Harga Mati Untuk Sebuah Literasi 

oleh
Yofiendi Indah Indainanto*

Oleh: Yofiendi Indah Indainanto*

Jika membaca tidak mampu mengubah pola pikir dan tulisan tidak mampu mengubah wacana disitulah kebodohan menjadi raja penguasa dunia, hingga tinggal menunggu kehancuran tiba waktunya. Jejak jalan akan lebih mudah mana kala mengetahun jalan tujuanya, bagimana mengetahui tujuan itu? Pasti ada arah dan petunjuk yang didapat dari sisah-siah jejak itu. Bagaimana bisa hal itu terjadi, hanya dengan jejak semua dapat diketahui?.

Munculnya abad kekelapan yang pernah terjadi didunia menimbulkan kebutaan tentang ilmu pengetahuan. Pemicunya bukan karena kurangnya bahan literasi, melainkan pemusnahan bahan literasi yang dilakukan sekelompok orang agar masyarakat lainnya tidak berkembang dan selalu berada dalam kekuasaan.

Akibatnya, selama itu pula manusia hanya hidup mengikuti naluri alamiah (bertahan hidup) tanpa ada pengembangan dan inovsi kemapuan intelektual sebagai bentuk kecerdasan tingkat tinggi mahluk hidup yang dimiliki manusia. Butuh waktu meninggalkan abad ini, hingga muncul penemuan-penemuan teknologi yang memunculkan persaingan antar masyarakat, dan bangsa-bangsa dunia. Dalam perkembanganya, literasi menempati fungsi vital meningkatkan intelektual manusia. Banyak karya literasi seiring berkembangnya teknologi.

Era sekarang membudayakan literasi bagian dari semuah keharusan kusus, melihat persoalan yang mengkhawatirkan tentang minat menumbuhkan literasi yang kian hari terus menurun, terlebih di Indonesia. Mulai sekarang evokasi tentang minat baca dan tulis harus benar dijadikan sebuah keharusan di setiap aspek kehidupan. Perlu diketahui sumber ilmu pengetahuan lebih dari 90% dari membaca, manusia modern tidak akan berkembang tanpa membaca dan menulis hal ini termasuk dalam upaya memertahankan diri dari seleksi alam.

Berdasarkan studi Most Littered Nation In The Word yang dilakukan oleh Central Conecticut State Univesity pada maret 2016 Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada dibawah Thailand (59) dan diatas Bostwana (61). Hal ini tidak jauh berbeda seperti yang pernah di keluarkan UNESCO tentang indeks minat baca pada 2012 yaitu, 0.001 atau dengan kata lain dari 1000 orang hanya ada 1 yang mempunyai minat baca. Rata-rata masyarakat Indonesia membaca buku 0-1 buku pertahun.

Jika hal ini terus dibiarkan, Indonesia tidak akan berkembang maju, karena sumber berkembangnya manusia berasal dari Ilmu pengetahuan yang didapat dari membaca. Persoalan pun muncul, ketika minat baca yang tinggi tidak imbangi dengan sarana dan prasarana yang mendukung atau sebaliknya. Hal ini pula yang menjadi penyebap minat baca berbada antara masyarakat di kota dan di desa.

Budaya literasi tidak akan bisa dipisahkan dengan sekolah, bisa dikatakan gerbang awal literasi itu dikenalkan pada masyarakat, terutama anak-anak. Menumbuhkan budya literasi tidak bisa lepas dari menanamkan budaya literasi pada anak. Melalui proses belajar di kelas, anak mulai mengenal itu sebagai sebuah kebutuhan. Tentu peran orang tua sebagai tempat datangnya ilmu bagi anak-anak harus dibekali dengan ilmu pengetahuan, hingga menimbulan salaing ketergantungan antara keduanya.

Orang tua umunya, cenderung lupa persoalan yang dianggap sepele, ketika anak sudah kesekolah, orang tua sering menyerahkan keseluruhan proses itu pada guru, nyatanya orang tualah yang harus menanamkan budaya itu. Usia anak-anak jika tidak dibekali dengan literasi akan sulit menghadapi perkembangan jama terlebih di era globalisasi yang kesemuanya serba cepat dan dinamis. Dasarnya sumber peradapan dan perkembangan akan bermula dari sini.

Melihat dari minimnya minat baca dan menulis di Indonesia, menimbulkan keresahan yang akan ditimbulkan dimasa depan. Berkebangnya suatu bangsa tidak terlepas dari berkualitasnya sumber daya manusia yang handal, kesemua itu didapat dari peroses ilmu pengetahuan, tentu cara mendapatkan ilmu pengetahuan itu dari peroses membaca dan menuliskannya tidak ada cara lain. Menurut Tilaar (1999) membaca adalah proses memberikan arti  kepada dunia. Bukan hanya itu menulis akan membuat manusia terus hidup.

Orang tua sebagai jendela anak dengan menanamkan pentingnya literasi itu. Meski sebagian orang menilai membaca hanya menghabiskan waktu, namun disinilah pola pikir yang harus di rubah. Bagimana membuat strategi waktu yang baik untuk masa depan, jika pola pikir membaca dinilai hanya menghabiskan waktu, disitulah kebodohany masih menjadi raja, dan kehancuran akan segera datang dengan kata lain akan hilang dari peradapan. Literasi harus terus tumbuh, jika tidak kematian akibat kebodohan akan menghampiri.

*Warga Kampung Paya Dedep, Kecamatan Jagong, Aceh Tengah. 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.