Menyelamatkan Generasi Muda

oleh

Oleh Dr Johansyah MA*

Di era perkembangan teknologi informasi ini, berbagai dampak positif dapat dirasakan pada semua lini kehidupan. Salah satunya adalah kemudahan dalam mengakses beragam infomasi dari berbagai sumber yang sudah tersebar di media sosial. Dulu informasi mahal, tapi sekarang begitu mudah dan terkadang murah. Tinggal publik yang menilai dan memfilter, mana informasi yang layak dipedomani dan mana informasi yang sejatinya diabaikan.

Pada dimensi lain, seperti Indonesia yang sudah menempatkan agama dan budaya secara sinergis dan simultan, kelihatannya kita harus bekerja ekstra untuk menjaga stabilitas nilai yang datang dan berkembang. Pada gilirannya, kita dituntut untuk “berjihad” melawan dan memukul mundur nilai-nilai nakal dan jahat yang siap memberangus sistem nilai yang sudah kokoh.

Dalam konteks global, sebenarnya kita bukan bermaksud curiga, fobia, atau bersikap tertutup terhadap nilai-nilai yang datang dari luar, akan tetapi perlu kritis dan waspada. Perubahan dan pembaharuan memang keniscayaan yang harus diikuti, tapi kita tidak mungkin restu kalau nilai-nilai yang baru dalam perubahan tersebut kemudian mengubah haluan nilai yang ada ke arah pengrusakan akhlak.

Di dunia, beragam ideologi berdiri dan berkembang berdasarkan apa yang mereka yakini sebagai prinsip dasar. Dalam agama (Islam) dikenal istilah aqidah yang memiliki kerangka spesifik dan membedakannya dengan “aqidah” dalam agama lain. Untuk menjadi catatan, setiap ideologi maupun aqidah memiliki standar nilai yang berbeda mengenai kebaikan dan keburukan. Inilah yang patut menjadi pengamatan serius kita sebagai pengawal generasi, jangan sampai standar nilai yang digunakan bukan lagi standar nilai agama budaya kita, tapi standar nilai lain yang “dipaksakan” melalui permainan logika yang pada umumnya berlindung dibawah dalil persamaan (equality), toleransi, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Perhatikan, bagaimana pejuang Hak Asasi Manusia membangun logika untuk meyakinkan publik Indonesia bahwa LGBT itu harus mendapatkan tempat, “mereka juga manusia yang perlu medapatkan haknya” begitu kata mereka. Inilah sebagian logika sesat, diimpor dari barat yang menganut ideologi kebebasan tanpa batas (value free).

Ke depan, tantangan untuk mempertahankan sistem nilai semakin besar dan serangan nilai luar datang begitu cepat. Mereka yang ambisi menghancurkan nilai-nilai etis yang sudah dibangun-seperti suku adat yang tersebar di Indonesia, menyadari bahwa untuk menghancurkan nilai kearifan lokal yang telah mapan, maka harus diruntuhkan kesadaran dan akal sehat. Jika ini rusak, maka logika apapun yang disodorkan akan menjadi menu yang siap dilahap tanpa ragu. Untuk itu, disiapkanlah sarana atau media yang mampu merontokkan akal sehat tersebut.

Menyasar Agama dan Budaya

Sejauh ini, saya melihat ada dua objek vital yang dirusak, yaitu agama dan budaya. Sasaran yang dirusak; pertama, kalangan pemuda dengan pemahaman agama ekstrim untuk menyemai benih redikalisme. Kedua adalah kalangan remaja sebagai upaya memutuskan estafek keberlanjutan sistem nilai budaya maupun agama yang sudah mapan. Ada dua cara yang digunakan untuk merusak akal sehat generasi muda, yaitu narkoba dan pergaulan bebas. Dua hal ini adalah sesuatu yang mudah digandrungi generasi muda kita.

Untuk diamati dan dibandingkan, bagaimana bom Kuningan dan bom Bali yang membunuh manusia awam, lalu pelakunya berdalih bahwa mereka jihad memerangi orang kafir. Dan alangakah anehnya ketika muslim Rohingya dibantai, dibakar hidup-hidup, dan perempuan-perempuannya diperkosa, kenapa tidak muncul pasukan jihad yang katanya memerangi kafir, mau jihat mencari pahala dan surga? Kalau ada alasan sulit menembus batas negara Myanmar, rasanya terlalu naif bagi kelompok jihad.

Terbuktilah di sini, bahwa doktrin jihad semacam ini bukan murni berkembang dari internal dan dimaksudkan semata untuk menghacurkan Islam dari dalam.

Terkait dengan pengrusakan budaya melalui pendangkalan akal sehat generasi muda, sejauh pengamatan kita hal bukan lagi wacana, tapi merupakan upaya yang sudah berlangsung dan berbuah manis. Menurut kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol Budi Waseso, Jumlah pengguna narkoba di Indonesia hingga November 2015 mencapai 5,9 juta orang (Kompas, 11/01/16). Menurut catatan Republika Online (30/10/17), bahwa dari keseluruhan pengguna narkoba, sekitar 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

Sementara dalam kaitannya dengan pergaulan bebas, menurut catatan BKKBN, di tahun 2014 sekitar 62,7 persen remaja di Indonesia sudah melakukan hubungan di luar nikah (Sumber: Kompasiana). Angka ini mungkin meningkat pada tahun berikutnya dan untuk itu, tentu tidak boleh dianggap remeh. Apalagi di Indonesia, kasus-kasus hamil pra nikah, ujung-ujungnya orangtua menikahkan anaknya untuk menutupi aib keluarga, meski hukum Islam tidak pernah memberikan petunjuk seperti ini.
Baik narkoba maupun pergaulan bebas, keduanya merupakan sumber masalah bagi munculnya masalah lain. Narkoba adalah media untuk membuat kesadaran orang runtuh, selanjutnya merajut kenikmatan semu. Pengguna narkoba berpotensi menjadi orang gila karena orang yang tidak sadar itu sama dengan orang gila.

Orang gila akan mengatakan dan melakukan apa pun yang dia mau tanpa pertimbangan, kebimbangan dan ketakutan. Maka narkoba dapat menjadikan orang sebagai pembunuh, pemerkosa, penghina, pencuri, dan pelaku kejahatan bentuk lainnya.

Seks bebas yang pada umumnya pasangan usia muda dan akhirnya dinikahkan oleh orangtua untuk menutupi aib, padahal mereka sebenarnya belum siap menjadi pasangan suami/istri serta orangtua bagi anak-anaknya. Ujung-ujungnya adalah perceraian. Ketika cerai, masing-masing mencari suami dan istri baru. Tapi anak-anaknya tidak akan pernah mendapatkan kenyamanan selain dari ayah atau ibu kandung mereka. Merasa kasihan, akhirnya kakek atau neneklah yang mengasuh anak-anak mereka. Anak kekurangan kasih sayang, bergaul dengan minimnya pengawasan, berteman dengan siapa saja tanpa pilih dan pilah. Karena kurang kasih sayang dan minimnya pendidikan dan kontrol, si anak pun tumbuh dan besar menjadi remaja yang kerap membuat masalah. Jadi, orangtuanya menjadi masalah, anak pun sering membuat masalah.
Dengan kesadaran penuh terhadap fenomena ini, maka tidak berlebihan kalau saya katakan pada tema artikel ini bahwa generasi muda kita harus diselamatkan karena mereka berada di jurang kehancuran.

Caranya bagaimana? Tadi sudah ditegaskan bahwa ada dua objek vitas yang menjadi sasaran pengrusakan, yaitu agama dan budaya sebagai sistem nilai. Kalau begitu tugas kita adalah menjaga dan mewariskan sistem nilai ini kepada generasi muda, menjadikannya sebagai filter terhadap budaya luar yang coba menyusup, dan menjadikannya sebagai standar nilai yang baku untuk tidak dapat diganggu gugat. Caranya sistem nilai agama dan budaya ini harus dikuatkan pada semua lini pendidikan, baik keluarga, masyarakat, dan sekolah. Semoga generasi muda kita tanggap dan sadar situasi seperti ini dan tidak mudah tergoda oleh berbagai ornamen kekinian yang begitu “seksi” untuk dilihat dan ditiru.

*Johansyah, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Washliyah Aceh Tengah. Email: johan.arka@yahoo.co.id.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.