Oleh : Fauzan Azima*
Saya kira semua kita telah pernah mendengar “Kisah Lukmanul Hakim dan anaknya beserta se-ekor keledai.” Intinya, di mata masyarakat pada masa itu, apapun yang dilakukan Lukman dan anaknya terhadap keledainya semuanya dianggap salah. Masuk pada salah satu kampung, anaknya naik keledai, Lukman menarik talinya, dianggap salah. Masuk kampung lainnya, Lukman yang naik keledai, anaknya menarik talinya, juga dianggap salah. Lalu masuk ke kampung lain lagi, Lukman dan anaknya berjalan tidak menunggangi keledai, juga masih dianggap salah.
Apa yang berlaku pada Lukmanul Hakim, anaknya dan keledai pada zaman itu, begitulah perumpamaan yang berlaku pada PLT Gubernur Aceh sekarang. Apapun yang dilakukannya; baikpun dianggap salah, apalagi salah, tentu semakin dianggap salah. Masalahnya, yang menyalahkan orang-orang yang punya intelektual yang sangat fasih bercerita tentang “Kisah Lukmanul Hakim dan anaknya beserta se-ekor keledainya.”
Di Aceh tidak saja berseliweran generasi serba menyalahkan seperti masyarakat pada masa Lukmanul Hakim dulu, tetapi lebih parah lagi, semakin bertaburan generasi pembenci, dari tokoh intelektual sampai masyarakat awam. Tentu prilaku ini akan meruntuhkan peradaban Aceh sebagai negeri yang bersyari’at.
Prilaku pembenci itu semakin menyala-nyala kebenciannya, pasca kedatangan Presiden RI, Joko Widodo yang memberi harapan besar bagi masyarakat Aceh. Kebencian itu semata-mata ditujukan kepada atas nama Nova Iriansyah. Lama saya merenungkan keturunan siapakah para pembangun kebencian ini? Saya baca berulang-ulang Kitab Suci Al-Qur’an yang tetap aktual sepanjang zaman. Ternyata mereka adalah “reinkarnasi” dari istri Abu Lahab. Namun untuk kepastiannya, saya harus bertanya kepada Teungku atau guru yang lebih faham.
Toyyib, untuk mengulang kaji sebagai ilmu pengetahuan kita bersama, siapakah istri Abu Lahab? Nama lengkapnya; Auraa binti Harb bin Umayyah merupakan salah seorang yang memusuhi Nabi Muhammad SAW. Istri Abu Lahab ini dikenal dengan julukan Ummu Jamil binti Harb. Sebagai mana suaminya, dia wanita yang paling besar permusuhannya kepada Nabi Muhammad SAW. Segala daya upaya dilakukan untuk mewujudkan permusuhannya dan kebenciannya, termasuk membawa dahan penuh duri pada jalan yang sering dilalui Rasulullah SAW pada malam hari.
Kejahatan dan kebencian Abu Lahab dan istrinya terhadap Nabi Muhammad SAW “terekam” dalam Al-Qur’an pada surat ke-111, yakni Al-lahab atau nyala api. Surat ini diturunkan di Mekah, ketika Rasulullah SAW naik ke bukit Shafa dan menyeru kepada kaum Quraisy untuk berkumpul. Rasullullah bersabda, “Wahai kaumku, jika aku ceritakan kepada kalian bahwa musuh mengintai kalian di belakang, apakah kalian mempercayaiku?”
“Tentu saja kami percaya” jawab mereka.
“Saat ini Aku akan memberikan peringatan kepada kalian tentang siksaan yang amat dahsyat” lanjut sabda Rasulullah SAW.
“Celaka kamu, Muhammad! Apakah untuk ini kamu mengumpulkan kami?” tiba-tiba interupsi Abu Lahab dengan sombong.
Kemudian Allah SWT menurunkan Surat Al-lahab yang terdiri atas lima ayat. Tidak saja menjadi peringatan keras kepada Abu lahab, tetapi juga kepada istrinya, Ummu Jamil binti Harb, yang dikhususkan kepadanya; ayat ke-empat “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah), serta pada ayat ke-lima “Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”
Kinayah kisah di atas telah menjadi peringatan bagi kita dari para ulama dan guru agar tidak bersifat seperti Abu lahab dan istrinya. Apalagi Aceh, yang telah kita deklarasikan sebagai negeri yang bersyari’at Islam. Pada masa akan datang, kita harapkan tidak saja menghukum judi, khalwat dan khamar, tetapi tugas WH diperluas, setidaknya diberi kewenangan mempertanyakan dan memberi peringatan kepada pelaku yang membangun ujaran kebencian, baik lewat media cetak, elektronik maupun media sosial agar negeri Serambi Mekah ini tidak lahir “bijeh” Abu Lahab dan istrinya.
(Mendale, 23 Pebruari 2020)