Mengurai Benang Kusut Masalah Sampah di Wilayah Tengah Aceh

oleh
Anwar Sahdi

Oleh ; Anwar Sahdi, S. TP, M. Si*

Kasus teranyar tentang konflik persampahan di Kabupaten Aceh Tengah seolah menegaskan kembali bagaimana peliknya mengurai masalah persampahan. Pemerintah daerah seolah tersudut pada titik kehabisan akal dan cara untuk mengatasinya sehingga terjadi letupan kejenuhan di pihak-pihak yang selalu menjadi pesakitan dalam masalah ini.

Tulisan ini di harapkan dapat sedikit memberi celah ruang untuk membangun kerangka fikir dalam mengurai permasalahan sampah yang masih dilematis saat ini.

Siklus permasalahan sampah diawali oleh masifnya penggunaan wadah sekali pakai dalam bentuk plastik, kaca maupun metal (besi) dan diperparah dengan sikap apatis dan cueknya masyarakat terhadap sampah. Hampir semua orang akan dengan santai melempar sampahnya di tempat-tempat yang tidak selayaknya seperti di jalan, jembatan, aliran sungai bahkan di tempat ibadah.

Di sisi lain terbatasnya tenaga kebersihan dan semakin banyaknya penolakan di lokasi TPA menyebabkan kebuntuan penanganan, sehingga pola kumpulkan di TPS dan buang ke TPA yang selama ini di terapkan menjadi solusi yang sudah sulit diterapkan.

Di sisi lain ketika Kecamatan Bener Kelipah mulai menggalakkan penanganan sampah dengan konsep self trash reduce, telah memberi pengaruh yang signifikan sehingga masyarakat sudah mulai mengelola sampahnya di rumah walaupun tidak sertamerta menyelesaikan masalah.

Masih terdapat orang-orang yang tidak bertanggungjawab membuang sampah sembarangan sehingga masalah sampah seolah tidak ada titik akhirnya dan selalu muncul setelah di bersihkan sehingga muncul apatisme dan saling menyalahkan.

Dengan kalibrasi sederhana menggunakan jumlah penduduk sebagai patokan, untuk wilayah tengah saja yang meliputi Aceh Tengah dan Bener Meriah potensi sampah kita mencapai lebih kurang 400 ton/hari.

Yang menjadi pertanyaan, sederhananya berapa persen yang dapat di tangani dinas terkait dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. Selebihnya akan terbuang di jalan, jembatan, bantaran sungai, tempat ibadah dan tempat pembuangan ilegal lainnya. Bila kondisi ini tidak di tangani dengan baik maka akan sangat mungkin danau laut tawar pun akan menjadi lautan sampah, Burni Telong pun akan menjadi gunungan sampah.

Sehingga untuk mengatasinya, harus ada langkah holistik yang dapat menyentuh semua segmen masyarakat dan semua tahapan alur sampai dengan penanganan akhirnya.

Penanganan holistik ini harus masuk dalam seluruh segmen kehidupan masyarakat, Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan atau paling tidak dapat mengurangi permasalahan sampah di daerah di antaranya:

1. Exit point strategy

Crash program (program gerak cepat) untuk mengatasi permasalahan sampah di daerah salahsatunya dengan metode self trash reduce (pengelolaan sampah mandiri) yang saat ini sedang digalakkan di Kecamatan Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah.

Metode ini memang sangat sederhana dimana masyarakat diarahkan untuk memilah sampah berdasarkan kategori yang dapat di bakar dan tidak dapat dibakar.

Dan pemerintah kampung menyiapkan unit-unit tungku yang berperan ganda sebagai tungku pembakaran dan tong sampah juga. Walaupun metode ini tidak sepenuhnya baik karena untuk tempat tertentu asap pembakaran menyebabkan polusi, namun di wilayah yang di dominasi perkebunan metode ini dapat mengurangi hama dan menghambat perkembangan jamur yang tidak diinginkan.

Metode ini paling tidak memberikan dua manfaat yaitu sampah dapat di tangani langsung di sumbernya dan secara alami masyarakat mulai memilah sampahnya.

Metode ini bukan untuk digunakan selamanya, namun secara cepat dapat menurunkan volume sampah yang harus di angkut-buang. Metode ini juga dapat digunakan di wilayah perkotaan, dimana hanya sampah yang tidak dapat dikelola di sumbernya saja yang di angkut seperti sampah organik yang menimbulkan bau, sampah kaca dan metal/besi.

Menurut riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI) tahun 2018, sampah yang paling banyak dihasilkan di Indonesia adalah sampah organik sebanyak 60 persen, sampah plastik 14 persen, diikuti sampah kertas (9%), metal (4,3%), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7%), dengan metode ini paling tidak 23% potensi sampah kita sudah dapat diselesaikan di sumbernya.

2. Sosialisasi menyeluruh

Perilaku yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan, ketika kebiasaan salah yang dibiarkan akan menjadi budaya, ketika sudah membudaya maka akan sulit merubahnya, permasalahan sampah harus di fahami sebagai masalah bersama karena saat ini, anak-anak pun masih tidak merasa bersalah ketika kulit jajanannya dibuang sembarangan, masih banyaknya orang yang dengan nyaman melempar sampahnya ke jalanan dari kenderaannya, sehingga untuk merubahnya harus ada upaya sosialisasi yang sungguh-sungguh, holistik dan melibatkan semua pihak meliputi pemerintah daerah, pusat kesehatan, sekolah dan para pemuka agama (ulama).

Sehingga mampu menumbuhkan rasa malu di masyarakat jika membuang sampah sembarangan.

3. Penerbitan Qanun retribusi sampah progresif dan penerbitan ijin usaha yang mensyaratkan pengelolaan sampah.

Selama ini retribusi sampah lebih dipandang sebagai salah satu alasan mengapa masyarakat tidak mau memilah sampah, karna semua orang yang mendapat layanan persampahan mendapatkan beban yang sama.

Retribusi progresif ini diharapkan dapat mendidik masyarakat untuk mengelola sampahnya dimana orang yang tidak peduli akan mendapatkan pembebanan retribusi lebih dan yang telah mampu memilah sampahnya dengan baik mendapat beban retribusi lebih kecil atau bahkan mendapatkan income dari sampahnya.

Penerbitan perizinan usaha yang mempersyaratkan pengelolaan sampah akan mendidik dunia usaha untuk menangani sampahnya dengan baik, sehingga beban sampah dari dunia usaha dapat di perkecil. Pola yang digunakan dapat dengan menambahkan item pengelolaan sampah dalam izin HO nya, atau pola lain yang disesuaikan dengan karakter usahanya.

4. Pemilahan sampah

Ketika retribusi progresif diterapkan maka masyarakat akan terdidik untuk memilah sampahnya sehingga dapat meningkatkan nilai tambah sampah. Pengelompokan sampah berdasarkan jenis materialnya akan dapat memberi nilai tambah, sebut saja sampah organik, plastik, kertas, kaca dan metal/besi.
Jenis sampah yang sudah dikelompokkan dengan baik akan lebih mudah mengelolanya sehingga di tahap ini bank sampah akan dapat dijalankan.

5. Pengembangan add value sampah.

Muhammad baidowy dengan perusahaan majestic buana group nya telah berhasil memanfaatkan sampah sebagai sumber pendapatan dengan pola pengelolaan sampah dengan mencacah sampah yang telah di kelompokkan menjadi bijih yang dapat menjadi bahan Baku, baik dalam bentuk bijih plastik, kertas, kaca maupun besi dapat di manfaatkan kembali dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Ketika tata kelolanya sudah menggunakan pola jenis uusaha, baik usaha mandiri, koperasi maupun yang lain pastinya masyarakat yang memiliki sampah bukan lagi membayar retribusi namun mendapatkan income dari sampah yang dihasilkan, Sehingga sampah bukan lagi masalah namun lebih sebagai sumber pendapatan.

Ditengah gencarnya promosi wisata di wilayah Datiga (Dataran Tinggi Gayo) yang masuk dalam kawasan strategis nasional, masyarakat dan pemerintah daerah harus mampu berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan permasalahan sampah di daerah, kita sangat tidak menginginkan ketika jumlah kunjungan wisata yang sudah relatif tinggi saat ini tergerus kembali dengan citra buruk akibat sampah yang bertebaran dan tidak terkelola dengan baik, semoga dengan kemauan yang kuat dan strategi yang tepat akan mampu mengurai benang kusut permasalahan sampah yang kita hadapi saat ini. Semoga..

*Sekretaris Camat Bener Kelipah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.