Sikap Kritis Anggota Legislatif Aceh Antara Harapan dan Kenyataan

oleh

Oleh : Hammaddin*

Untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari, disana digedung DPR, mungkin kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman – teman dekat, apalagi sanak famili, dihati dan lindahmu kami berharap, suara kami tolong dengarkan, lalu sampaikan, jangan ragu jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam, dikantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini dari Sabang sampai Maroeke, saudara dipilih bukan dilotere, meski kami tak kenal siapa saudara, kami tak sudi memilih para juara, juara diam ha ha ha….., wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sedang soal rakyat, wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu lagu nyanyian setuju… ( Iwan Flash ).

Parpol sebagai salah satu kekuatan yang ada masyarakat, saat ini harus di akui belum lagi mampu menunjukkan dirinya sebagai fa’il bagi gejolak perubahan di tengah-tengah masyarakat Aceh. bahkan berbagai kalangan politis saat ini sibuk memanfaatkan umat Rakyat Aceh yang notabene adalah muslim untuk mencapai tujuan politis mereka.

Kita tahu, setiap kali akan suksesi dan pemilihan anggota legislatif di Aceh, seringkali diiringi para punakawan politik negeri negeri itu merekruting massa yang intensif. berbagai pendekatan pun dilakukan agar hati rakyat Aceh mekar dan mendukung kepemimpinan atau pencalonan mereka.

Sayangnya, sebagian besar orang Aceh benar-benar terbius dengan maneuver politik yang licik itu, bahkan menganggap hal itu menumbuhkan perubahan bagi rakyat Aceh di masa yang akan datang.

Perkembangan rakyat Aceh tak dapat terlepas dari zaman yang mengungkungnya. Tiap kurun waktu memiliki karakteristik sendiri. Dalam arus globalisasi dan era informasi ini. Rakyat Aceh di banjiri oleh beragam hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Khususnya dalam hal bidang pemikiran ,

Di sisi yang lain , masih bersemayangnya penyakit inferior ( baca ; penyakit rendah diri ) dalam tubuh rakyat Aceh yang menyebabkan tumbuh rasa curiga dan bersikap menutup diri ( baca ; ekslivisme ) sering membuat rakyat Aceh menggampangkan dan bersikap masa bodoh terhadap segala perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Pada hal, mau atau tidak dampak perubahan itu akan menerpa kehidupan rakyat Aceh sendiri.

Menghadapi situasi itu, rakyat Aceh membutuhkan adanya obor penyuluh yang memandu rakyat Aceh, di sulut oleh kader – kader parpol yang yang bijaksana yang bisa melihat dengan hati. Kader – kader yang mampu mengenali masalah-masalah baru yang muncul dan memahami kondisi riil rakyat Aceh yang berbeda dengan zaman sebelumnya. Dalam konteks inilah rakyat Aceh membutuhkan kader porpol yang sangat konsen alias militan berbicara hati nurani rakyat Aceh, bukan hanya sekedar ultimatum yang hampa perwujudan kata, sekedar retorika yang bias makna.

Saat ini menjelang masa pemilihan anggota legislatif, sering kita melihat atau mendengar bahwa ada sejumlah anggota atau calon anggota legislatif dengan vocal menyuarakan aspirasi rakyat, dengan bermacam – macam masalah yang mereka angkat, dengan harapan terpilih lagi menduduki salah satu kursi di legislatif.

Melihat aksi – aksi anggota dewan tersebut, banyak pendapat yang mengatakan bahwa anggota dewan sudah kritis, betulkah ? Lalu timbul sebuah pertanyaan. Apakah sebenarnya kritis itu ? Perlukah anggota dewan kritis ? Bagaimana menjadi dewan yang kritis ?
Secara harfiah, kritis hampir sama atau identik dengan kata kritik yang berhubungan dengan kriteria. Kriteria berarti syarat. Secara gamblang kritis adalah melihat suatu objek atau persoalan ( masalah ) dari berbagai titik pandang yang cukup mempengaruhi satu persoalan.
Perlukah Anggota Dewan Kritis.

Tidak ada anggota dewan yang tidak punya visi dan misi yang akan ia realisasikan dilapangan, bila mereka nanti bisa menduduki salah satu kursi di badan legeslatif, baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun di DPR RI. Cepat atau lambatnya pencapaian visi dan misi tersebut itu dipengaruhi oleh kekritisan anggota dewan itu sendiri. Anggota dewan yang kritis adalah anggota dewan yang tahu memilah – milah antara sebab dan akibat, antara output dan input. Anggota dewan yang kritis tahu menentukan kapan harus memulai dan kapan harus mengakhiri. Denga penuh kesadaran dan sukarela anggota dewan melakukan apa saja demi mengujutkan visi dan misi yang telah merekan rancang sebelum mereka menduduki kursi terhormat dalam lingkungan dewan perwakilan rakyat.

Anggota dewan tidak mudah goyah manakala anggota dewan yang lain tidak setuju dengan jalan pemikirannya dan lebih penting anggota dewan adalah harus tangguh dalam menghadapi resiko dan tetap tegar dalam menghadapi tantangan untuk mengujutkannya sesuai dengan apa yang telah dijanjikannya kepada para rakyat yang memilihnya.

Untuk menjadi anggota dewan yang kritis tidak ada pola tertentu yang dapat dijadikan sebagai petunjuk atau metode. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjadi anggota dewan yang kritis. Melalui diskusi, yang mana anggota dewan dihadapkan dengan berbagai pikiran – pikiran yang sebelumnya diluar pemikirannya.

Tentunya setiap logika akan dapat diterima dengan argumentasi yang konekstual. Ini adalah salah satu media untuk dewan yang menjadi anggota dewan yang kritis.

Memperhadapkan diri anggota dewan dengan suatu persoalan adalah suatu cara yang paling efektif dalam melatih kekritisan anggota dewan atau terjun ke lapangan mendengar langsung keluhan dan keinginan masyarakat.
Kondisi Saat Ini.

Aksi – aksi anggota dewan saat ini yang banyak muncul hanya bentuk gagah – gagahan atau lebih ekstrem tebar pesonan, apalagi saat ini menjelang pemilihan anggota legislatif. Namun, mereka kurang dibekali dengan landasan konsepsional yang akurat. Dalam aksinya itu mereka lebih banyak mengandalkan liputan media massa.
Dengan cara demikian itu, sulit diharapkan sepak terjang tersebut bisa mereka realisasikan nanti bila mereka terpilih lagi atau menjadi anggota dewan. Melihat aksi dan teknik anggota dewan saat ini. Penulis banyak melihat berbagai kelemahannya. Salah satu kelemahan yang dari aksi anggota dewan adalah tidak lagi memiliki martabat atau hati nurani dan tidak mempunyai basis yang jelas, hanya berifat sporadis dan tidak memiliki konsep yang matang.

Saya ( baca ; penulis ) punya teman, teman penulis punya kawan. Dia bercerita tentang kawannya, yang merupakan salah seorang wartawan yang sering meliput kegiatan dilingkungan aktivitas dewan perwakilan rakyat dalam wilayah pemerintah Aceh. Ceritanya, pada waktu diadakan dengar pendapat antara anggota legislatif dengan salah satu LSM ( baca ; Lembaga Swadaya Masyarakat ) yang bergerak dalam bidang lingkungan. Ketika salah seorang pelagiat lingkungan lagi memaparkan hasil risetnya tentang illegal loging. Tiba – tiba salah seorang anggota dewan yang terhormat tersebut instrupsi. Dengan rasa PeDe-nya ( baca ; percaya diri ) dengan lantang ia bertanya, apa itu illegal loging ? Sejenis tumbuhan apa itu ? Dimana bisa ditanam ?

Ruang pertemuan sontak menjadi riuh dan banyak peserta yang tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anggota dewan yang bertanya itu berceloteh lagi. Mantap khan pertanyaan saya tadi ? Langsung ributkan ? Itulah kalau aku bertanya, langsung heboh.
Dari cerita diatas, terlihat sebuah gambaran. Betapa rendahnya kualitas intelektual kebanyakan anggota dewan kita saat ini. Sehingga muncul anekdot yang mengatakan ; “kita simpati ketika pertama kali melihatnya, tapi ketika dia mulai ngomong, baru nampak bodohnya”.

Semoga cerita tersebut diatas hanyalah sebuah guyonan. Andai kata hal tersebut diatas benar adanya. Betapa suramnya masa depan negeri kita ini. Sementara itu parpol ( baca ; intra dan ekstra ) yang mengusung mereka telah terkooptasi. Kendala itu merupakan kendala ekstera mereka disamping itu kendala intern, yaitu pola rekrutmen sekarang menjurus pada sisi pragmatis, sehingga mereka ( baca ; pengurus parpol ) tidak sempat berpikir lain.

Rakyat Aceh Dan Politik

Rakyat Aceh mayoritas muslim. Maka semua aktifitas politik haruslah bernafaskan Islam. Bila saat ini kita lihat banyak kader – kader parpol yang mengorbankan kepentingan rakyat Aceh hanya untuk keputusan-keputusan politik, maka itu di sebabkan oleh dua unsur . Pertama, ; unsur pemikiran atau fikrah. Sekarang ini banyak dikalangan kader parpol lebih memilih kepenting dalam kehidupan duniawi, dan mereka banyak yang masih berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang individual. Dengan kata lain cukuplah seorang muslim dikatakan baik apabila dia sering shalat, sering puasa,sering naik haji. Sedangkan urusan-urusannya dengan masalah politik ekonomi dan lain-lainnya tidak pernah ia kaitkan dengan nilai-nilai agama. Jadi, dengan demikian ada semacam dikhotomis antara agama dengan kehidupan duniawi. Dikhotomis antara masjid dengan luar masjid. Dan saat ini sangat berbahaya. Kedua ; unsur integritas pribadi . Dia tahu Islam mengatur masalah-masalah ekonomi,politik dan lain sebagainya, tapi tidak mempunyai keinginan untuk menjabarkannya kedalam prilaku sehari-hari. Jadi, belum memiliki kepribadian yang utuh yang totalitas. Dan secara umum cukup pantas kita sebut banyak anggota dewan yang kondisi keberagamannya demikian.

Arti Politik

Politik secara terminologis biasa di artikan sebagai the art of next possible. Seni tentang kemungkinan – kemungkinan di masa depan . Sementara secara akademis politik tentu saja adalah segala ihwal yang berkaitan dengan tata cara penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik yang dalam bahasa kita juga bisa mengandung arti konotasi pula sebuah taktik, trik dan cara untuk mencapai tujuan sesuatu.

Dalam bahasa popular, politik adalah politik. Politik yang demikian lazimnya cenderung menghalalkan segala cara atau yang kerap di sebut politik machiavelis. Dari sana lalu tumbuh pendapat umum bahwa politik adalah kotor ( politik is dirty ) Bagi orang awam kebanyakan dikalangan rakyat Aceh pendapat umum semacam itu karuan saja menjadi makin kuat. Mereka acuh tak acuh terhadap politik. Barang kali inilah yang pantas disebut buta politik. Mereka yang bukan tidak tahu ,tapi tidak mau tahu politik.

Pandangan yang mengutamakan politik di atas segalanya ini terlihat dalam perilaku beberapa anggota legislative kita di Aceh. Pandangan agama secara utuh , dalam hal ini dasar-dasar aqidah, tampaknya di kesampingkan.

Akhirnya,yang muncul adalah pandangan –pandangan politis yang cenderung mensimplifikasikan semua persoalan. Harap di ketahui dalam dunia politik seperti itu sering yang terlihat hanyalah warna hitam dan putih alias lawan dan kawan.

Politik adalah sesuatu yang inherent ( baca ; selaku melekat ) dalam perjalan perkembangan rakyat Aceh, khususnya kesejarahannya. Karena tanpa politik , tidak mungkin Aceh pernah mengalami massa kejayaannya bisa menyebar Islam sampai ke seluruh penjuru Nusantara ini. Islam harus di hadapkan oleh berbagai komunitas manusia yang mempunyai norma, etika, adat istiadat, cultur dan sistem hidupnya. Ia senantiasa dihadapkan oleh para penguasa di mana Islam berada.

Sebuah aksionam sejarah yang sulit untuk di ingkari bahwa paham Islam mampu menembus ruang dan waktu, Islam mampu hidup dalam masyarakat yang liberal maupun komunis sekalipun, Islam mampu menghadapi penguasa yang paling demokratis sampai yang paling dektator (Lihat kisah Fir’un, Namrud dan Ratu Bilqis ).

Secara umum kalau kita lihat rakyat Aceh saat ini yang mudah di kerjai dan di manfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di sekelilingn yaitu bermuara dari dua hal. Pertama ; justru dari kebodohan atau kemalasan rakyat Aceh itu sendiri dalam mengkaji kembali ajaran yang mereka yakin dengan bereferensi kepada AL-Qur’an / hadist. Kedua ; adalah usaha-usaha yang dilakukan pihak – pihak yang phobia terhadap Aceh yang berusaha memisahkan rakyat Aceh dari ajarannya agamanya. Dan dari dua persoalan itulah yang menyebabkan hancur dan robohnya Izzu Islam wal muslimin di Aceh. Malahan sangat disayangkan anggota legislatif kita sendiri memberdebatkan masalah kata Dinul Islam yang lagi trend digunakan dalam istilah menyemarakan nuansa Islam di Aceh.

Dan jika sekarang sebagian besar rakyat Aceh yang mayoritas muslim buta terhadap persoalan politik, bukan berarti rakyat Aceh tidak punya konsep tentang politik dan bukan juga berarti rakyat Aceh tidak peduli terhadap masalah politik. Tetapi kesalahannya terletak dari rakyat Aceh itu sendiri yang selalu ingin semua serba instan.
Kalau kita lihat sejarah para Nabi dan Rasul, mungkin sulit untuk di terima akal tentang keberhasilan mereka dalam memperjuangkan Islam. Jika jika tidak memiliki bekal penguasaan politik (baca ; bukan politik dalam arti sempit ) dengan apa mereka mampu menundukkan faham-faham yang berkembang di masa itu,dengan apa mereka menjaga/membentengi umat islam dari serangan-serangan para musuhnya dan dengan apa mereka mampu menghadapi para penguasa yang berkuasa saat itu ?

Keragaman Parpol

Saat ini, wilayah Aceh ada partai politik lokal maupun nasional. Tentu hal ini suatu fenomenan yang sangat menggembirakan ini menunjukkan potensi rakyat Aceh semakin terkristalisasi untuk pembangunan jati diri komunitas muslim.

Keragaman parpol di Aceh, khususnya dalam bidang garapan juga menjadi mekanisme efektif bagi proses pengkayaan wawasan dan pengalaman. Dan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses pendewasaan rakyat Aceh.
Walaupun demikian, ada sejumlah kekhawatiran yang terselip di tengah respon positif kita terhadap keragaman tersebut, Sumber kekhawatiran itu adalah kemungkinan keragaman itu menjadi sumber konflik internal rakyat Aceh. Kemungkinan itu, nampaknya akan selalu ada karena beberapa faktor, antara lain, tingkat kedewasaan pikiran dan kejiwaan aktivis parpol di Aceh yang belum matang, tidak terbukanya keran-keran kerjasama dan adanya upaya untuk mengeksploitasi potensi konflik tersebut.

Tarik menarik antara segi positif dan negative itu, nampaknya menjadi sebab musabab perbedaaan beberapa tokoh parpol di Aceh dalam menyikapi fenomena keragaman tersebut. Secara de facto, keragaman itu kita temukan sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Dan secara de facto pula, benih konflik internal rakyat Aceh. Memang muncul dari salah satunya realitas keragaman tersebut.
Tapi, sepanjang pengamatan terhadap realitas rakyat Aceh, nampaknya sulit sekali untuk mengelak dari keragaman itu. Ekses negatifnya, harus diakui, minimal sampai saat ini masih lebih dominan ketimpang efek positifnya. Dari sini kita bias menggambil sikap. Karena keragaman itu sudah menjadi realitas sejarah di Aceh, maka yang mungkin dilakukan bukan menghapusnya. Tapi, berupaya mengurangi akses negatifnya dan mengoptimalkan pemanfaatan segi postifnya.

Dalam kerangka berpikir itulah, kita merasakan perlu meningkatkan frekuensi dialog bilateral antara parpol nasional dan local, baik resmi maupun tidak resmi yang sistematis. Kalau toh tidak menghasilkan kesepakatan akhir, minimal akan memudahkan proses saling memahami dan mengerti antara parpol yang ada di wilayah pemerintahan Aceh.

Dalam konteks realitas itu membutuhkan dua hal. Pertama ; keluasan wawasan. Kedua ; kematangan jiwa para kader parpol di Aceh dalam menyikapi perbedaan. Pada beberapa kasus, aspek kematangan jiwa sering lebih sering dbutuhkan. Karena ada banyak konflik di Aceh yang bukan disebabkan perbedaan sudut pandang, melainkan ketidakmatangan jiwa para peserta dialog.

Penutup

Hasrat dan kerinduan rakyat Aceh terhadap anggota dewan agar bisa menyalurkan aspirasi hati nurani rakyat Aceh, kelihatan masih jauh dari namanya kita sebut tercapai. Apakah ketika naluri kekuasaan telah begitu merasuki anggota dewan kita, masihkah mereka mencoba untuk tetap mengenakan atribut – atribut demi rakyat. Telah begitu redupkah sisi sense of guity yang semestinya mereka punyai. Ternyata rakyat Aceh sebahagian besar hanya menjadi penonton kita pusat membagi terliyunan kue pembangunan itu untuk Aceh.

Jadi hanya spons apatis itukahyang mampu mereka lakukan ? Mungkinkah hati mereka sudah tertutup, tiada lagi merasa iba ketika mendengar kebanyakan rakyat Aceh merintih atau mengkin menghiba “izinkan kami untuk menikmati lezatnya kue pembangunan itu”.

Anggota dewan harus mempunyai kekuatan yang dapat membawa rakyat Aceh ke hari depan yang penuh tantangan yang hanya dapat mereka atasi dengan sikap ilmiah, rasional dan keterbukaan. Kesediaan menerima kritikan dan koreksi, dengan pola yang horizontal dan egaliter agar terbuka kemungkinan mengeluarkan pikiran – pikiran alternativ lewat proses kreatif yang bebas oleh sebesar mungkin orang dalam struktur yang benar – benar.
Pada akhirnya, tantangan yang harus kita hadapi adalah tantangan terhadap kemanusiaan kita sebagai individu. Tantangan terhadap kesanggupan kita sebagai manusia, apakah kita sendiri – sendiri atau dalam kelompok – kelompok, agar dapat menyelesaikan masalah – masalah kita sebagai rakyat Aceh yang baru lepas dari pusaran konflik dengan cara – cara lebih manusiawi, dengan jalan yang diridhai Allah swt dengan pertimbangan tidak melanggar hak azasi manusia. Tantangannya juga terhadap sampai kemana kita manusia beradab dan berbudaya.

*Penulis adalah seorang antropolog, mantan Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Masysrakat FISIP UGP dan Manager III Civil Network.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.