Catatan Sang Mantan Panglima GAM Linge ; Senjata Juga Punya Roh!

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Pada akhir tahun 2003 Pasukan GAM Wilayah Linge ketika hendak makan siang pernah dikepung dan ditembaki di daerah irigasi Kampung Serule, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah. Saya bersama Teungku Aman Dewi, Teungku Muhammad Gerhana dan Pang Rinen berlari menyelamatkan diri ke hulu sungai.

Penyerangan mendadak dari TNI/Polri itu menyebabkan kami meninggalkan semua barang-barang berharga; termasuk sendal, sepatu, celana, baju, parang, beras empat karung, termasuk nasi yang akan kami dinikmati siang itu kecuali hanya senjata yang bisa kami selamatkan.

Dalam peristiwa itu, kami berpisah dengan Teungku Aman Dewi. Kami menunggu beliau di hulu sungai, tetapi sudah menjelang malam tidak datang juga, maka kami putuskan untuk terus berjalan di hutan pinus yang tidak pernah kami kenal sebelumnya. Berbulan-bulan kami tidak bertemu dengan Teungku Aman Dewi, ternyata beliau tertembak pada bagian pinggulnya dan menyelamatkan diri berlari ke arah barat, daerah Bintang, Sedangkan kami menuju ke tempat yang sama, tetapi kami tersesat dan tembus ke daerah Kala Linge, Kemukiman Wihni Dusun Jamat, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.

Di sana kami bertemu dengan masyarakat dan meminta bantuan sedikit perbekalan, termasuk sendal dan parang. Sangat menderita rasanya berjalan di tengah hutan tanpa alas kaki. Setelah makan dan sudah punya kekuatan, kami meneruskan berjalan ke kawasan persawahan DI/TII di hutan Jamat. Sepanjang perjalanan kami mengumpulkan buah kemiri sebagai perbekalan di jalan.

Pada malam harinya, Teungku Muhammad Gerhana dan Pang Rinen masuk ke Kampung Nasuh mencari perbekalan. Saya sendiri menunggu di hutan. Saya sempat tertidur dan terbangun karena merasa kepanasan. Ternyata saya tidur di atas kuburan berbantal batu nisan. Tidak lama setelah saya terjaga kedua pasukan datang dengan membawa perbekalan yang cukup untuk satu minggu ke depan. Sungguh malam itu kami tidak sabar ingin berpesta setelah beberapa waktu belum makan nasi.

Di tengah-tengah perbincangan malam itu, di dalam hutan belantara ditemani suara binatang malam yang bersahutan adalah soal senjata AK-56 yang dipegang Teungku Muhammad Gerhana. Sebelum terjadi pengepungan terhadap kami, senjata itu telah memberi tanda kepada kami, dengan membuka dan menututup kuncinya dengan cepat sehingga berbunyi…tek..tek…tek. Kami tidak “ngeh” dengan peringatan itu. Kami anggap itu kebetulan, kami tidak peduli. Kemudian senjata itu bermanuver dengan menidurkan dirinya dan berguling. Kami masih tidak perduli karena kami ingin sekali menikmati kari ayam kampung ala chef GAM. Beberapa menit setelah “peringatan” senjata itu, tiba-tiba kami sudah diserang.

Sejak itu kami sadar, ternyata senjata juga punya roh. Bisa jadi rohnya baik atau jahat. Di Aceh ada tradisi “peuseujuk senjata” atau “tepung tawar senjata” untuk menetralisir suatu benda itu berakibat buruk bagi pemegangnya. Wajar saja senjata-senjata itu sebagian punya pengaruh buruk karena berasal dari daerah-daerah konflik; dari Thailand, Philifina, dan negara-negara pecahan Uni Soviet yang kita tidak tahu berapa sudah manusia yang terbunuh dengan senjata itu. Sehingga senjata itu sudah “berhantu”.

Bukti lain bahwa senjata punya roh adalah mereka mendengarkan dan patuh pada amanah. Karenanya ada mantra atau do’a kebal senjata, sarang peluru, pengiles, ilmu menembak dan lain-lain. Tujuan amanah, mantra dan do’a itu agar kita selamat dan tidak menjadi sasaran peluru. Salah satu pasukan GAM Wilayah Linge yang punya ilmu menembak adalah Aman Suhada. Beliau mewarisi ilmunya dari ayahnya, Aman Sinep salah seorang tentara DI/TII Resimen V, pimpinan Teungku Ilyas Leubee.

Pemegang senjata seharusnya punya akhlaq tinggi dan punya “sertifikat” latihan menggunakan senjata serta minimal pernah latihan dasar militer untuk ketahanan fisik dan meningkatkan disiplin. Syarat-syarat tersebut harus terintegrasi pada pemegang senjata. Banyak kasus, kami pernah memberikan senjata kepada orang yang tidak pernah latihan, ketika datang musuh mereka akan lari, tidak memperdulikan senjatanya.

Bagi kami senjata itu hidup. Kami membersihkannya, menambah oli, dan menguatkan bagian-bagian yang renggang sebagai bentuk cinta kasih kami padanya. Ketika berdamai hal yang paling sedih bagi kami adalah menyerahkan senjata. Ketika terjadi penyerangan terhadap kami akan menanyakan, “Bagaimana keadaan pasukan kita?” lalu dilanjutkan dengan pertanyaan, “Apakah senjata kita masih lengkap?” Begitulah penting dan cintanya kami pada senjata yang menjadi kebanggaan bagi kami.

Perdamaian RI-GAM sangat mahal. Senjata yang diperoleh dengan susah payah dan alat percaya diri bagi Pasukan GAM harus dimusnahkan. Akan tetapi karena sudah menjadi kesepakatan, semua harus dikorbankan demi tujuan yang lebih besar, yaitu damai Aceh.

Pada Video berikut ini, Pasukan GAM Wilayah Linge sedang mengumpulkan senjata dalam rangka decommissioning sebagai salah syarat yang sudah diperjanjikan di dalam bitir-butir MoU Hilsinky, Finlandia pada 15 Agustus 2005.

A

(Mendale, 17 Pebruari 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.