Oleh : Win Wan Nur*
Di puncak bukit yang tak terlalu tinggi tidak jauh dari Berawang Tasik, lima sosok manusia berkulit putih serius berdiskusi. Kelima orang itu adalah van Daalen bersama empat perwira yang mendampinginya dalam ekspedisi ke tanah Gayo.
Agak jauh dari mereka, seorang kopral Jawa, berseragam hijau khas marsose berdiri tegak dengan senjata terkokang siap tembak. Beberapa orang prajurit marsose lagi, yang semuanya berwajah pribumi menyebar dalam posisi melindungi empat orang di puncak bukit itu.
Van Daalen, sang komandan tertinggi dalam ekspedisi ini, mengarahkan teropongnya ke sebuah bukit lain yang berada cukup jauh dari posisi mereka. Letak bukit itu berada pada posisi yang lebih rendah dibanding tempat mereka berdiri.
Melalui lensa teropongnya, perwira Belanda kelahiran Makassar yang separuh darah yang mengalir di nadinya adalah darah pribumi ini menyaksikan sebuah benteng yang tak jauh berbeda dengan benteng Pasir yang baru saja habis mereka luluh lantakkan.
Menurut perkiraannya, benteng itu luasnya sekitar separuh lapangan sepakbola, olahraga dari Inggris yang belakangan ini menjadi kegemaran baru orang Belanda.
Berdasarkan perkiraan van Daalen, tinggi benteng tersebut sekitar 2 meter dan tebal dindingnya lebih dari satu meter.
Dia menyaksikan kesibukan di dalam benteng. Laki-laki menenteng senjata, mulai dari kelewang, tombak serta beberapa pucuk senapan. Tapi selain laki-laki, di dalam benteng ini juga terdapat perempuan dan anak-anak.
“Kelihatannya, di sini mereka sudah lebih siap menghadapi kita. Saya rasa sudah ada informan yang mengabarkan kehadiran kita,” ujar van Daalen tanpa melepaskan teropongnya.
Empat perwiranya yang menemaninya di puncak bukit itu mendengarkan dengan seksama, tapi tak satupun dari mereka yang bersuara karena van Daalen memang tak meminta pendapatnya.
“Karena mereka kelihatannya sudah siap. Jelas strategi serangan dengan membuat kejutan tak akan efektif di sini. Untuk menaklukkan benteng ini, kita harus sedikit memodifikasi strategi.” Lanjutnya.
“Siap menerima perintah, komandan,” sambut Kapten Scheepens yang merupakan perwira paling senior di antara para perwiranya dalam ekspedisi ini.
Van Daalen menurunkan teropongnya dan berjalan mendekat ke posisi tiga perwira bawahannya lalu berjongkok.
“Letnan Watrin, keluarkan peta, kertas dan pensil,” perintahnya.
Letnan Watrin pun dengan sigap segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh van Daalen.
“Sekarang dengarkan baik-baik,”perintahnya sebelum mulai membicarakan strategi yang dia siapkan.
“Pertama-tama, ingat ini dengan sebaik-baiknya. Saya mau, kalian memimpin seluruh pasukan untuk masuk secara diam-diam menuju benteng itu.” Ujarnya.
“Siap komandan,” sahut ketiga perwira bawahannya nyaris bersamaan.
“ Karena mereka sudah menduga kita datang untuk menyerang dari arah Pasir. Kita jangan menyerang dengan seluruh pasukan dari arah barat sini. Karena sudah mereka pikir kita akan datang, tapi kita serbu mereka dari arah yang sama sekali tidak mereka duga. Dari barat, cukup pasukan pengalih perhatian” Urai van Daalen.
“Mengerti?” tanyanya.
“Ya, mengerti komandan,” sahut ketiga perwiranya.
“Baik, Kapten Scheepens,” panggilnya.
“Siap komandan,”
“Kamu, bawa tiga brigade pasukan kita ke arah utara benteng itu,” perintahnya sambil menunjuk ke arah benteng yang dia maksud.”
“Siap komandan,”
“Bawa pasukanmu memutar dari arah sini,” van Daalen mengarahkan tongkat kecil di tangannya ke titik peta yang ada di depannya.
“Ambil, posisi menyerang dari sini.” Tambahnya lagi, menunjuk ke bagian timur dari posisi benteng yang sudah dia tandai.
“Siap komandan.”
“Letnan Ebbink”
“Siap komandan”
“Kamu bantu Kapten Scheepens memimpin tiga brigade ini,”
“Siap komandan.”
“Dan kamu, Letnan Watrin!”
“Siap komandan,”
“Kamu, bawa dua brigade untuk menyerang dari arah ini!” perintahnya sambil tangannya menunjuk ke arah utara posisi benteng yang sudah dia tandai.
“Siap komandan,”
“Nah kamu Letnan Christoffel,” ujarnya sambil melihat ke arah perwira berkewarga negaraan Swiss yang dalam sejarah panjang militer Belanda merupakan satu-satunya orang non-Belanda yang pernah mencapai pangkat letnan dalam struktur kemiliteran kerajaan ini.
“Siap komandan,” sahut Letnan Christoffel penuh semangat dan menatap ke arah komandannya dengan pandangan sangat serius. Sorot matanya tampak berbinar, mimik wajahnya tampak seperti orang kehausan. Kentara sekali kalau dia sudah sangat tidak sabar untuk mendengarkan perintah.
“Kamu bawa dua brigade pasukan kita. Serang musuh kita dari depan, seganas yang kamu bisa, buat musuh berpikir bahwa hanya pasukanmulah satu-satunya pasukan penyerang.”
“Siap komandan,” sahutnya dengan nada penuh antusiasme. Kumis lancip yang menutupi bibir atasnya sedikit terangkat, pertanda ada sungging senyum puas di baliknya.
“Nah, Kapten Scheepens, Letnan Ebbink dan Watrin,” tukas van Daalen kemudian.
“Siap komandan,”
“Begitu kalian mendengar keributan yang dibuat pasukan Letnan Christoffel, kalian langsung serang,”
“Siap, komandan.” Sahut ketiganya.
“Nanti di selatan, aku sendiri yang memimpin pasukan cadangan. Kalau sesuatu terjadi di luar rencana, kami akan maju. Tapi pastikan kalau kalian berempat bisa menuntaskan ini, jadi kami pasukan cadangan tak perlu turun. Mengerti?”
“Mengerti komandan,” sahut mereka serempak.
“Ada pertanyaan untuk penjelasan ini?”
Kapten Scheepens mengangkat tangan
“Ya, Kapten Scheepens!”
“A apakah strategi kita pada serangan kali ini juga seperti di benteng sebelumnya?” tanyanya dengan nada sehati-hati mungkin.
“Maksudmu?” tanya van Daalen dengan suara menggelegar, ada sedikit kerutan di keningnya.
“Apakah kita tetap menggunakan strategi bumi hangus juga komandan?” ujar Letnan Scheepens melanjutkan pertanyaannya.
“Tentu saja. Siapapun yang ada di dalam benteng, asal melawan, habisi!” jawab van Daalen tegas.
“Termasuk yang tak bersenjata?”
“Termasuk yang tak bersenjata!”
“Termasuk perempuan dan anak-anak?” tanya Scheepens lagi dengan nada suara yang lebih berhati-hati.
“Perempuan dan anak-anak juga, kalau melawan, habisi!” tegas van Daalen dengan nada suara datar, tanpa sedikitpun menunjukkan perubahan emosi.
“Jelas?” tukasnya lagi.
“Jelas komandan,” sahut Kapten Scheepens sembari menelan ludah, buat menutupi rasa gugupnya.
Tiga perwira lain memandang ke arah Kapten Scheepens dengan tatapan seolah menyesalkan keluarnya pertanyaan tak berguna. Letnan Christoffel tersenyum tipis, ada raut sinis yang terbaca pada garis bibirnya.
“Ada pertanyaan lagi?” Tanya van Daalen tajam.
“Tidak komandan,”
“Yang lain ada pertanyaan?” Tanya van Daalen menyapu pandangan ke arah tiga perwira lainnya.
“Tidak komandan,” sahut mereka serentak.
“Baik, sekarang Letnan Watrin!” panggil van Daalen.
“Siap komandan,”
“Tadi menurut perhitungan navigator kita, berapa jarak dari sini ke sana?”
“ Tiga kilometer komandan,”
“Baik, tiga kilometer…” van Daalen melihat ke arah benteng Pëparik yang akan mereka serang.
“Jalur dari sini menurun, jadi paling-paling dalam satu jam kita sudah bisa berada di posisi masing-masing” kata van Daalen lalu mengeluarkan arloji dari saku depan bajunya.
“Paling lambat, pukul 12 siang kita sudah menyerbu,” pungkasnya.
“Siap, komandan!”
Terkait : Jatuhnya Benteng Pëparik (Bag 5) ; Bidin, Sang Kejurun Petiamang