Oleh : Fauzan Azima*
Tiada artinya shalat kalau masih makan gaji buta karena dipastikan shalatnya tidak diterima. Karenanya, jangan pernah lagi, menerima gaji, tetapi tidak melaksanakan sebagian atau keseluruhan pekerjaannya. Itulah yang disebut makan gaji buta yang begitu berat ancamannya, sampai Allah pun enggan menerima shalatnya.
Bukan saja shalatnya ditolak, sudah menjadi aksioma orang-orang yang makan gaji buta hidupnya tidak berkat. Seperti air dituangkan pada padang pasir. Seberapapun uang yang didapat dari hasil makan gaji buta akan lenyap . Bukti nyatanya, banyak orang Aceh pasca tsunami mendapat manfaat yang berlimpah tanpa harus berusaha, tetapi hampir sebagian besar kekayaan yang didapat dari akibat bencana alam dahsyat itu tidak berbekas. Begitulah Sunnatullah akan lebih banyak yang hilang daripada yang didapat dari hasil makan gaji buta.
Bagi pemakan gaji buta sudah shalatnya sia-sia, hartanya tidak berkat dan kecenderungan berbuat maksiat atau menurut istilahnya uang hantu dimakan jin dan dinikmati syetan. Sudah menjadi rahasia umum, kalau pelakunya orang Aceh akan menjadikan Kota Medan sebagai destinasi untuk berfoya-foya menghabiskan uangnya.
Berharap makan gaji buta menjadi salah satu penyebab kemunduran Aceh. Efek selanjutnya orang Aceh menjadi malas dan lalai. Sehingga dongeng cita-cita Si Mu’in laris manis. Pelakunya lebih kentara pada musim Pilkada atau Pemilu Legislatif yang berbondong-bondong menjadi tim sukses atau relawan sehingga begitu ada peluang menang akan menekan kandidat dan kepala-kepala dinas untuk minta jatah atau fee proyek karena menganggap merekalah paling berjasa memenangkan calon bupati atau gubernur terpilih.
Orang yang berharap makan gaji buta tidak saja membuat Aceh akan menjadi terbelakang, tetapi mereka juga akan membuat kekacauan di Negeri Serambi Mekah ini, apabila hasratnya tidak terpenuhi
Bagi kalangan itu, media sosial menjadi kanalisasi untuk penyaluran kritik, sumpah serapah, hinaan, caci maki dan meme sarkasme. Mereka pandai memanfaatkan moment. Singkirkan soal harga diri dalam memanfaatkan peluang. Ketika mantan kombatan dianggap berpengaruh, mereka pun tidak malu bercerita tentang perang dengan mengarang cerita. Begitupun, ketika isu kemiskinan naik ratingnya, mereka pun rame-rame menjadi seolah tokoh yang berdiri di depan untuk Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Saudaraku berhentilah! Dari berharap makan gaji buta. Kita adalah cermin generasi akan datang. Jangan kita wariskan karakter buruk kepada mereka. Marilah kita membangun faham meritokrasi, dimana seseorang dihargai berdasarkan prestasi dan keahliannya. Memang perlu usaha keras untuk itu. Seperti menegakkan benang basah, tetapi kalaiu tidak kita mulai dari sekarang, kapan lagi Saudaraku!
(Mendale, 15 Desember 2019)