan, relasi atau kekerabatan yang cenderung lebih berazaskan manfaat atau keuntungan. Kalau bukan itu standar penangkatannya. Maka tunggu kehancuran.
Banyak perubahan besar yang positif dimuka planet bumi ini terjadi justru karena individu – individu yang berani berpikir lain (aneh). Individu yang kuat memang siap untuk dicap aneh dan dikucilkan lantaran melawan arus massa kadang-kadang tak kalah anehnya. Orang bijak bilang “ jadilah orang aneh, karena orang anehlah yang bisa merubah dunia”.
Dan kitapun juga berharap kepada para pengeritik yang mereka sampaikan melalui Instagram, Fecebook dan WhatsApp jangan asbun (Asal Bunyi). Tapi, ada solusi yang ditawarkan atau diajukan. Bukan karena sentiment (kepentingan) sesaat, yang penting hantam dengan prinsip cari kesalahan dengan bermacam argumentasi sebagai bahan pembenaran.
Kritikan yang muncul akhir – akhir ini dalam melihat jalanya proses pembangunan yang berkembang Instagram, Fecebook dan WhatsApp , sudah sewajarnya dibawa ketengah – tengah dialok dalam tataran lokal, dan menggerakan dialok, hingga nasib wilayah kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah jangan hanya diputuskan satu atau dua golongan saja yang berprestasi mana tahu mana yang baik bagi masyarakat wilayah dataran tinggi Tanah Gayo. Hal ini harus menjadi perdebatan dan tukar pikiran dilembaga legislative tingkat kabupaten, dalam dunia pers dan diberbagai pentas lainnya.
Untuk membawa dataran tinggi Tanah Gayo (Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah) hari depan yang penuh tantangan, yang hanya dapat kita atasi dengan selamat, dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional, keterbukaan, kesediaan menerima kritikan dan koreksi, dengan pola yang horizontal dan egaliter agar terbuka, kemungkinan mengeluarkan pikiran-pikiran alternative lewat proses kreatif yang bebas oleh sebanyak mungkin orang dalam stuktur yang benar-benar demokrasi dengan tidak mengeyampingkan hak-hak azasi manusia.
Dataran tinggi Tanah Gayo (wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah) akan bangkit lebih cepat lagi dengan potensi yang cukup pantas kita sebut menggembirakan, menjanjikan bila dikelola oleh mereka-meraka yang betul-betul professional dalam bidangnya. Kita tidak munafik, siapa sih yang tidak butuh jabatan, kehormatan dan uang. Tapi janganlah sampai mengeruk dengan motto ‘ lagi masih mumpung ada kesempatan “ Kalau kita mulai belajar mengadopsi pemikiran-pikiran yang kritis yang sifatnya membangun. Tapi jangan anggap sebuah kritikan yang muncul di media social Instagram, Fecebook dan WhatsApp sebagai too good to be true.
Takengon, 19 Maret 2020
*Penulis seorang antropologi yang berdomisi diseputaran Kota Takengon.