Wanita yang Tak Dianggap dan Lahirnya Feminisme

oleh

Resiator Buku : Husaini Muzakir Algayoni
Judul Buku : Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Timbangan Islam
Penulis : Siti Muslikhati
Penerbit : Gema Insani Press
Tahun Terbit : 2004
Jumlah Hlm : 149

Laki-laki dan wanita adalah sepasang manusia yang diciptakan Allah dalam bentuk terbaik, bahkan Allah dengan bahasa-bahasa-Nya dalam Alquran sangat memuliakan wanita sejak bayi. Dalam pandangan Islam juga wanita sangat dimuliakan dengan segala kehormatan yang dimilikinya serta posisi setara antara laki-laki dan wanita telah diatur dalam ajaran Islam dengan baik sehingga tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita.

Namun, disatu sisi dengan memegang teguh adat dan budaya masih terdapat pengekangan terhadap wanita sehingga menutup ruang gerak wanita. Misalnya, seperti Kartini yang dipingit oleh keluarganya sebagaimana anak perempuan Jawa masa itu dan negeri Pakistan yang eksotis, masih terdapat peliknya realitas kehidupan seorang wanita yang hidup ditengah kungkungan tradisi yang dibangun oleh laki-laki. Oleh karena itu, para aktivis perempuan yang dikenal dengan feminisme berjuang menuntut hak, kesetaraan, dan melawan ketidakadilan atau diskriminasi terhadap wanita.

Feminisme-feminisme muslim lahir seperti Fatima Mernissi (Maroko) menggugat penafsiran yang cenderung mengucilkan para wanita disektor publik, di Mesir ada Huda Shaarawi, feminisme kontroversi dari Amerika Serikat Amina Wadud Muhsin dan Indonesia sendiri ada Kartini yang mendobrak budaya Jawa atas kungkungan terhadap wanita dan Siti Musdah Mulia yang berpendapat bahwa penafsiran Alquran dan hadis dari para ulama menempatkan perempuan sebagai korban, baik di dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga.

Buku dengan judul “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam” karya Siti Muslikhati, menjelaskan tentang fenomena feminisme di dunia Islam maupun Barat dan pola relasi laki-laki dan wanita dalam perspektif Islam. Dalam tulisan singkat ini, resiator mencoba menguraikan content (isi buku) dari salah satu tema yang menurut penulis menarik untuk dikaji yaitu masalah wanita yang dimarjinalkan oleh laki-laki sehingga tak dianggap dalam kehidupan sosial dan menutup ruang gerak wanita.

Pemakaian gender dalam feminisme pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakley dengan mengajak warga dunia untuk memahami dua istilah yang serupa tetapi tidak sama, yaitu sex dan gender. Sex dalam bahasa Inggris diartikan sebagai jenis yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis, yaitu laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu yang melekat pada masing-masingnya secara permanen, kodrati dan tidak bisa ditukarkan satu dengan lainnya.

Sementara gender merupakan suatu konsep tentang klasifikasi sifat laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) yang dibentuk secara sosio-kultural. Pada dataran ini, ada garis yang bersifat culture dimana ciri-ciri dan sifat-sifat diletakkan pada laki-laki dan perempuan bisa saja dipertukarkan karena hal tersebut tidak bersifat kodrati.

Feminisme, sebagai sebuah ide (sebuah kesadaran) yang melahirkan gerakan (wilayah culture). Para feminis mempertanyakan mengapa label maskulin harus diletakkan pada laki-laki, sebaliknya label feminim harus dilekatkan pada perempuan. Pemahaman yang baik tentang wilayah culture memungkinkan punya peluang untuk berbicara tentang perubahan (proses dekonstruksi kemudian rekonstruksi bagi konstruksi sosial yang sudah mapan).

Pembahasan tentang bagaimana feminisme bisa lahir dimulai dengan pemaparan tentang bagaimana masyarakat memandang tentang perempuan, hingga munculnya kesadaran dari sekelompok orang yang berperan sebagai agent of change terhadap adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam cara pandang masyarakat tersebut.

Lihat saja bagaimana tradisi Hindu, perempuan dilihat sebagai pembawa keberuntungan karena mereka haid, menjadi istri dan melahirkan anak. Bagi bangsa India dalam aturan Manu, perempuan diposisikan hanya sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya. Dalam tradisi Budha, perempuan dianggap sebagai makhluk kotor yang suka menggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Dalam aturan Hammurabi, di mana perempuan dianggap seperti binatang dan dalam pandangan kaum Yahudi menempatkan perempuan dalam kedudukan sebagai pelayan.

Perbincangan tentang perempuan menemukan monumentumnya ketika pada tahun 581 M berlangsung Kongres Besar Bangsa Eropa yang berusaha menemukan jawaban, “Siapa sebenarnya perempuan itu?” Pada kongres tersebut sempat dipertanyakan benarkah perempuan itu manusia atau termasuk golongan hewan. Akhirnya dalam kongres tersebut menemukan jawaban bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan untuk menghamba (mengabdi) kepada laki-laki.

Beberapa hal yang bisa dianggap tidak menguntungkan perempuan. Pertama, perempuan berada dalam kondisi tersubordinasi (penilaian yang rendah) oleh laki-laki. Kedua, terjadi marginalisasi (membatasi) perempuan dengan menganggap aktivitas perempuan sebagai tidak produktif dan bernilai rendah. Ketiga, terjadi penindasan pada perempuan karena beban pekerjaan yang lebih panjang dan berat. Keempat, terjadinya kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap perempuan baik secara fisik maupun mental.

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa kedudukan perempuan sangat rendah sekali dalam kehidupan sosial sehingga para feminis mengibarkan bendera perjuangannya dalam meraih kebebeasan (emansipasi) dan melepaskan diri dari belenggu ikatan apapun. Para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, tetapi para feminis berbeda pendapat dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangannya.

Akibat dari berbeda perspektif tersebut, maka lahirlah beberapa aliran feminisme, ada empat aliran feminisme yang dirangkum dalam buku ini, yaitu:

Pertama, Feminisme Liberal, asumsi dasar aliran ini adalah bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dasar perjuangan aliran ini adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual termasuk perempuan atas dasar kesamaan keberadaannya sebagai makhluk rasional.

Kedua, Feminisme Marxis, aliran ini berlandaskan pada teori konfliknya Karl Marx, yang memandang bahwa hak kepemilikan pribadi (private property) merupakan kelembagaan yang menghancurkan keadilan dan kesamaan kesempatan yang pernah dimiliki masyarakat, sekaligus menjadi pemicu konflik terus menerus dalam masyarakat.

Kaum feminis Marxis selalu meletakkan isu perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan menganggap penyebab penindasan perempuan lebih bersifat strukktural, solusi yang ditawarkan adalah memutus hubungan dengan sistem kapitalis dan menciptakan sistem sosialis. Bagi teori Marxis klasik, perubahan status perempuan akan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik melalui industrialisasi.

Ketiga, Feminisme Radikal, aliran ini cenderung membenci laki-laki dan mengatakan lembaga perkawinan adalah lembaga fomalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama feminis radikal ini adalah untuk menolak institusi keluarga karena menganggap bahwa institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki) sehingga perempuan ditindas.

Keempat, feminisme Sosialis, aliran ini mencoba mensintesiskan berbagai perspektif feminis antara teori kelas Marxis dan radikal dan menyatakan bahwa subordinasi perempuan hanya bisa dijelaskan dengan uraian yang kompleks dan menurut aliran sosialis bahwa penindasan perempuan ada di kelas mana pun.

Keempat aliran feminisme di atas merupakan feminisme modern, di akhir 1960-an dan sepanjangan tahun 1970-an, pergerakan feminisme mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan dasawarsa I untuk perempuan pada tahun 1975-1985 dan pada Konferensi Beijing 1995, yang merekomendasikan beberapa hal dalam proses pemberdayaan perempuan yang meliputi bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan dan politik.

Demikian ulasan singkat dari buku ini tentang wanita yang pada mulanya tak dianggap dan direndahkan oleh kekuatan laki-laki, hingga pada akhirnya para feminisme berjuang menuntut hak dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan ruang publik. Untuk lebih lanjutnya dan mendalami tentang pemberdayaan perempuan dalam timbangan Islam, buku ini resiator rekomendasikan untuk dibaca; khususnya para perempuan-perempuan muslim.

*Resiator: Kolumnis LintasGAYO.co, Penggiat Resensi Buku dan Novel.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.