Oleh : Joni MN, Aman Ipak*
Hati bisa berpotensi dasar kebaikan dan kerusakan terhadap perwujudan diri yang bersumber dari susana hati. Kerusakan hati dapat menjadi dasar pokok kerusakan zahir. Atas dasar ini jelaslah bahwa urusan batin lebih berdampak dan berpengaruh terhadap baik buruknya zahir (tindakkan / sikap) yang dilaksanakan baik kepada diri sendiri dan orang lain.
Jadi, kunci baik buruknya prilaku, sikap dan pemikiran seseorang yang diaktualisasikan kedalam semua aspek berkehidupan sangat-sangatlah dipengaruhi oleh suasana (kondisi dan situasi ) hati. Kasus ini ternyata sudah ditegaskan oleh junjungan umat Islam dia adalah Nabi Muhammad SAW, yakni;
“….Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila ia baik, baiklah seluruh jasadnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati”
(HR.Al-Bukhari dan Muslim).
Ditilik dari penjelasan dan hadits Nabi diatas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa bentuk perbuatan dosa itu ternyata sudah terbagi dua bentuk, yakni: (1) dosa zahir, dan (2) dosa batin.
Hal ini seperti yang sudah ada dalam Firman ALLAH SWT pada Surah ” Al-An’aam, ayat 120, yang artinya adalah;
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa dosa itu ada dua bentuk, yakni dosa batin dan dosa zahir. Sehingga atas kategorisasi dosa ini, maka dapat dipahami bahwa dosa batin itulah yang disebut dengan najis batin.
Tindakkan si pemilik dosa batin, diaktualisasikan dengan tindakkan: di luar baik, sebaliknya di dalam hati rusak. Kerusakan itu melingkupi: iri, dengki, takabur, ria, dan serakah (harta dan jabatan) dan najis-najis batin lainnya.
Perbuatan yang bernilai “baik” mau dilakukan karena hanya ingin mendapatkam pengakuan, pujian dan perhatian dari manusia lain, dan tidak jarang juga hanya karena mengharapkan untung yang berbentuk pulus dari pekerjaan yang dikerjakan.
Jika tidak ada untung dalam bentuk uang atau perhatian dari orang-orang sekitarnya, maka ia tidak akan mau melakukan pekerjaan tersebut dengan fokus dan serius walaupun pekerjaan itu sipatnya bernilai gotong royong dan dalam bentuk membantu orang lain, yang sipatnya tolong-menolong.
Seterusnya ia rajin bekerja, dan bijaknya akan terlihat, jika ada sesuatu yang diharapkannya dari balik yang dilakukannya, jelas bentuk harapan itu dari orang-orang sekitarnya.
“Katanya, percaya kepada ALLAH”, buktinya…?
Sering kita mendengar komentar orang tentang membantu atau menolong, yang mana jika tidak ada bayangan keuntungan bagi dirinya, maka ia akan tarik diri, tapi jika ada bayangan pulus maka muka pun mulai dipoles dengan bedak pemutih, serta muka belakang dan muka depan pun mulai dipasang, dalam bahasa kasarnya;
1. hana untunge kin aku ike ku bueten…? (Apa untungnya untuk ku jika dikerjakan)
2. ara ke sen ne..? Ike ara nguk. (Ada uang? Jika ad boleh)
3. sidah nenong untunge ike ….. ..? (Berapa untung buatku, jika …?)
4. selo ikhlas-ikhlas dor ike
gere be sen….dan lainnya (tidak mungkin selalu ikhlas jika tidak ada uang)
Jika dipahami dengan seksama dari hal-hal tersebut di atas, maka, besar kemungkinan bahwa penyakit zahir (fisik) sumbernya adalah karena atas dosa batin atau buruknya kondisi/ suasana hati si pendosa itu sendiri, sering kita mendengar dari para ulama, yang mereka sebut dengan istilah “Najis Batin”.
Pemahaman selanjutnya, ternyata suasana hati seseorang akan menimbulkan aura serta energi di mana tempat orang tersebut berada. Selain dapat mengaurai diri sindiri, energi itu akan dapat memengaruhi suasana hati dan rasa orang-orang di sekelilingnya. Maka, tidak jarang terkadang kita merasa risih atas kehadiran seseorang, dst.
Menjauhi dan anjuran untuk tidak memiliki Najis batin (dosa batin) tidak hanya menjadi penyelamat di akherat kelak, tetapi sangat bisa menjaga kita dari keburukan semasih kita berada di atas bumi ini. Dan, dosa batin itu akan dapat terlihat atau diketahui dari aktualisasi diri yang berwujud sikap dan prilaku.
Dalam istilah lain dalam peri mestike adat pada budaya Gayo mereka sebut “alih e kin langkahe” dan “rasa e kin basae”. atau maksudnya ialah merifer, pada; ‘suasana hati akan tertransfer dalam wujud prilaku dan sikap”.
*Penulis adalah ketua bidang penelitian di Majelis Adat Gayo (MAG)