Oleh : Fauzan Azima*
Tulisan ini adalah karma bagi “Bang Bela” karena sebelum menjadi Bupati Aceh Tengah, beliau ahli kritik dan bully terhadap bupati; Buchari Isaq, Mustafa M. Tamy dan Nasaruddin yang selalu menjadi bahan “olok-olokannya.”
Salah satu tingkah yang tidak lazim “Bang Bela” adalah “Menjilat tiang kantor bupati” tidak pernah lekang dari ingatan pegawai pada masa itu. Aksi tersebut sebagai parodi terhadap pegawai yang patuh kepada bupati.
Kini Bang Bela telah duduk di kursi bupati, sepatutnya tidak perlu alergi terhadap bully dan kritik dari masyarakat karena “engkau yang memulai.” Tidak perlu bersikap kasar menghadapinya. Apalagi masyarakat sekarang sudah benci roman, kalimat baikpun yang keluar dari mulut “Bang Bela” tetap saja dianggap tidak baik. Kata orang tua, penyebabnya “Waktu kecil pernah makan kotorannya sendiri.”
Wimandjaya pernah menulis buku “10 Dosa Besar Soeharto,” yang berisi tentang kesalahan masa lalu Pak Harto selama menjabat sebagai Presiden RI. Walaupun buku tersebut “Best seller” tetapi menurut kami penulis itu tidak fair dan pengecut karena menulis setelah Pak Harto lengser.
Tidak seperti Wimandjaya, tulisan bersambung “Bupati Shabela Tak Sampai ke Batas” ini memberi ruang kepadanya untuk introspeksi diri dan berubah dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan benar untuk masa depan Aceh Tengah dan dirinya sendiri. Sudah menjadi pengalaman, banyak orang yang sudah tidak menjabat dianggap seperti sampah. Bahkan ada bupati yang setelah pensiun “Stafnya kencing di depannya.” Inilah yang perlu kita antisipasi untuk “Bang Bela,” kalaupun tidak dianggap pahlawan, setidaknya jangan ada yang berbuat kurang ajar setelah beliau tidak menjabat lagi.
Sejujurnya “Bang Bela” dalam memimpin Aceh Tengah tidak punya marwah, harga diri dan wibawa di lingkungan Pemkab maupun masyarakatnya sendiri. Kalau mau diperhalus bahasanya, “Bang Bela tidak punya kapasitas Sumber Daya Manusia” sebagai bupati. Rekam jejaknya hanya pantas sebagai camat, tidak lebih. Perkara SDM ini harus sejak dini diperingatkan agar kelak tidak “Sa kenak mujadi bupati” yang menyebabkan daerah rugi setidaknya selama lima tahun.
Rendahnya SDM “Bang Bela” sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kinerja institusi Pemkab Aceh Tengah. Ketidakmampuan membaca situasi di lingkungannya dimanfaatkan oleh pejabat di bawahnya. Pada saat ini, “Bang Bela” tunduk dan patuh terhadap Assisten I Sekda Aceh Tengah, Saudara Mursyit sehingga keputusan yang lahir tidak sesuai dengan visi misi bupati terpilih. Saat ini memang tampak tidak masalah, tetapi nanti akan terasa kalau sudah tiada jabatan.
Dulu “Bang Bela” sadar benar tentang pentingnya SDM ini karena beliau pernah menjadikan Buchari Isaq, Mustafa M. Tamy dan Nasaruddin sebagai anekdot: “Mereka sakit, lalu dibawa ke Singapura, dokter memvonis, mereka sakit otak, waktu dibedah, ternyata mereka tidak punya otak.”
Sekarang bagaimana rasanya kalau staf atau masyarakat menujukan anekdot sarkasme itu kepada “Bang Bela”? Tentu sangat tidak elok.
Masih ada waktu memperbaiki diri “Bang Bela”.” Anggap saja kritik dan bully dari siapapun menjadi cambuk; walau sakit rasanya, tapi yang penting senang kemudian. Tentu saja apa yang kita tuai hari ini, itu yang akan kita panen di masa depan.
(Mendale, 24 Juni 2019)
Baca Juga ;
[Bag.1] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Do’a Hampir Sampai Ke Langit Ke-7
[Bag.2] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas : Malang Nian Nasib Kucing Angora
[Bag.3] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas : Bersedekah Kepada Syetan
[Bag.4] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Dendam Anjing Kepada Rusa
[Bag.5] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Kuur Semangat
[Bag.6] Bupati Shabela Tak Sampai Ke Batas ; Sandiwara Ala Awan Prado