Nasib ni Aman Bijak dan Sekarung Matrasi

oleh

Cerita oleh : Wirawan Almuckalis*

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sinar-sinar terakhirnya memantul di permukaan air Sungai . Sore itu aliran sungai terbilang tenang. Hanya beberapa perahu rakit milik orang-orang yang mengusik ketenangannya.

Dari rumah yang tak jauh dari tepi sungai, aman bijak menikmati pemandangan senja itu. Pandangannya lantas melayang ke lahan-lahan orang di seberang sungai. Tahun ini lahan tak memberi banyak hasil.

Padi diserang hama. Kopi dan terong agur nyaris habis setelah dijarah kawanan kedih. Tadinya, ketika hutan di belakang ladang orang orang masih lestari, kedih tak pernah menyatroni ladang.

Setelah perusahaan sebut saja PT Mah Rebul mulai membabat hutan dari hulu, kedih kehilangan buah-buahan kesukaannya. Terpaksa mereka serbu buah kopi dan terong agur yang masih mengkal, dan semasih hutan belum di tebang, penduduk desa masih sering mungaro jadi kalo sekedar mau makan daging giongen atau akang cukup mudah

“Selamat sore, aman bijak?” Aman bijak sedikit terkejut mendengar suara itu. Oh…pak guru. Ada yang bisa saya bantu?tanyanya pada pria renta itu.

“Ada undangan rapat untuk aman bijak. Jam delapan besok di umah murum,” kata pak guru.

“Kami minta pendapat aman bijak soal tawaran dari PT Mah Rebul,” jawab sang ketua dengan dahi yang sedikit mengerut

Aman bijak menghela nafas panjang. Ia tahu segawat apa persoalan yang mengusik hati Pak guru dan orang-orang akhir-akhir ini. Dua bulan lalu para petinggi PT Mah Rebul mendatangi para ketua umah murum.

Orang-orang bermulut manis itu ingin membeli lahan orang-orang tersebut “Kami beli sebut saja harga nya sehektar 15 juta. Nanti kami angkat kalian jadi karyawan. Sebulan kami gaji 3 juta. Itu lebih baik daripada berladang,” bujuk mereka.

Sejak tawaran itu datang, kampung terbelah jadi dua. Sebagian besar ingin segera menjual ladangnya. Hanya segelintir yang masih ingin pertahankan ladang peninggalan leluhur.

Tetapi yang segelintir inipun kini mulai goyah setelah Pak Jali (jago lipet), sang rerintahan PT Mah Rebul, menebar pengaruh. Untuk apa punya ladang tapi tidak bisa makan?, begitulah pertanyaan Pak jali pada sebagian warganya yang menolak PT mah rebul tersebut.

Baru kali ini aman bijak melihat orang-orang disekitarnya berkelahi, meski hanya adu mulut saja. Di warung kopi, di lahan-lahan orang ramai berdebat kusir soal rencana menjual lahan. “Dasar Kedih !”. Makian itu semakin sering terdengar ketika adu mulut memanas. Aman bijak tahu, sebagai sesepuh di daerah nya tersebut, ia diharapkan turun tangan.

Umah murum yang biasanya lengang mendadak gaduh. Riuh-rendah cakap orang-orang bersitegang. Pak Jali sibuk menebar janji manis dari petinggi perusahaan.

“Ike lang sui PT ini mayo ku kampung te, kite akan kaya. Nge mi ya, juelen nye tanoh te ni. Te kase pe kite tetap bebuet i tanoh te ni. Bedae, kite i gaji ari PT. Setuju dukung PT ? tanya Pak Jali

“Setujuuu,” seru para pendukungnya.

“Tidak, tidak, saya tidak setuju. Kalau semua tanah warisan nenek-moyang kita jual, lalu apa warisan kita untuk anak-cucu kita? Pokok nya apapun yang terjadi saya tidak setuju menjual dan mengadaikan tanah leluhur nenek moyang kita .. !!! Tegas pak guru

*Jangan resah cerita ini hanya fiktif belaka

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.