Ingin Hidup Tidak Bahagia? Pedomani Konsep Ini

oleh
Husaini Muzakir Algayoni

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Bahagia, apa itu bahagia? Bagaimana caranya agar tidak bahagia?
Dua pertanyaan di atas, penulis mencoba menjawabnya dalam tulisan singkat ini, agar kita sama-sama mengetahui; apa sebenarnya bahagia? Dan bagaimana caranya agar kita tidak bahagia? Setiap orang mempunyai pandangan masing-masing tentang bahagia, sebagaimana ungkapan Aristoteles yang mengatakan bahagia itu ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing.

Ada orang hidupnya sederhana tanpa hidup bergelimangan harta namun ia bahagia sementara dibelahan dunia lain ada oang hidupnya bergelimangan harta dan mempunyai jabatan tinggi namun hidupnya gersang, resah dan tidak bahagia. Oleh karena itu, bahagia sesuai dengan kaidah masing-masing. Misalnya seorang penulis merasa bahagia ketika tulisannya dibaca dan dipahami oleh orang lain, seorang penikmat kopi merasa bahagia kalau sudah merasakan nikmatnya secangkir kopi, orang jatuh cinta merasa bahagia tatkala cintanya diterima oleh sang pujaan hati dan seterusnya.

Menurut Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof yang mengharmonisasikan agama dan filsafat kebahagiaan merupakan ilmu pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu pengetahuan, oleh karena itu beliau menolak pandangan para sufi yang mengatakan bahwa kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan.

Sementara dari kalangan sufi Imam al-Ghazali berpendapat, bahagia dan kelezatan yang sejati ialah “Bilamana dapat mengingat Allah,” kata beliau seterusnya, “Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya.” Lain lagi halnya dengan politisi, kebahagiaan dalam perspektif politisi ini sungguh aneh karena mereka merasa bahagia tatkala melihat lawan politik susah.

Penjelasan di atas mempunyai pandangan masing-masing dari setiap orang tentang bahagia, si A berbeda dengan Si B dalam memahami dan merasakan kebahagiaan. Jadi, dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa kebahagiaan itu terletak pada pikiran kita sendiri.

Nah, untuk menjawab pertanyaan kedua bagaimana caranya agar kita tidak bahagia. Penulis merujuk ke buku Jaya Suprana seorang pakar kelirumologi dan Pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Dalam hal ini menurut Jaya Suprana dalam hidup ada beberapa yang harus dikembangkan agar kita tidak bahagia, adapaun yang harus dikembangkan antara lain:

a. Dengki

Di antara para sumber tidak bahagia yang tergabung di laskar kebencian pada hakikatnya layak disepakati bahwa sang primadona bernama dengki dengan para anak buah bernama iri, cemburu dan sirik. Mereka yang merasa tidak senang apabila orang lain merasa senang memang lebih terjamin mampu merasa tidak bahagia, maka rasa dengki memang layak dipelihara dan dipupuk agar subur tumbuh kembang.

b. Menghina

Secara sosial, bagaimana cara berkomunikasi sangat besar peran dan pengaruhnya terhadap kondisi perasaan mereka yang berkomunikasi. Komunikasi yang dilaksanakan secara penuh rasa damai dan kasih sayang lazimnya membawa kebahagiaan bagi segenap pihak yang berkomunikasi. Sebaliknya, komunikasi yang dilaksanakan secara permusuhan dan penuh kebencian lazimnya membuat segenap pihak yang berkomunikasi secara tidak bahagia.
Nah, menjelang pemilihan presiden banyak orang yang merasa tidak bahagia karena cara berkomunikasi di media sosial penuh dengan kebencian dan permusuhan.

Mereka adalah orang-orang yang berpendidikan dan mempunyai harta mewah namun cara berkomunikasinya membawa keresahan dan permusuhan, dilain sisi mereka boleh saja bahagia dengan menghina di medsos namun dilain sisi jiwanya sedang sakit karena tidak bahagia dengan menghina.

c. Asmara

Ibarat pedang bermata dua, asmara bisa membawa kebahagiaan tiada tara namun juga ketidakbahagiaan tiada tara. Asmara yang tercapai menimbulkan kebahagiaan namun asmara yang tidak tercapai menimbulkan ketidakbahagiaan.

Asmara membawa kebahagiaan tiada tara digambarkan dalam novel Ketika Cinta Bertasbih dan Ayat-Ayat Cinta yang berakhir dengan kisah cinta yang indah, dari kisah cinta yang indah terurai pula kalimat-kalimat indah yang keluar dari bibir. Sebagaimana ucapan Fahri kepada istrinya Aisha dalam novel Ayat-Ayat Cinta 2.

Alangkah manis bidadariku ini
Bukan main elok pesonanya
Matanya berbinar-binar
Alangkah indahnya
Bibirnya,
Mawar merekah di taman surga

Asmara membawa ketidakbahagiaan tiada tara juga digambarkan dalam novel Musyahid Cinta, Ridho sangat mencintai seorang mahasiswi teladan, aktivis yang sosoknya terkenal dan menjadi idaman hampir semua mahasiswa. Ridho mempersembahkan cinta sejatinya kepada Nisa. Sayang, Nisa tak menyambutnya. Cinta yang tak terbalas berujung pada kematian. Dari kisah cinta ini membawa ketidakbahagiaan bagi Ridho, selain itu juga terurai alunan puisi yang lamat-lamat keluar dari mulut Ridho.

Sambil menyeberangi sepi
Kupanggil namamu Nisa-ku
Apakah kau tak mendengar
Malam yang beku, kesah
Memeluk jiwaku yang payah

Dalam uraian Jaya Suprana masih banyak lagi tentang pedoman menuju tidak bahagia, dalam tulisan ini; penulis hanya menguraikannya tiga saja yang sering dilakukan oleh manusia yaitu “Dengki, menghina dan masalah asmara.” Yang telah dijelaskan di atas. Semoga bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.