Belajar Semangat Pengabdian dari Pedalaman Kala Wih Ilang

oleh

Catatan : Mahbub Fauzie*

Menjadi seseorang yang keberadaan bisa selalu bermanfaat bagi sesama adalah hal yang sangat dianjurkan dalam ajaran agama (Islam). Tindak dan laku perbuatan serta tutur-ucap dan perkataannya selalu memunculkan nilai-nilai kefaedahan bagi sesama.

“Khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.” Demikian kalimat hikmah yang sering kita baca dan dengar. Jika kalimat ini diresapi, maka kita akan bisa menyimpulkan kebalikannya, bahwa seburuk-buruk manusia adalah yang keberadaannya selalu menimbulkan kemudharatan bagi sesama!

Dalam realitas keseharian, tidak bisa dipungkiri. Dua hal yang berlawanan selalu saja muncul. Ada orang baik dan ada pula yang sebaliknya; yang satu membawa manfaat dan yang lain membawa mudharat; baik bagi diri maupun lingkungannya.

Untuk menjadi orang baik yang bisa bermanfaat bagi lingkungannya tidak butuh syarat harus terlebih dahulu menjadi orang hebat. Juga tidak perlu harus menunggu menjadi pejabat atau orang berpangkat. Tapi, cukuplah dengan niat dan hajat “lillahi ta’ala” untuk segera berbuat. Siapapun orangnya bisa punya peluang mendedikasikan dirinya bisa bermanfaat. Walau dengan keterbatasan kemampuan diri dan sarana serta fasilitas yang dimiliki.

Seseorang mempunyai efek sosial positif yang dahsyat, bukan karena strata, jabatan atau pangkat tinggi yang melekat, tapi karena apa yang bisa diperbuat itu punya dampak (positif) dari apa yang dilakukannya. Siapapun orangnya jika peran-peran sosialnya sebagai manusia memiliki nilai-nilai kebaikan, kemanfaatan bagi sekitarnya, maka dalam sudut pandang ajaran Islam Ia telah mengaktualisasikan Islam sebagai Rahmatan Lil ‘alamin.

Sayyid Quttub berujar: “Innal ladzii ya’iisyu li nafsihi, ya’iisyu shaghiiran wa yamuutu shaghiiran. Wal ladzii ya’iisyu li ummatihi ya’iisyu ‘azhiiman kabiiran wa laa yamutu abadan.” Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya ia akan hidup mulia dan besar, serta tidak akan pernah mati.

Jika nawaitu lillahi ta’ala sudah menjadi spirit dalam melaksanakan amal perbuatan, terlebih yang dilaksanakannya itu merupakan tugas dan kewajibannya; maka niat suci itulah yang menjadi fondasi kokoh pengabdiannya itu. Jiwa mengabdi untuk berbuat yang bermanfaat berlandaskan pada keyakinan, bahwa yang dilakukannya adalah dalam rangka ibadah. Bukan karena sesuatu apapun atau yang lainnya!

Menarasikan tentang semangat pengabdian ikhlas dalam rangka ibadah dengan nawaitu lillahi ta’ala; tidak salah jika kita belajar pada sosok-sosok inspiratif dari pedalaman, yakni dari Dusun Kala Wih Ilang. Wilayah terpencil yang berada di Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah.

Adalah Sulastri S.HI dan Amalan Salihan, SPd.I serta rekan-rekan seperjuangannya di Kala Wih Ilang. Saling bersinergis membina umat dalam ranah dakwah dan tarbiyah.

Sudah beberapa tahun Ibu Sulas Inen Nasrah berjuang dengan semangat mengabdi sebagai “srikandi” tarbiyah atau pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Kala Wih Ilang. Dengan segala keterbatasan yang ada, Ia yang juga mendapat suport dari Suaminya , Aman Nasrah. Petani pekebun di dusun yang juga menjadi “lahan berAmal” keluarga mereka itu.

Dedikasi Sulastri SHI di MIS Kala Wih Ilang sudah teruji dan terakui. Dari sinilah “cahaya di atas bukit” bersinar dan menjadi inspirasi jajaran Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh yang saat itu dibawah komando Bapak Drs H M Daud Pakeh memberikan perhatian serius bagi kemajuan pendidikan di daerah pedalaman ini.

Singkat cerita, MIS Kala Wih Ilang pun populer. Sebuah madrasah yang awal mulanya dirintis oleh “pakcik” dari Aman Nasrah yakni Pak Drs H Thamren (Alm) yang saat itu sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pegasing.

MIS Kala Wih Ilang hingga saat ini masih eksis dengan Bu Sulastri SHI yang bukan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai kepala madrasahnya. Di bantu oleh 3 Guru PNS dari jajaran Kankemenag Aceh Tengah dan 2 tenaga bakti.

Mereka, dengan semangat mengabdi untuk mencerdaskan putra putri negeri yang ada di Kala Wih Ilang; di antara murid-muridnya ada anak-anak dari para mualaf (orang yang baru masuk Islam) dan ada juga yang Non Muslim. Sebagaimana diketahui, bahwa di dusun Kala Wih Ilang banyak warga yang berasal dari Sumatera Utara yang mengadu nasib sebagai petani di daerah ini. Sebagian merupakan pengungsi Sinabung.

Perjuangan gigih Sulastri yang bukan pegawai negeri itu dengan segala suka dan dukanya sempat mendapat apresiasi dari jajaran Kemenag Aceh, bahkan Kemenag RI di pusat. Belum lama ini Ia dipanggil ke ibukota untuk mendapatkan penghargaan. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan olehnya sesuai pengakuan jujurnya. Walau sebenarnya itu bukan yang menjadi niatannya, tapi Ia merasa berterima kasih kepada pemerintah dan bersyukur kepada Allah Swt.

Sosok lain yang juga inspiratif di Kala Wih Ilang adalah Amalan Salihan, S.Pd.I salah satu penyuluh agama Islam Non PNS di wilayah tugas KUA Kecamatan Pegasing yang mendapatkan “tugas” untuk membina dan membimbing dalam kerangka penyuluhan keagamaannya di Kala Wih Ilang.

Bertugas sejak tahun 2017 sebagai Penyuluh Agama Islam Non PNS di jajaran Kemenag Aceh Tengah, satu di antara tugasnya adalah membina masyarakat dalam bidang keagamaan di Kala Wih Ilang yang di sana ada para mualaf.

Tgk Amalan Salihan aktif melaksanakan tugas mulia itu sampai kini. Walau jarak tempuh dari tempat tinggalnya di Kampung Uring Kecamatan Pegasing cukup jauh, tidak kurang dari 50 Kilometer, di tambah kondisi jalan yang cukup menantang, Ia pantang surut melaksanakan kegiatan dakwahnya di Dusun itu. Jadwalnya, setiap Rabu dalam setiap minggunya Ia berangkat ke Kala Wih Ilang, menginap dan Jumat sore baru balik ke keluarga. Di sana Ia melaksanakan kegiatan bimbingan penyuluhan pada kelompok pengajian ibu-ibu dan juga anak-anak serta bapak-bapak.

Semua itu dilakukan dengan penuh kesabaran dan sekali lagi, sama seperti Ibu Sulastri, spirit mengabdi dengan nawaitu tulus karena Allah Swt. Sekali lagi juga, walau bukan pegawai negeri dengan imbalan duniawi yang layak, Tgk Amalan tetap istiqamah melaksanakan tugasnya sebagai Penyuluh Non PNS!.

Dari sosok Sulastri dan Amalan Salihan, serta perjuangannya yang dilakukan ada banyak pelajaran yang patut diteladani, yakni tentang semangat pengabdian yang tidak pernah surut dan lekang. Walau dengan segala keterbatasan yang ada. Insya Allah.

Di Kala Wih Ilang, Jumat tanggal 28 Februari 2020 nuansa ini sangat saya rasakan; karena mengalami langsung beratnya medan dan tantangan dakwah tarbiyah yang mereka hadapi dan melihat langsung dua sosok bersahaja yang inspiratif itu. Dan karenanya, catatan ini saya tuliskan!

*Mahbub Fauzie, Kepala KUA Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.