Oleh: Husaini Muzakir Algayoni
“Mengobati rasa rindu dengan sang pujaan dengan pertemuan, mengobati rasa rindu dengan kehidupan pesantren bernostalgia dengan lautan bacaan novel Negeri 5 Menara”
Dalam perjalanan hidup, masa lalu adalah kenangan dan sejarah. Kenangan bisa saja berbuah manis atau berbuah pahit, kenangan sulit dilupakan tatkala ia mempunyai secercah kisah kehidupan yang pahit atau kisah kehidupan yang manis. Kedua kisah ini sama-sama terekam dalam memori ingatan atau diabadikan dalam bentuk tulisan, salah satu kisah kehidupan yang terekam dalam bentuk tulisan ialah novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi.
Negeri 5 menara sebuah novel yang mengangkat kisah kehidupan santri (anak rantau) di pesantren (Pesantren Modern Gontor). Oleh karena itu, para pembaca budiman yang pernah merasakan kehidupan indah di pesantren dan merindukan suasananya maka novel Negeri 5 Menara ini layak dijadikan sebagai nostalgia untuk mengenang masa lalu terlepas apakah sewaktu di pesantren merasakan kehidupan yang pahit atau kehidupan yang manis.
Mengobati rasa rindu dengan sang pujaan dengan pertemuan, mengobati rasa rindu dengan kehidupan pesantren bernostalgia dengan lautan bacaan novel Negeri 5 Menara, kisahnya membawa kita kembali ke masa-masa kehidupan pesantren yang syarat akan nilai kehidupan. Novel karya Ahmad Fuadi menggambarkan kisah yang inspiratif, persahabatan dan disiplin super ketat dalam mendidik santri.
Dari sekian banyak adegan-adegan yang ada dalam novel ini yang persis sama dengan adegan sewaktu saya menjadi santri di pesantren Nurul Islam Blang Rakal Bener Meriah. Saya mengutip salah satu adegan yang membuat saya terbayang pada masa lalu yaitu ketika saya menjadi pengurus organisasi (bagian bahasa dan bagian pengajaran) yang menghukum santri-santri yang melanggar peraturan dengan penuh cinta atau sesekali dengan kejam.
Adegan ini terdapat dalam sub-bab Sergapan Pertama Tyson halaman 64, “Qif ya akhi…. BERHENTI SEMUA!” “Maaza khataukum. Apa kesalahan kalian?” tanya salah seorang pengurus kepada santri yang baru saja masuk ke pesantren (santri baru), kemudian santri tersebut menjawab “Maaf… maaf… Kak. Kami terlambat. Tapi hanya sedikit Kak, 5 menit saja. Karena harus membawa lemari yang berat ini dari lapangan….”
“Kalian sekarang di Madani (pesantren), tidak ada istilah terlambat sedikit. 1 menit atau 1 jam, terlambat adalah terlambat. Ini pelanggaran.” Pengurus tersebut mengatakan di Madani tidak ada kesalahan yang berlangsung tanpa dapat ganjaran!” muka santri tersebut menjadi tegang. Ambil posisi berbaris bersaf.
Tangan kanan kalian di bahu kiri teman. CEPAT!” Jewer kuping teman sebelahmu sekuat aku menjewermu” kata pengurus tersebut kepada santri yang melanggar peraturan.
Para alumni pesantren, pernahkah adegan di atas dirasakan ketika melanggar dan mendapat hukuman dari pengurus yang terkadang kejam atau para pengurus pernah merasakan menghukum santri yang melanggar peraturan. Masih ingat, lupa atau lupa-lupa ingat?.
Santri merupakan anak rantau dan keutamaan merantau seperti yang ada dalam syair Imam Syafi’i di bawah ini, syair ini diajarkan kepada siswa tahun keempat di Pondok Modern Gontor.
“Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman / Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang / Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan / Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan / Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, keruh kan mengenang.
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa / Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran.
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam / Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang / Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
“Para alumni pesantren, masih ingatkah dengan kata-kata mutiara Islam yang dipelajari pada kelas pertama di pesantren dalam mata pelajaran “Mahfudzot” sebagaimana dalam novel negeri 5 menara ini, kata-kata mutiara pertama kali muncul yang diajarkan oleh ustad kepada santri adalah kata-kata “Man Jadda Wajada.”
Dengan suara lantang dari ustad/ustadzah meneriakkan “Man Jadda Wajada” dan diikuti oleh santri dengan suara menggema, menjerit tidak mau kalah kencang dari santri lainnya. Berkali-kali, berulang-ulang sampai tenggorokan panas untuk meneriakkan kata-kata mutiara tersebut. Begitulah sistem belajar Mahfudzot pada masa silam yang ada di kelas pertama, masih ingatkah? bernostalgia sejenak tentang kisah kehidupan dan suasana pesantren bersama novel negeri 5 menara di Hari Santri ini pada tanggal 22 Oktober 2018.
Info Novel
Judul Novel : Negeri 5 Menara “Man Jadda Wajada”
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2009
Tebal Novel : 425