Oleh: Husaini MuzakirAlgayoni*
“Berpikir tapi sesat dalam berpikir, sesat pikir karena kekeliruan dalam bernalar yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika”
Ilmu logika adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau metode-metode berpikir dengan benar, kata logika sudah ada semenjak filosof Yunani Kuno Socrates dan Plato dan masa Aristoteles dicetuskan sebagai suatu ilmu yang tertuang dalam karya Aristoteles Organon yang terdiri dari: Categorie (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (mengenai keputusan-keputuasan), Analiticia Priora (tentang silogisme), Analiticia Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). (Mundiri, Logika, 2014).
Ilmu logika kemudian berkembang dalam dunia Islam pada masa zaman keemasan Islam Dinasti Abbasiyah dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, masa ini intelektual Islam banyak menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti teks-teks bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dari karya-karya filosof Yunani. Dalam Islam ilmu logika dikenal dengan istilah ilmu mantiq (nataqa-yantiqu-mantiqan, pikiran atau logika) yang pertama kali menulis tentang mantiq adalah Ibnu Muqaffa’ pada tahun 142 H.
Ilmu logika dan ilmu mantiq mempunyai pengertian dan tujuan yang sama yaitu suatu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau cara berpikir yang benar sehingga dapat mengambil kesimpulan yang benar. Oleh karena itu, ilmu ini merupakan alat atau dasar untuk menjaga dari kesalahan berpikir, hanya saja yang membedakannya dari kedua ilmu ini adalah ilmu logika bersumber dari filsafat Yunani yang dipelopori oleh Aristoteles sedangkan ilmu mantiq bersumber dari Islam dan disiplin-disiplin ilmu keislaman.
Dari sekian banyak pembahasan dalam ilmu logika, ada topik pembahasan yang sangat menarik untuk dikaji dan ini menurut hemat penulis perlu diketahui bersama-sama yaitu tentang “Sesat Pikir.”
Kita selalu berpikir selama kita mau berpikir, namun dalam berpikir terkadang kita sesat dalam berpikir sehingga merusak nalar atau argumen dalam membuat kesimpulan.
Jadi apa itu sesat pikir? Sesat pikir adalah proses penalaran atau argumensi yang sebenarnya tidak logis, salah arah dan menyesatkan disebabkan karena pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Sesat pikir terjadi karena kekeliruan menalar atau berargumen dan keyakinan yang salah walau kurang data. Berikut penulis uraikan beberapa contoh dalam sesat pikir.
Contoh sesat pikir karena tidak cukup data, Husaini adalah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kabupaten Bener Meriah sejak tahun 2014. Gaji seorang anggota DPR adalah 5 Juta perbulan. Pada tahun 2015, Husaini telah memiliki rumah mewah dengan nilai harga 200 Juta. Kesimpulannya, Husaini adalah seorang koruptor.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering keliru dalam berargumen disebabkan karena gagal argumen yang mana argumen tersebut membuat premis yang tidak berhubungan dengan kesimpulan yang mau dicari. Contoh, premis 1 (Sifat Allah Swt Maha Melihat), premis 2 (Manusia bisa melihat). Kesimpulan, Allah Swt dan manusia adalah sama.
Ada dua macam argumen yang salah dan ini sering dipraktikkan dalam bernalar, kedua argumen tersebut yaitu: kekeliruan relevansi dan ambiguitas penalaran.
Kekeliruan relevansi merupakan argumen keliru namun tetap diterima umum dan tidak merasa bahwa mereka tertipu. Dalam sesat pikir ada 13 jenis kekeliruan relevansi, dalam tulisan ini; penulis memberikan satu contoh dari salah satu jenis tersebut.
Contoh dari kekeliruan relevansi jenis Argumentum ad Hominem, yaitu sebuah argumen yang diarahkan menyerang langsung manusianya (melecehkan, antipati pada orang yang memberi pernyataan). Contoh: Kepada Desa Cinta Damai Husaini menghimbau kepada seluruh masyarakat desa untuk menjaga persatuan dan persaudaraan dalam kontestasi politik. “Tidak perlu mendengar himbauan Husaini karena Kepala Desa tersebut sombong dan arogan,” atau dengan istilah Fallacy of Abusing (kekeliruan karena menyerang pribadi) yaitu kekeliruan berpikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang pribadinya.
Beberapa contoh di atas merupakan sesat pikir karena kekeliruan dalam bernalar yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika atau gagal dalam berargumen, oleh karena itu untuk menghindari sesat pikir ini perlu kiranya kita mengetahui makna dan definisi bahasa dari setiap kalimat serta perlunya wawasan yang luas. Sesat pikir juga terkadang datang dari pemaksaan logika dari diri sendiri, memaksakan membenarkan argumen masing-masing walaupun argumen tersebut tidak benar adanya.
Kesempurnaan manusia adalah dengan adanya akal, dengan akal inilah manusia bisa berpikir dengan sebaik-baik dan seluas-luasnya. Namun, ada juga manusia berpikir tidak menggunakan akal sehat sehingga menyalahi aturan berpikir dan berada dalam sesat pikir yang bisa membahayakan bagi dirinya sendiri dalam berpikir maupun orang lain.
Untuk menghindari sesat pikir atau menghindari kekeliruan berpikir perlu kiranya mempelajari ilmu logika (filsafat) khususnya bagi mahasiswa, dengan logika membantu kita berpikir lurus, efisien, tepat dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Ilmu yang berasal dari Aristoteles ini menyampaikan berpikir benar, lepas dari berbagai prasangka dan emosi; karena ilmu logika mendidik pikiran manusia bersikap obyektif tegas dan berani.
Semoga kita menghindari sesat pikir karena kekeliruan dalam bernalar yang disebabkan oleh pemaksaan-pemaksaan prinsip logika, mari sama-sama kita menggunakan akal sehat untuk berpikir sehingga menghasilkan pikiran yang benar bukan sesat pikir yang dibawa oleh orang-orang emosi dalam berpikir yang menyalahi kaidah-kaidah dalam berpikir.
“Apabila telah sempurna akal seseorang maka sedikit bicaranya dan akal yang sehat terletak pada pikiran yang sehat.”
*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co