Oleh : Fauzan Azima
Bencana banjir mengepung Aceh. Kita hanya bisa prihatin dengan kondisi ini. Sepatutnya bencana demi bencana menjadi refleksi dan menjadi pembelajaran bahwa terjadi banjir akibat dari berkurangnya tutupan hutan dan resapan di saat musim hujan.
Pada tahun 2006 terjadi banjir masip di pantai Timur Aceh, terutama Kabupaten Aceh Tamiang yang menenggelamkan Kota Kualasimpang akibat meluapnya sungai Tamiang. Sejak itu masyarakat sadar bahwa penyebab banjir adalah perkebunan kelapa sawit illegal yang mulai masuk ke wilayah konservasi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL Wilayah Aceh) sebagai badan pemerintah non struktural melakukan tindakan tegas dengan melakukan penebangan terhadap sawit-sawit dan melakukan penyitaan terhadap perkebunan yang illegal tersebut seluas 15 ribu hektar.
Sawit yang ditebang dan lahan perkebunan yang disita baik yang diserahkan secara sukarela maupun melalui proses hukum tumbuh subur menjadi hutan alami dan hasilnya sejak itu Aceh Tamiang tidak pernah lagi terjadi banjir.
Sayangnya Pemerintah Aceh pada tahun 2012 membubarkan “lembaga konservasi” tersebut yang berdiri atas perintah Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA No. 11 Tahun 2006 pasal 150) dalam rangka mengelola, melestarikan dan memanfaatkan secara lestari KEL.
Kini hutan KEL tidak lagi bertuan. Cita-cita rakyat Aceh berdaulat atas atas tanahnya kandas atas dasar kebencian penguasa pada waktu itu “benci kepada seekor semut yang menggigit, tetapi mereka tega membakar rumahnya.”
Perpanjangan tangan Departemen Kehutanan di Aceh; Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BLSDA), Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL), Badan Sertifikasi Hasil Hitan Non Kayu, Yayasan Leuser Internasional (YLI dengan Keppresnya) tidak peduli dengan perambahan hutan, berdirinya tambang-tambang, perluasan perkebunan, pembangunan jalan dan perburuan satwa liar di KEL.
Ketidak-pedulian Pemerintah Aceh, Pemerintah Pusat dan masyarakat terhadap kelestarian hutan Aceh telah memberikan peluang kepada para illegal logger, korporasi perkebunan dan tambang serta pemburu liar melakukan kegiatannya tanpa peduli bencana yang akan terjadi kepada masyarakat Aceh, seperti banjir saat ini.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaku illegal logger, khususnya pada hutan KEL adalah oknum TNI, Polri, Polisi Hutan dan pembiaran oleh Dinas Kehutanan baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Sekarang kembali kepada kita, akankah terus membiarkan para oknum tersebut beroperasi menggerogoti hutan-hutan kita dan merelakan masyarakat banyak menanggung akibat perbuatannya atau membiarkan rumah-rumah kita tenggelam dan masyarakat mengungsi tanpa tindakan apapun kepada mereka.
(Mendale, 13 Desember 2018)