Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
“Alquran adalah pedoman hidup, kenapa harus menghindar tes baca Alquran? Tes mihnah merupakan kajian yang mendalam dan filosofis dalam ranah teologi. Tes baca Alquran saja menghindar, apalagi tes mihnah.”
Wacana tes baca Alquran bagi capres-cawapres Republik Indonesia menjadi headline pasca Ikatan Dai Aceh mengumumkan akan mengundang kedua pasangan untuk tes baca Alquran, hal ini dikatakan oleh Tgk Marusyuddin Ishaq selaku Ketua Ikatan Da’i Aceh bahwa “Tes Baca Alquran kita adakan untuk meredam politik identitas. Jangan mempergunakan Islam untuk kepentingan politik. Jika ingin berpolitik secara Islam, berpolitiklah secara kaffah.” Serambi, 30 Desember 2018.
Dalam amatan penulis, identitas agama digunakan politisi untuk menyerang lawan politiknya dengan slogan-slogan anti Islam, memperjuangkan umat, merasa paling membela Islam sementara yang lain tidak dan lain sebagainya. Oleh karena itu tes baca Alquran untuk mengakhiri kisruh ini layak diapresiasi dan wacana yang sangat bagus untuk meredam soal keislaman capres-cawapres.
Wacana tes baca Alquran ini ditanggapi berbeda oleh tim sukses masing-masing, sebagaimana dilansir dari detik.com bahwa Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH. Ma’ruf menyambut baik aspirasi itu dan mempersilahkan para paslon memenuhi undangan tersebut.
Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi memberikan argumen bahwa “Hal semacam itu tak substansial dalam menentukan kualitas capres-cawapres.” Dari kedua tim sukses mempunyai pandangan yang berbeda, bagaimana menurut pembaca?
Penulis sendiri sepakat bahwa tidak ada pemisahan antara politik dan agama tapi penulis sangat miris melihat ketika agama digunakan seperti barang dagangan untuk kepentingan politik sehingga merusak kerukunan antar umat beragama di Indonesia, padahal Indonesia adalah bangsa yang unik dengan keberagaman agama dan hidup rukun antar umat beragama yang sering kita dengar dengan istilah pluralitas agama.
Di Indonesia ada agama Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confosius). Keberagaman agama dan kerukunan agama di Indonesia diapresiasi oleh pemikir Islam asal Mesir Muhammad Arkoun dalam kunjungannya ke Indonesia pada tahun 1992 dalam ceramahnya di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, beliau menyebutkan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia adalah tipikal Qur’anik.
Tes Alquran dalam Islam tidak asing bagi umat Islam karena kasus ini pernah terjadi pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah, tes Alquran pada masa ini dinamakan dengan mihnah (ujian, ujian keimanan). Karena pada masa itu umat Islam berkeyakinan bahwa Alquran adalah qadim (tidak diciptakan) dan merupakan kalam Allah Swt.
Sementara paham yang dianut pemerintah khalifah al-Ma’mun Alquran adalah makhluq (diciptakan).
Khalifah al-Ma’mun menganut paham Mu’tazilah sebagai paham resmi negara dan menurut aliran ini bahwa keyakinan terhadap keqadiman kalam Allah merupakan dosa besar yang tidak dapat diampuni karena berkaitan dengan Dzat Allah yang qadim, menurut Mu’tazilah tidak boleh ada dua yang qadim (ta’adud al-qudama’).
Dalam berbeda pandangan ini maka khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk melakukan pengujian (mihnah) kepada pejabat-pejabat negara disetiap wilayah, mihnah dengan tujuan memelihara kemurnian tauhid menurut mu’tazilah serta al-Ma’mun melaksanakan mihnah karena ingin berpegang teguh pada konsep “Amar ma’ruf nahi munkar.”
Dalam tes mihnah ini ada yang tidak lolos sehingga mendapat hukuman dari sang khalifah, salah satu yang tidak lolos adalah Imam Ahmad bin Hanbal karena menurutnya Alquran adalah kalam Allah dan bersifat qadim. Walaupun bersifat qadim, namun tidak membawa kepada syirik karena kalam identik dengan sifat-sifat Allah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Melihat dari kedua tes Alquran di atas, tes baca Alquran dan tes mihnah (Alquran qadim atau makhluq) mempunyai dua sisi yang berbeda. Sisi tes baca Alquran masih dalam tahap hal yang wajar karena membaca Alquran merupakan keharusan bagi umat Islam sebagai pedoman hidup. Jadi, untuk tes baca Alquran seharusnya menjadi langkah awal bagi calon pemimpin untuk dites; kenapa harus menghindar?
Sementara disisi tes mihnah, sudah berbicara ke arah aqidah dengan membawa dalil masing-masing dari kedua pendapat yang berseberangan, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa Alquran adalah makhluq (diciptakan) dan pendapat yang lain mengatakan bahwa Alquran adalah qadim; dalam hal ini aliran Asyariah (Ahlussunnah wal Jama’ah) berpendapat bahwa Alquran adalah qadim.
Pembahasan mihnah merupakan pembahasan yang mendalam dan filosofis dalam ranah teologi Islam (ilmu kalam). Oleh karena itu, pembahasan ini perlu kajian yang mendalam. Sementara membaca Alquran adalah keharusan bagi umat Islam sebagai pedoman hidup, jika ada tes baca Alquran; kenapa harus menghindar?
Alquran bukan sekedar meyakini akan keberadaannya tetapi bagaimana memahami dan memaknai isi Alquran sehingga bisa menjadi pedoman hidup, kalau sekedar meyakini Alquran maka itu adalah aliran Khawarij (golongan ekstrem yang suka mengkafirkan golongan lain dan sangat berlebihan dalam keyakinan agama) Khawarij meyakini tentang keberadaan Alquran akan tetapi tidak memahaminya. Membaca Alquran bukan sekedar membaca tapi perlu ilmu tajwid dalam membacanya agar tidak terjadi kesalahan dalam membaca Alquran. []