Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Megang adalah suatu istilah yang digunakan oleh masyarakat dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan. Istilah ini tidak ditemukan dalam literatur Arab dan tidak ada dalil yang berbicara tentang megang, namun dalam tradisi masyarakat di Aceh termasuk Gayo megang merupakan keharusan tradisi. Karena merupakan keharusan maka tidak ada istilah dalam masyarakat tidak ikut megang walau sangat sederhana.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلعم : لا تقدموا رمضان بصوم يوما, أو يومين إلا رجلا كان يصومو صوما فليصمه.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda : janganlah kalian dahului Ramadhan dengan berpuasa satu hari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka (tidak mengapa) ia berpuasa.
Hadis ini sebagai maklumat kalau menyambut Ramadhan tidak diperintah untuk mengawalinya dengan puasa, baik satu hari atau dua hari sebelum masuknya Ramadhan. Di antara alasan tidak dibolehkan berpuasa menurut sebagian ulama adalah supaya ada pembatasan antara bulan yang biasa dengan bulan yang mewajibkan puasa dan pada diri pelaku ibadah merasakan adanya batasan tersebut. Malah lebih tegas lagi dalam pembatasan puasa Ramadhan dengan Syawal yang dibatasi dengan hari tasyri’ dan diharamkan puasa pada hari tersebut dan sesudah itu baru dilanjutkan dengan puasa enam hari bulan Syawal.
Dari situ kita bisa memahami maksud hadis di atas merupakan larangan untuk berpuasa dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan. Dalam menyikapi larangan tersebut orang beranggapan bahwa puasa-puasa yang ada sebelum Ramadhan memberi arti latihan untuk mengadapi puasa wajib karena larangan berpuasa itu hanya berlaku untuk dua hari (satu atau dua hari) menjelang masuknya bulan Ramadhan, berarti sebelum dua hari itu boleh melaksanakan puasa apakah itu puasa wajib atau puasa sunat. Karena juga di dalam hadis tersebut dikatakan boleh berpuasa bagi mereka yang membiasakan dirinya berpuasa.
Masyarakat menyikapi hadis tersebut dengan menggunakan metode mafhum mukhalafah yakni memahami terbalik dari apa yang disebutkan dalam hadis tersebut. Dalam hadis tersebut Nabi melarang seseorang berpuasa untuk menyambut atau mendahului datangnya bulan Ramadhan, sehingga masyarakat menyikapinya dengan tidak boleh puasa dalam artian lain adalah disuruh untuk makan. Makan ketika ada larangan untuk berpuasa dalam momen menyambut bulan Ramadhan dalam masyarakat Aceh termasuk Gayo disebut dengan istilah megang.
Megang dalam masyarakat Aceh dan Gayo dijadikan sebagai hari istimewa dibandingkan dengan hari-hari lain, pada hari ini makanan istimewa dalam menyambut hari besar dibuat dan disajikan untuk keluarga. Makanan yang paling istimewa dalam masyarakat Aceh dan Gayo adalah daging harganya mahal sehingga masyarakat belum tentu makan daging dalam enam bulan sekali bila tidak ada momen adanya hari-hari besar. Itulah yang dijadikan alasan kenapa semua orang Aceh pada hari megang membeli daging walaupun hanya sedikit.
Tradisi megang dalam masyarakat Gayo sedikit berbeda dengan masyarakat Aceh pesisir, kalau dalam masyarakat Gayo mengkonsumsi daging pada hari megang itu tidak menunjukkan kepada wajib dalam makna tradisi, tetapi menjadikan hari megang sebagai hari istimewa itu tetap. Makanan tradisional yang dibuat pada setiap hari megang adalah lepat, makanan lepat dijadikan sebagaimakanan yang istimewa dan hanya dibuat pada hari-hari tertentu saja.
Lepat selalu dibuat dalam jumlah yang banyak, artinya ketika dibuat dalam suatu momen tidak hanya untuk kebutuhan hari yang istimewa seperti megang tersebut, tetapi masa pembuatannya dikaitkan momen hari besar seperti halnya juga maulid Nabi.
Momen perintah untuk tidak puasa sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, disamping makan makanan yang enak guna menjaga stamina ketika berpuasa juga digunakan sebagai sarana untuk berdo’a kepada keluarga yang telah terlebih dahulu meninggal dunia. Mereka menganggap hari-hari istimewa juga sebagai hari yang afdhal untuk berdo’a. Masyarakat juga berpendapat ketika makan-makanan yang enak jangan sampai melupakan orang lain walaupun telah meninggal dunia.
Praktik yang terakhir ini yakni berdo’a kepada mereka yang sudah terlebih dahulu meninggal dengan mengaitkan kepada suatu momen tertentu dan dengan sarana makanan tertentu pula dinyatakan sebagai amal yang salah. Karena itu praktik yang serupa ini tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat. Di sisi lain praktik megang semakin semarak, seperti terlihat di mana-mana banyak hewan yang disembelih, yang dalam perhitungan kita tidak akan habis namun minat masyarakat juga menjadi luar biasa.
Demikianlah ekspresi pemahaman masyarakat terhadap dalil nash, ada yang memahaminya secara tekstual dan ada juga yang memahami secara kontekstual, bahkan ada yang memahaminya dengan menggunakan metode yang merupakan kebalikan dari pemahaman yang ada (mafhum mukhalafah).
*penulis adalah salah seorang dosen di Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry Banda Aceh