Rumah Intelektual Bernama Fakultas Kopi

oleh
Win Wan Nur (kiri) bersama Murizal Hamzah saling tukar buku

Oleh : Win Wan Nur*

Warung kopi, sejak awal sejarahnya bukanlah sebuat tempat minum biasa. Tidak seperti Bar yang menyediakan minuman keras bagi pengunjungnya, yang lebih merupakan tempat hura-hura, warung kopi berbeda. Sejak warung kopi mulai muncul pada awal abad ke-16, tempat ini segera menjadi tempat pertemuan dan markas untuk kelompok mahasiswa, para pemikir bahkan kaum revolusioner. Sehingga tidak mengherankan warung kopi menghasilkan banyak perubahan sosial dan politik.

Karena alasan tersebut, warung-warung kopi generasi pertama menjadi sumber ketakutan bagi banyak pemimpin pemerintahan yang melihat warung kopi layaknya hantu. Akibat ketakutan pada dinamika yang terjadi di warung kopi, pada 1511, Khair Beg, gubernur kekhalifahan Ustmani untuk kota Mekah, menutup semua kedai kopi di kota suci ini. Di Istanbul sendiri, Wazir Agung Mehmet Koprulu tidak hanya melarang keberadaan warung kopi tapi sekalian mengharamkan kopi.

Ketika kopi menyebar ke Eropa, warung kopi mulai membuat para peminum yang menyukai percakapan yang lebih intelektual meninggalkan bar dan dari sinilah berbagai revolusi yang mengubah dunia bermula.
Di Indonesia, Aceh adalah provinsi yang lekat dengan tradisi warung kopi dan tentu saja warung kopi di Aceh juga berkarakter sama seperti warung-warung kopi paling awal. Berbagai tema pembicaraan hadir di tempat berkumpulnya banyak orang ini. Konon dulu pahlawan nasional Teuku Umar pun menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda di warung kopi. Bahkan sampai sekarangpun berbagai kebijakan strategis di Aceh sebenarnya dirumuskan dan dimatangkan di warung kopi yang tersebar di berbagai pelosok provinsi ini. Hampir semua lelaki Aceh lekat dengan tradisi nongkrong di warung kopi.

Al Junishar Dekan Fakultas Kopi (Kanan)

Ketika seorang yang pernah hidup di Aceh meninggalkan negeri yang kerap disebut sebagai Serambi Mekah ini, satu kehilangan terbesar yang tak bisa digantikan adalah kehilangan suasana warung kopi. Itulah yang saya rasakan ketika saya pindah ke Medan, Bandung, Jakarta dan sekarang Bali. Suasana khas warung kopi yang ada di Aceh, suasana yang kental dengan nuansa egaliter dan kebebasan mengekspresikan pemikiran, tidak pernah lagi dapat saya temui.

Tampaknya perasaan yang sama juga dialami oleh seorang anak muda asal Aceh bernama Al Junishar. Bedanya, ketika Al Junishar kehilangan suasana seperti yang saya alami, dia membuka warung kopi dan memindahkan nuansa yang hilang itu ke kota yang dia tinggali. Berawal dari Medan dan sekarang Jakarta, suasana warung kopi yang hilang itu bisa ditemui di warung kopi milik Al Junishar.

Berawal dari warung kopi bernama Ulee Kareng, mengacu pada kawasan warung kopi terkenal di Banda Aceh, kota asal kami. Kini, seturut dengan tumbuhnya kelas menengah yang menyukai kopi Arabica gelombang ketiga yang peminumnya tidak sekedar meminum kopi tapi juga merasa perlu mengetahui cerita di balik kopi yang mereka minum. Al Junishar membuka warung kopi yang mengikuti tren zaman sekarang bernama Fakultas Kopi, yang sesuai namanya tidak hanya sekedar menyuguhkan kopi, tapi juga beragam pengetahuan tentang kopi dan detail kisah kopi yang disajikan di meja.

Menariknya, meski sajian kopinya sudah kekinian dengan mayoritas menu kopi Arabica asal Gayo, tidak lagi bergaya lama dengan sajian kopi robusta saring sebagaimana yang kami nikmati di Ulee Kareng dulu. Fakultas Kopi berhasil mempertahankan suasana egaliter dan kebebasan berekspresi sebagaimana warung-warung kopi di Ulee Kareng di zaman saya masih berstatus mahasiswa dulu.

Saya pertama kali berkunjung ke Fakultas Kopi ketika mereka mensponsori peluncuran buku “Siti Kewe” yang ditulis oleh sahabat saya Raihan Anas Lubis. Saat pertama kali menginjakkan kaki di warung kopi ini, saya seolah langsung merasa akrab dengan tempat ini. Nuansa intelektual langsung terasa, ketika saya pertama kali masuk ke dalam warung kopi ini.

Pemandangan pertama yang saya lihat adalah sekelompok anak muda yang sedang mengambil S2 di ibukota, berdebat tentang tema-tema terkait Aceh kekinian. Di meja lain, tampak orang-orang lebih tua dengan penampilan rapi layaknya para pejabat atau pengusaha juga sedang berbincang hangat seolah tanpa batasan norma yang kaku. Semua begitu cair.

Selain tema politik, ekonomi dan budaya. Sebagaimana halnya masyarakat kekinian, pembicaraan di warung kopi ini tentu tak lepas dari pembicaraan tentang sepakbola.

Berbicara sepakbola, ini bukan lagi sekedar bicara olahraga, tapi sudah menyangkut identitas. Dan di sinilah menariknya, Al Junishar sang “dekan” Fakultas Kopi adalah seorang fans Barcelona garis keras yang sebagaimana umumnya Los Cules, melihat Madrid tak ada bagus-bagusnya. Tapi di Fakultas Kopi, selain tentu saja menyediakan meja untuk penggemar Barcelona, Al Junishar pun menyediakan meja khusus untuk para pengagum Real Madrid. Para pelanggan di dua meja ini sangat setia dengan mejanya, mereka tak pernah mau duduk di meja rivalnya.

Kembali ke cerita awal bagaimana warung kopi menjadi tempat berlangsungnya pembicaraan bernuansa intelektual, Fakultas Kopi memperkuat identitas itu dengan kerapnya warung kopi ini mensponsori berbagai kegiatan berbau intelektual, salah satunya seperti saya ceritakan di atas, mensponsori acara peluncuran buku yang diisi dengan diskusi. Setelah buku “Siti Kewe,” novel pertama saya “Romansa Gayo dan Bordeaux,” juga diluncurkan di tempat ini.

Kisah peluncuran dua buku ini juga menjadi cerita menarik lain tentang Fakultas Kopi. Kedua buku ini diluncurkan ketika di Aceh, Gayo dan Aceh seolah sedang berbenturan akibat ulah para politisi oportunis.

Ini menjadi menarik karena mayoritas pengunjung Fakultas Kopi adalah masyarakat Aceh dari etnis Aceh, sementara baik “Siti Kewe” maupun “Romansa Gayo dan Bordeaux” adalah dua novel yang kental berbicara mengenai Gayo. Peluncuran kedua novel yang diiringi oleh penampilan kesenian Gayo ini disaksikan oleh mayoritas penonton bersuku Aceh. Entah sadar atau tidak, dengan aksi ini Fakultas Kopi telah menjadikan diri sebagai katalisator untuk membangun suasana akrab antara Gayo dan Aceh. []

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.