Oleh : Fauzan Azima*
Panggung sandiwara kehidupan ini susah ditebak endingnya. Sehingga ketika sudah terjadi, baru kita berucap, “Sudah demikian takdirnya” demikian kesimpulan Pang Gerpa yang tidak pernah bermimpi akhirnya bisa bergabung dengan Muallim Muzakkir Manaf (Panglima GAM) di Seumirah dan Paya Rubik (Sawang, Aceh Utara). Ketika itu bersama-sama menghindari kepungan TNI/Polri.
Pang Gerpa tidak pernah terbayang bisa berperang; menyerang pos-pos TNI/Polri di berbagai tempat. Apalagi sebagai Ketua Representasi GAM di AMM Aceh Tenggara, serta sebagai salah seorang pendiri Sekolah Pendidikan Demokrasi Aceh (SPDA), meskipun sekarang memilih sebagai seorang petani untuk menginspirasi masyarakat di tempat tinggalnya di Aceh Tenggara, tempat di mana dirinya bergerilya dan diamanahi tanggung jawab menjadikannya wilayah berdaulat bagi pasukan GAM.
“Bermula dari upaya penegakan syariat Islam di Aceh yang dipelopori oleh ulama dan santri yang bergabung dalam organisasi Rabithah Taliban Aceh (RTA). Dari organisasi itulah saya akhirnya menjadi gerilyawan GAM” jawab Pang Gerpa, ketika saya menanyakan, “Bagaimana ceritanya sampai menjadi salah seorang gerilyawan GAM?”
Pang Gerpa lahir di Pante Raya, Bener Meriah pada 11 Januari 1979 adalah nama panggilan ketika bergrilya sebagai Pasukan GAM Wilayah Linge yang kemudian bersama Teungku Win KK sebagai perintis terbentuknya Pasukan GAM Wilayah Alas dan Tanah Karo (Aceh Tenggara dan Wilayah Karo), sedangkan nama sebenarnya adalah Teungku Juanda.
Pada tahun 1998 “gerakan” Taliban mendapat restu dari GAM untuk melakukan razia tempat-tempat maksiat dan memobilisir perempuan Aceh untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat dan penegakan syariat Islam.
Panggung Hiburan Rakyat (PHR) atau bioskop di Aceh Tengah pada waktu itu tidak boleh lagi beroperasi. Juga cafe-cafe tempat berkumpulnya anak-anak muda yang cenderung menjadi tempat khalwat juga menjadi sasaran operasi “pasukan” Taliban. Para waria dihimbau untuk kembali kepada kodratnya sebagai lelaki tulen atau bisa diarak keliling kota, kalau tidak mengindahkan peringatan tersebut.
Pada masa itu, aparat keamanan membiarkan aksi mereka. Pembiaran itu ada dua sebab; pertama euforia masyarakat dengan kejatuhan Soeharto dari Presiden RI yang membuat aparat tidak bisa berbuat banyak, kedua aparat sedang melakukan operasi intelijen dengan senyap, sampai mereka bisa memetakan kekuatan rakyat Aceh: GAM, Taliban, Ulama, aktivis LSM dan mahasiswa.
Ternyata benar, ketika intelijen TNI/Polri telah menemukan bukti adanya afiliasi Taliban dengan GAM, terutama dalam mengorganisir mogok massal dan mobilisasi gerakan referendum dengan opsi: Aceh merdeka lepas dari Indonesia atau Aceh menerima otonomi khusus.
Sejak itulah markas-markas RTA, kantor-kantor LSM dan aktivis mahasiswa menjadi sasaran penggerebekan serta sweeping TNI/Polri. Pada waktu itu banyak anggota Taliban dan aktivis yang ditangkap. Banyak juga di antara mereka yang sudah ditangkap dan tidak kembali lagi. Bahkan sebagian jenazah mereka dibuang di Cot Panglima (Jalan Bireuen-Takengon), Uyem Pepongeten (Bener Meriah) dan Bur Lintang (Aceh Tengah).
Menyaksikan kenyataan itu, Pang Gerpa, Pang Ganer, Win KK, dan Sabri alias Pang Pelisi, terpaksa juga harus melarikan diri karena sudah masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) TNI/Polri. Sasaran pelarian Pang Gerpa dan kawan-kawan adalah daerah Kampung Camp, daerah yang berbatas dengan Nisam, Wilayah Pase yang masih berdaulat. Di sana tempat Teungku Ilham Ilyas Leube sebagai Panglima GAM Wilayah Linge dan Komandan Operasi Teungku Ramli Paya bermarkas. Teungku Ramli Paya adalah anggota TNI Aceh Barat yang membelot kepada GAM.
Merasa sudah kepalang tanggung, pulang kampung pun sudah tidak mungkin, sama saja menyerahkan nyawa kepada TNI/Polri, akhirnya Pang Gerpa bersedia dibai’at dan ikut latihan militer GAM Wilayah Linge angkatan kedua bersama Pang Kilet, Pang Usoy, Pang Ekonomi, Pang Damar, Pang Dompeng, dan para pang lainnya.
Pang Gerpa dan pasukan lainnya mendapat latihan dasar militer GAM, bela diri, bongkar pasang berbagai Jenis senjata dan latihan menembak. Pada latihan selanjutnya Pang Gerpa terpilih untuk melanjutkan pendidikan khusus, yakni merakit bom pimpinan Ayah Banta.
Hanya saja kelebihan Pang Gerpa dibandingkan dengan pasukan GAM Wilayah Linge lainnya, adalah kemampuannya dengan fasih berbahasa Aceh, sehingga mudah baginya masuk ke kalangan manapun. Baik sesama pasukan GAM maupun masyarakat di Wilayah Pase.
“Dari berlikunya perjalanan perjuangan, satu peristiwa yang tidak bisa saya lupakan, seperti terlukis jelas di ingatan saya, yakni ketika ditangkap oleh TNI di daerah Alu Baneng, Nisam, Aceh Utara” Kata Pang Gerpa menarik nafasnya dalam-dalam dan melepasnya kembali. Sikap itu sebagai upaya menenangkan bathin dalam menceritakan kisah pahit yang menusuk ulu hati.
Ketika itu Pang Gerpa tidak mengetahui situasi karena komunikasi terputus dengan pasukan lainnya, sampai kemudian ditangkap oleh pasukan TNI yang sedang menyisir di kawasan itu. Setelah mengalami penyiksaan yang pedih; badannya ditoreh dengan sangkur bertulisan GAM, dan puting susunya dipotong. Pasukan TNI itu telah berencana membakar Pang Gerpa dengan posisi terikat. Cabang-cabang pohon karet dan daun serta pelepah kelapa kering sudah disiapkan. Satu pasukan GAM Wilayah Linge yang bernasib sama dengan Pang Gerpa adalah Teungku Mutia alias Pang Kerincing.
“Alhamdulillah, entah dari mana datang kekeramatan kepada saya, sehingga saya bisa lolos dari rentetan tembakan pasukan TNI dan pembakaran” kata Pang Gerpa melanjutkan ceritanya. Yang jelas, hampir tiga bulan “roh, arwah, semangatnya” hilang. Sampai kemudian datang Ama Gajah, begitu mereka menyebut Panglima GAM Wilayah Linge, Fauzan Azima, yang membawa ikan bandeng 3 Kg, sedianya untuk “big lunch” ala gerilyawan.
“Pora-pora paden kisipe….(artinya, asal saja bersihkan ikannya…),” kata Ama Gajah.
“Sejak itu, baru ada senyum, baru ada tawa, baru kembali roh, arwah, samangat saya sebagai pasukan GAM” katanya tertawa mengakhiri ceritanya.
(Mendale, 1 Maret 2020)