Pinus Gayo (Pinus yang tumbuh di Aceh Tengah dan Bener meriah) mulai ditebang sekitar tahun 1987 untuk kebutuhan pabrik PT. KKA (Persero) di Jamuan, Aceh Utara.

Perusahaan BUMN yang memproduksi kertas kantong semen itu berhenti beroperasi karena konflik Aceh, ketidakpastian pasokan bahan bakar gas dan tidak adanya lagi bahan baku pinus.
Tidak adanya bahan baku pinus disebabkan penebangan yang dilakukan secara liar dengan tidak memperhatikan blok areal tebangan dan tidak adanya penanaman kembali. Pelaku penebangan adalah PT. Alas Helau yang kemudian merger dengan PT. Inhutani (Persero) menjadi perusahaan PT. THL (Tusam Hutani Lestari).
Alat-alat berat untuk membuka jalan dari Aceh Utara-Aceh Tengah dan membuat jalan-jalan tembus disub kontrakan kepada PT. Lautan Jaya sebuah peruhaan kontraktor besar di Bireuen adalah anak perusahaan PT. Marjaya yang dapat proyek peningkatan jalan Medan-Banda Aceh.
Bang Utih alias Amin Bewang bekerja sebagai pengawas di PT. Lautan Jaya. Sedangkan “adik-adek liting” beliau bekerja di KKA, di antaranya Halidin Bintang (satpam KKA), Ibrahim, Hamka, Sanen dan Hasan Burak.
Amin Bewang adalah murid Datu Longom Bintang yang bersandar kepada Teungku Malem Item (Bur Kelieten). Akibat adu domba Amin Bewang “kena gayong” di terminal Pondok Baru.
Perusahaan-perusahaan besar, pada waktu itu memperkerjakan “orang-orang berilmu” untuk melancarkan usahanya dan kerap diadu domba agar pelan-pelan pribumi tersingkirkan.
(Fauzan Azima ; Mendale, 1 Juni 2018)