Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
“Praktik politik yang menakutkan melahirkan rasa skeptis dan tidak percaya pada politik layaknya agama yang seharusnya membawa kedamaian justru membawa kejahatan dan ketakutan sehingga manusia jatuh pada ateis.”
Setelah sebelumnya sempat menyindir politikus yang tak beretika dengan sebutan ‘sontoloyo’, Presiden RI Joko Widodo kembali melontarkan sebutan ‘genderuwo’. Sebutan itu disematkan Jokowi untuk para politikus yang tidak beretika baik dan kerap menyebarkan propaganda untuk menakut-nakuti masyarakat. “Yang tidak pakai etika politik yang baik, tidak pakai sopan santun politik yang baik. Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran,” kata Jokowi, Jumat (9/11) Kompas.com.
Menjelang pemilihan presiden 2019 politik Indonesia memang diwarnai dengan tensi panas hingga berujung kontroversi antara dua kubu yaitu kubu koalisi Indonesia adil makmur (Prabowo-Sandi) dan koalisi Indonesia kerja (Jokowi-KH. Ma’ruf Amin).
Bukan hanya di tingkat pusat yang merasakan tensi panas, para timses masing-masing ditingkat daerah maupun simpatisan antar dua kubu tersebut saling serang menyerang dengan kata cacian, hinaan hingga menuduh anti Islam, PKI, radikalis, cebong dan kampret di media sosial. Cara berpolitik seperti ini bukankah melahirkan ketakutan, kekhawatiran dan kegaduhan dalam memilih calon presiden dan wakil presiden?
Rasa toleransi hilang dalam percaturan politik dan melihat wajah politik Indonesia saat ini memang belum dewasa dalam berdemokrasi bahkan para politisinya masih memikirkan isi perut masing-masing tanpa memikirkan kebersamaan dan persatuan bangsa. Dalam mementingkan isi perutnya, politisi rela membenturkan masyarakat saling menebar kebencian dan permusuhan hingga
Indonesia berada dalam kekacauan. (Baca: Indonesia Kacau Balau, Ulah Politisikah? LintasGAYO.co 10/07/2018).
Politik Para Bandit
Mendengar kata ‘bandit’ tak asing lagi ditelinga, sosok dari seorang bandit tak kenal humanis dan etika (jahat dan melawan kebaikan). Mereka menempuh segala cara demi mendapatkan kebutuhan perut sekalipun harus dengan kekerasan, mengadu domba bahkan lebih kejam lagi dengan cara intimidasi dan membunuh.
Politik yang menakutkan pernah terjadi di provinsi Aceh pada tahun 2013 menjelang pemilihan calon legeslatif 2014, peristiwa kelam dalam sejarah politik Aceh pasca konflik GAM-RI. Selama konflk GAM-RI yang menjadi musuh adalah pusat dan pasca perdamaian GAM-RI yang menjadi musuh adalah orang aceh sendiri sehingga sesama orang Aceh saling teror-meneror dan bunuh-membunuh dalam kontestasi politik.
Peristiwa kelam tersebut terjadi pada kader Partai Nasional Aceh (PNA) sekarang Partai Nanggroe Aceh, gagal mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota legeslatif (bacaleg). Teror dan intimidasi yang menjadi penyebab utamanya.
Sebagaimana yang pernah diberitakan oleh Modus Aceh, edisi 29 April – 5 Mei 2013 dengan judul besar “Zuhra Diteror, Cek Gu Ditembak.”
Praktik-praktik politik yang melahirkan ketakutan, bisa jadi generasi millineal atau generasi yang akan datang akan skeptis bahkan bisa jatuh pada tidak percaya lagi pada politik, seperti orang-orang yang tidak percaya lagi pada Tuhan (ateis) disebabkan agama yang seharusnya membawa ketenangan dan kedamaian pada manusia justru membawa kejahatan dan ketakutan bagi umat manusia.
Melihat wajah politik yang kacau balai ini menyebabkan generasi muda tidak tertarik lagi pada topik politik, generasi muda lebih suka menghabiskan waktu pada dunia gamenya, menonton youtube atau lebih fokus pada karir masing-masing padahal pengetahuan/pendidikan politik sangat penting bagi keberlangsungan dalam sebuah bangsa.
Dalam tulisan singkat ini, mari kita merenung dan mengintrospeksi diri masing-masing (khususnya bagi politisi) bahwa dalam berdemokrasi masyarakat punya kebebesan (memilih), tidak perlu memaksa orang untuk memilih pasangan tertentu dan tidak perlu juga menjelek-jelekkan pasangan lawan politik karena politik yang baik ialah politik yang membawa ketenangan dan kenyamanan bagi masyarakat bukan membawa ketakutan dan kekhawatiran.
Jadi siapa sebenarnya membawa politik genderuwo itu seperti yang dilont
arkan oleh Jokowi di atas, silahkan berpikir dan mempersepsikan masing-masing? Yang jelas dalam pandangan penulis yang membawa politik genderuwo itu ialah para-para bandit yang tidak mengenal kata humanis dan etika dalam politik, lebih mementingkan isu perut masing-masing daripada memikirkan persamaan dan persatuan bangsa. Sekian dan terima kasih, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 Ceria.
*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co