Oleh : Sahdansyah Putera Jaya*
Kerajaan Linge pernah eksis sebagai sebuah kerajaaan dengan berbagai resam, kebiasaan adat, adat istiadat dan hukum adat yang beragam berhubungan dengan kehidupan masyarakat Gayo.
Bagi masyarakat Gayo pada masa lalu, lebih terhina disebut tidak beradat daripada tidak beragama, hal ini disebabkan karena bila seseorang melanggar ketentuan adat maka tidak lama lagi dia akan melanggar Agama. Sesuai dengan ungkapan “edet ken pegerni agama”.
Bila agama ibarat tanaman maka adat berfungsi sebagai pagar yang melindungi agama. Masyarakat Gayo yang menganut ajaran Islam memahami bahwa adat yang sesuai dengan hukum Islam akan terus dilaksanakan sedangakan adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dengan sendirinya akan hilang.
Pada umumnya masyarakat di Nusantara khsusnya di kerajaan-kerajaan Islam, posisi hukum Islam pada saat itu sangat kuat dan berlangsung kira-kira mulai tahun 1602 sampai 1800. Pandangan dan pemahaman tentang keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat di nusantara maka munculah teori yang dikenal dengan “Theorie Receptie In Complexu”.
Kerajaan Linge sebagai salah satu Kerajaan Islam di Nusantara juga mempunyai peraturan yang dirumuskan dalam pasal-pasal tentang Kerajaan Linge, pastinya bersendikan ajaran Islam yang dijalankan secara turun temurun sehingga menjadi kebiasaan (mores), dan selanjutnya menjadi adat (custom).
Pada tulisan ini khusus membahas tentang nilai-nilai leadership seorang raja yang harus di miliki dalam aturan tersebut. Nilai-nilai kepemimpinan tersebut diungkapkan dalam rumusan sebagai berikut:
Reje musuket sipet:
1. Murip benar
2. Mate suci
3. Munimang gere angik
4. Munyuket gere rancung
Seorang raja di kerajaan Linge terdahulu mesti memiliki (empat) prinsif nilai kepemimpinan di atas. Pertama: Murip benar. (Hidup di atas kebenaran), seorang pemimpin harus terhindar dari perbuatan mala in se dan mala in pobohita. Seorang pemimpin harus jauh dari perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kesopanan serta juga terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh aturan yang berlaku.
Artinya pemimpin di Kerajaan Linge dahulunya tidak bisa bertidak sewenang-wenang karena dia seorang raja. Menjalankan kebenaran atau memimpin atas dasar kebenaran merupakan salah satu nilai kepemimpinan yang tertinggi.
Kedua: Mate Suci (mati dalam keadan Bersih). Raja yang memerintah juga mesti memahami bahwa kematian merupakan suatu yang sunatullah. Ajal seseorang tidak ditentukan akan tetapi pasti akan tiba, termasuk pada raja sendiri. Atas dasar tesebut sorangan raja diingatkan oleh masyarakat dan pembantunya bahwa dalam menghadapi kematian mesti dalam keadaan suci.
Persiapan untuk menghadapi kematian dengan suci mesti diawali dengan kesucian diri ketika hidup. Kesucian ini dilambangkan dengan membersihkan tubuh dari seluruh najis. Pada masyarakat Gayo najis itu tidak hanya alam tubuh (jasmani) akan tetapi juga ada istilah najis bathin (rohani).
Menjaga seorang raja agar suci dalam kehidupan selama memimpin, maka raja selalu diingatkan agar membersihkan tubuh. Ketentuan ini diamalkan turun temurun yang disebut dengan “munirin reje”, dilakukan setahun sekali.
Selain istilah “munirin reje” juga dikenal istilah ipeneirin proses ini tujuannya sama yaitu untuk membersihkan seseorang dari segala unsur dan anasir yang tidak diinginkan baik secara fisik maupun secara bathin. Ritual ipenirin ini sering dijumpai dan dilakukan di tahun 70-an, saat ini mungkin ada akan tetapi jarang dilakukan.
Ketiga: Munimang gere angik (menimbang tidak berat sebelah). Nilai kepemimpinan ini lebih mencerminkan pada sikap adil dengan tidak merugikan salah satu pihak bila ada dua pihak bersengketa. Keadilan dalam masyarakat Gayo hanya bisa di tegakan oleh raja sebagai pemimpin.
Kedudukan raja pada masa lalu selain sebagai pemimpin (eksekutif) disebut juga dengan istilah ulu rintah, juga berperan sebagai pemutus suatu perkara (yudikatif) yang disebut juga dengan ulu nukum.
Proses hukum dilakukan apabila permasalahan tersebut tidak lagi bisa diselesaikan secara musyawarah (betungkum). Putusan Raja pada masa lalu harus keluar dari mulut Raja walaupun proses untuk putusan tersebut diserahkan pada Petue (lembaga penyidik sekaligus penuntut).
Proses hukum tersebut oleh petue harus mengamalkan dan menjalankan proses pembuktian apabila terjadi pelanggaran hukum adat di masayarakat, dengan peroses pembuktian dengan ungkapan:
Dewe kuring mupenggaruten;
Dewe item mutora mangan;
Engon sareh panang nyata;
Amat tubuh pangan murasa;
Belide iarap tali i kuduk.
Ungkapan di atas berhubungan dengan proses pembuktian perkara, pada ungkapan dewe kuring mupenggaruten – dewe item mutora mangan, berhubungan dengan barang bukti, apa yang menjadi petunjuk dari suatu perbuatan dengan menyelidiki tempat kejadian perkara.
Ungkapan Engon sareh panang nyata- Amat tubuh pangan murasa; hal ini berhubungan dengan saksi yang menyaksikan, bahwa perkara tersebut bukan testimony akan tetapi langsung dilihat, didengar dan dialami oleh saksi tersebut.
Belide iarap tali i kuduk ; berhubungan dengan upaya paksa bahwa seseorang tersebut patut diduga bersalah dan terhadap dirinya bisa dilakukan pemaksaan seperti memborgol dan menghadapkannya kepada raja untuk diputuskan hukumannya. Makna dari proses ini melahirkan putuan raja tidak merugikan atau mnzalimi orang yang tidak bersalah.
Keempat: Munyuket gere rancung (menakar tidak berlebih). Raja pada masa lalu dianggap sebagai penyeimbang antara hak dan kewajiban warganya. Tindakan raja untuk berbuat seimbang ini dicerminkan dengan sikap memberikan kesempatan pada semua orang dengan kesempatan yang sama dengan tidak membedakan asal usul (kuru) dan status seseorang.
Perlakukan yang seimbang dan tidak berat sebelah serta memberikan kesempatan yang sama merupakan alat untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Keempat prinsif tersebut pada dasarnya dapat dipelajari secara akademis pada saat ini khususnya dalam ilmu hukum yang disebut dengan hukum kodrat diterima sebagai prinsip-prinsip segala hukum positif yang berhubungan secara langsung dengan manusia dan dunia sebagai ciptaan tuhan.
Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari prinsif hukum kodrat primer yaitu hidup terhormat (honeste vivere), yang terkandung dalam ucapan murip benar, mate suci. Tidak merugikan orang lain (naminem laedere), tertulis dalam nilai kepemimpinan munimang gere angik serta bertindaklah sebanding (suum cuique tribuere), tercermin dalam ungkapan munyuket gere rancung.
Prinsif hidup terhormat merupakan keinginan fitrah setiap individu ingin hidup terhormat dan keinginan dihormati oleh orang lain, tidak merugikan orang lain juga berarti apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya.
Bertindak sebanding tidak berlebihan berarti apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya. Prinsif pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai asas pergaulan hidup, sedangkan asas kedua merupakan prinsif equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama.
Proses ritual munirin reje yang dilaksanakan pada saat ini memunculkan tangggapan yang beragam dari masyarakat saat ini, hal ini dapat dimaklumi karena proses ritual tersebut telah lama tidak dilaksanakan.
Tanggapan yang bahwa ritual ini tidak relevan lagi tentu berasal dari generasi milenial yang telah berada pada masa 4.0 sekarang, yang mungkin hanya melihat ritual tersebut secara fisik atau juga bagi melaksanakannya hanya menganggap ini bagian dari adat istiadat yang bersifat formal dan seremonial.
Akan tetapi yang dapat dipetik dan diambil hikmah dari ritual ini adalah semangat dan nilai-nilai di balik itu bahwa menjadi Raja di kerajaan Linge dahulu bukanlah orang-orang sembarangan akan tetapi orang yang berkarakter sesuai dengan nilai leadership yang terkandung dalam ungkapan tersebut.
Ritual munirin reje, juga menjadi sarana pengingat kepada seluruh reje yang mempimpin di Kabupaten, Kecamatan dan Kampung bahwa jabatan tersebut bukan semata-mata hanya untuk kesenangan akan tetapi sebagai amanah yang harus dijalanan.
Bila keempat nilai ini diamalkan dan dijalankan maka tidak akan ada peraturan perundang-undangan yang terlanggar, tidak akan ada seorang reje disidik, didakwa dan dipidana karena menyalahgunakan angaran daerah atau dana desa. Wallau a’lam. []