Pembanding Tunggal Seminar Nasional Pengusulan Rondahaim Jadi Pahlawan Nasional, Ini Kata Salman Yoga

oleh

Medan-LintasGayo.co: Seminar Nasional Pengusulan tokoh pejuang tanah Simalungun Rondahaim yang digelar oleh Universita Sumatera Utara (USU) bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Simalungun Selasa 3 Mart 2020 menghadirkan sejumlah narasumber.

Diantara narasumber dan moderator dalam seminar tersebut adalah Drs, Pepen Nasrudin, MS (Dirjen. PS Kementarian Sosial RI), Prof. Dr. M. Dien Majid (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr. Suprayitno, M. Hum (FIF. USU), Dr. Abdul Syukur, M. Hum (UNJ), Dr.Ida Liana, M. Hum (Unimed), Prof.Dr. Boga Saragih, ST, MT (Univ. Bakry).

Disamping keenam nasumber panitia juga mengahdirkan Salman Yoga S dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pimpinan Lembaga The Gayo Institute sebagai pembanding tunggal.
Seminar yang dilaksanakan untuk ke dua kali ini dihadiri oleh 250 peserta mahasiswa S1 dan S2 Jurusan Sejarah serta sejumlah pejabat terkait. Diantara yang hadir adalah Drs, Pepen Nasrudin, MS (Dirjen. PS Kementarian Sosial RI), Dr. JR Saragih (Bupati Simalungun), Drs, Bambang Sugeng, (Dirjen. Tp2T ke Pahlawanan Kementerian Sosial RI), Dr. Budi Agus Toni,MS (Dekan FIB USU).

Dalam kesempatan itu Salman Yoga S menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang pengusulan, penganugrahan pahlawan nasional yang selama ini dianggap kurang mengakomodir aspirasi masyarakat.

Aspirasi itu adalah adanya dikotomi dalam pemenuhan syarat seorang tokoh yang diusulkan sebagai pahlawan nasional, baik terkait peran dan keperjuangan yang harus lintas wilayah, agama, etnik juga kepentingan, data penunjang terkait catatan kolonialis dan lain-lain.

Sementara masyarakat mempunyai tradisi tersendiri dalam pewarisan sebuah fakta perlawan terhadap penjajah yang belum tentu dicatat oleh pihak kolonialis sendiri.

“Demikian juga dengan gelar kepahlawan seorang tokoh dari wilayah hendaklah berjenjang dan mempunyai tingkatan penganurahan, tidak bertumpu pada kebijakan politik di tingkat nasional semata. Sehingga setiap tokoh/pelaku perlawanan terhadap kolonialis di daerah mempunyai hak yang sama dalam pencatatan sejarah perlawan anti penjajahan. Terlebih sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945 penjajah itu bukan saja Belanda”.

Lebih lanjut disampaikan, sudah selayak dan sepantasnya pemberian dan penugrahan gelar kepahlawanan tidak berpusat pada hak preogatif presiden saja, tetapi dimungkinkan juga oleh Pemerintah setingkat Gubernur dan Bupati dengan kriteria dan syarat-syarat tertentu. Dengan demikian akan ada gelar kepahlawanan setingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan kavasitas dan eksistensi sang tokoh yang diusulkan.

“Kita berharap regulasi tentang pemberian/pengangkatan seorang tokoh pahlawan yang ada selama ini dapat disesuaikan, mengingat setiap daerah di negeri ini mempunyai tokoh masing-masing dalam melawan penjajah. Dengan diakomodirnya tingkatan pemberian/pengangkatan seorang tokoh pahlawan ini tentu akan berdampak pada nilai kebanggaan setiap wilayah sebagai bagian penting dari negara Kesatuan Reblik Indonesia,” jelasnya. [WM]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.