Mencari Keabsahan Perbuatan Puasa

oleh
Drs Jamhuri, M.Ag, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)
Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Puasa atau imsak atau menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa adalah perbuatan atau mahkum bih/fih, yang diperintah oleh Allah melalui Al-Qur’an dan hadis Nabi saw.

Ayat yang berbicara tentang puasa surat al-Baqarah ayat 183, yang artinya : Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa.
Lafazh kutiba dalam ayat di atas dipahami oleh ulama sebagai kata furidha atau wujiba, yang artinya difardhukan atau diwajibkan.
Makna ini disepakati oleh semua ulama sehingga makna kutiba menjadi makna hukum syara’ yakni fardhu atau wajib, sedangkan kata kutiba sebelum dimaknai menjadi makna hukum adalah bermakna perbuatan (mahkum bih/mahkum alaih) yaitu ditulis.
Pemaknaan seperti ini mempunyai pola pemahaman dasar bahwa dalil nash (ayat al Qur’an atau hadis Nabi) tentang puasa mengandung nilai hukum (hukum syara’), dan hukum syara’ yang terkandung dalam ayat tersebut harus dikeluarkan (istinbathkan), hukum yang dikeluarkan dari ayat tersebut adalah fardhu atau wajib.
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang niat mengatakan “setiap perbuatan harus diawali dengan niat, dan perbuatan sangat tergantung kepada niatnya…”
Hadis di atas memberi tahu kepada kita kalau setiap perbuatan itu mesti diawali dengan niat dan perbuatan itu sangat tergantung kepada niat pelakunya.
Perbuatan puasa adalah perbuatan yang dilakukan dari sejak terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari, maka bila ini dipahamami sebagai waktu dari perbuatan yang sempurna tentunya niat akan dilakukan setelah makan sahur atau ketikan terbitnya fajar, namum pemahaman ini akan berbeda dengan bunyi niat yang selalu dipraktekkan oleh masyarakat dan diajarkan oleh ulama yaitu “Nawaitu shauma ghadin an adai i fardhi syahri ramadhan…”. Ungkapan niat ini menunjukkan kalau puasa itu tidak segera dilakukan ketika hendak puasa atau ketika terbit fajar dan setelah makan sahur, tetapi pelaksaan puasa yang dimaksudkan adalah esok hari.
Ungkapan esok hari lebih dekat kepada pemahaman makna waktu pergantian bulan yaitu terbenamnya matahari atau nampaknya hilal pas pada saat pergantian bulan, jadi niat puasa untuk hari ini adalah kemarin pada saat shalat maghrib.
Agak sulit memahami bila niat puasa digandengkan menjadi bagian dari perbuatan, tetapi lebih mudah menggandengkan niat puasa dengan waktu puasa walaupun tidak melakukan perbuatan puasa.
Sebuah pengetahuan baru bagi kita yang ingin memahami keunikan niat dalam perbuatan puasa bila berbanding dengan perbuatan shalat, kalau perbuatan shalat tetap melakukan dengan muqtarinan bi fi’li artinya beriringan dengan perbuatan dan menjadi bagian dari perbuatan, sedangkan di dalam puasa tetap niat dikatakan sebagai rukun hanya saja pengerjaannya dikaitkan dengan waktu puasa bukan dengan perbuatan puasa.
Ada lagi sebuah pemahaman makna besok dalam masyarakat, sering terdengar dalam ucapan masyarakat kalau esok itu adalah terbitnya mata hari esok hari. Jadi esok itu menunjukkan kepada hari bukan pada malam. Pemahaman ini berimbas pada pemaknaan palaksanaan niat.
Orang tua kampung sering menyuruh anaknya berniat pada saat setelah makan sahur dengan niat tetap nawaitu shauma ghadin an adai fardhi syahri ramadhan, artinya waktu malam sebelum terbitnya matahari orang menyebut besok pada terbitnya matahari.
Jadi untuk Ramadhan ada beberapa hal yang penting dipahami, diantaranya adalah perintah melakukan puasa yang langsung datangnya dari Allah yang aturan dasarnya dituangkan dalam Al-qur’an surat al-Baqarah ayat 183 yang selanjutnya perintah ini diamalkan oleh mereka yang tidak hanya sebagai orang yang beriman tetapi juga muslim dan semua orang yang berkeyakinan akan adanya Allah.
Kemudian perintah Allah yang menyuruh orang yang beriman untuk melakukan puasa yang datangnya perintah itu dari Allah.
Orang wajib melaksanakan puasa adalah mereka yang mengetahui bahwa perintah tentang puasa datangnya dari Allah, ketika perintah Allah itu ditujukan kepada mereka yang mukallaf, maka mukallaf itu sanggup memilih melaksanakan perbuatan puasa tersebut.
Kemudian perbuatan puasa (menahan dari makan dan minum) selama sebulan semenjak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahar pada setiap hari selama sebulan.
Kemudian perbuatan puasa itu juga disamping berhubungan dengan pelaku pekerjaan puasa juga berhubungan dengan waktu yang ditentukan dengan nampaknya awal bulan dan juga diketahui berakhirnya bulan dengan nampaknya bulan berikutnya.
Berakhirnya bulan dan masuknya awak bulan dalam bulan Ramadhan dianggap penting karena berhubungan dengan haramnya makan dibulan Ramadhan dan haramnya puasa di awal bulan Syawal.
*Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.