Ibarat Perusahaan ; Wali Nanggroe itu Komisaris, Gubernur Dirutnya!

oleh
Fauzan Azima (jongkok, tengah)

Oleh : Fauzan Azima*

Salah satu point yang alot diperdebatan sebelum Perjanjian Damai GAM-RI (MoU Hilsinky) ditandatangani adalah soal Wali Nanggroe yang menjadi kekhasan Aceh dari daerah lainnya. Tarik ulur lainnya adalah soal hymne, bendera, partai lokal dan calon independen untuk gubernur, bupati dan walikota.

Pengesahan lembaga Wali Nanggroe dan perangkatnya adalah jiwa besar pihak Jakarta yang mengakui kekhasan Aceh. Provinsi lain juga bercita-cita mendapatkan pengakuan yang sama dengan Aceh, tetapi sulit mereka dapatkan. Sumatera Barat dan daerah-daerah bekas kesultanan sebelum menjadi Republik Indonesia ingin mengenang sejarah mereka dengan lembaga seperti Wali Nanggroe.

Wali Nanggroe Aceh tidak lahir serta merta, tetapi melalui proses yang panjang melalui perjuangan penuh darah, air mata, nyawa dan kehormatan. Sungguh sangat disayangkan kalau ada orang Aceh sendiri menyatakan Lembaga Wali Nanggroe itu tidak bermanfaat.

Memang benar diakui atau tidak, keberadaan Pemangku Wali Nanggroe sekarang, (mohon maaf) kurang kreatif mengelola lembaga kebanggaan orang Aceh itu. Namun bukan berarti salah beliau, pembisik kiri dan kanannya lebih banyak bicara kepentingan pribadi daripada kepentingan Aceh yang lebih besar.

Pengalaman saya ketika menghadap kepada Wali Nanggroe yang mulia, Teungku Malek Mahmud Alhaytar beberapa kali di Pulau Penang, Malaysia, beliau punya ambisi besar untuk membangun Aceh, namun beliau terlalu dibebankan dengan persoalan remeh temeh dari orang-orang sekelilingnya.

Kalau orang Aceh cerdas dan mau, perlu menempatkan orang-orang yang profesional, jauh dari kepentingan pribadi dan golongan di sekeliling Wali Nanggroe sehingga keberadaan lembaga tersebut bisa menaikkan marwah rakyat Aceh seperti cita-cita perjuangan masa lalu.

Keberadaan Wali Nanggroe bukan alat “lembaga perlawanan” kepada Jakarta, tetapi secara rutin dan ilmiah menjelaskan kepada pihak manapun bahwa Aceh adalah sebuah negeri yang harus diperhatikan ekstra dan Lembaga Wali Nanggroe adalah sebagai wadahnya mendiskusikan tentang hidup dan kehidupan rakyat Aceh.

Sebagai rakyat Aceh, kita janganlah ikut-ikutan melemahkan Lembaga Wali Nanggroe apalagi bercita-cita membubarkannya. Justru seharusnya kita tingkatkan fungsi Wali Nanggroe itu yang bertanggung jawab langsung kepada peningkatan SDM Aceh. Sehingga personil yang mendampingi Wali Nanggroe seperti MPR RI dulu; terdiri atas utusan dan golongan, termasuk TNI/Polri.

Ibaratnya sebuah perusahaan Wali Nanggroe itu adalah komisaris sebuah perusahaan dan gubernur adalah direktur utamanya yang mengelola perusahaan tersebut. Oleh karenanya Lembaga Wali Nanggroe tidak saja di provinsi, tetapi diperluas sampai ke kabupaten-kabupaten sehingga terasa dampaknya kepada rakyat di daerah-daerah.

Tentu saja ini menjadi “pekerjaan rumah” bagi anggota DPRA yang terpilih pada 2019 nanti. Rakyat sebagai pemilih ke depan benar-benar harus menentukan pilihannya kepada siapa saja mampu memperjuangkan aspirasi “Wali Nanggroe sebagai komisaris negeri ini.”

(Mendale, 14 November 2018)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.