Oleh: Iranda Novandi

“KALAU mau menelepon di atas sana, di gubuk itu,” ujar seorang wanita muda sambil menunjuk sebuah bukit kecil dan di atasnya ada sebuah gubuk sederhana. Ukurannya sekitar 2 x 2,5 meter.
Sejurus kemudian, mata tertuju pada sebuah gubuk bercat biru dengan dinding hanya sepertiga dari gubuk tersebut. Sedangkan atapnya terbuat dari seng bekas yang sudah berkarat dan penuh lubang bekas paku.
Karena ingin tahu, Analisa menyambangi gubuk di atas bukit itu yang jaraknya sekitar 5-6 meter dari sisi jalan lintas Takengon-Blangkejeren sembari membawa ponsel pintar.
Ternyata benar. Sebelumnya, sinyal lenyap di ponsel pintar ini. Tapi, setelah di atas bukit itu, muncul satu-dua batang kekuatan sinyal yang muncul di layar ponsel pintar. Meski, juga timbul tenggelam.
Begitulah kondisi jaringan komunikasi seluler di wilayah bernama Ise-ise. Ini daerah perbatasan Kabupaten Aceh Tengah dengan Gayo Lues. Daerah ini merupakan persinggahan para pengguna jalan yang melintasi lintas tengah-tenggara Aceh, sebelum melanjutkan perjalanan ke Blangkejeren atau Kutacane dari Takengon, begitu juga sebaliknya.
Wilayah sekitar diapit perbukitan dengan hutan yang masih lumayan lebat. Walaupun tampak lereng perbukitan itu sudah ditanami serai dan tanaman palawija lainnya oleh para warga setempat.
Ada sekitar lima rumah dan tiga warung, satu di antaranya warung makan, di sekitar lokasi tersebut. Di warung makan itu, menu yang disajikan pun sangat bernuansa Gayo. menu masakan dataran tinggi berhawa sejuk itu, seperti pengat, masam jing, sayur bening pucuk dan buah labu Jepang dan berbagai menu lainnya seperti ikan goreng, dan sambal.
“Biasanya ada juga ikan depik,” ujar wanita penjual di warung itu. Depik (Rasbora tawarensis), merupakan ikan endemik yang terdapat di Danau Laut Tawar Aceh Tengah.
Ikan seukuran kelingking orang dewasa ini sangat renyah dan gurih jika digoreng kering. Kadang, rasanya agak pahit karena di bagian kepala ikan depik ini terdapat empedu, istilah bahasa Gayo pire. Masyarakat setempat menyakini pire ini merupakan endapan belerang yang ada di dasar DLT yang jadi makanan ikan tersebut.
Konon, khasiatnya selain bisa menghangatkan tubuh karena rasa pahitnya, juga sangat membantu vitalitas laki-laki. Karenanya, masyarakat Gayo yang berdiam di Aceh Tengah dan sekitarnya memiliki banyak keturunan (anak). Namun, hal ini rasanya butuh penelitian secara ilmiah.
Selain menu makanan tadi, kopi di Ise-ise ini juga terasa nikmat. Kopi yang disajikan adalah kopi tubruk, yang cara penyajiannya langsung menyeduh bubuk kopi dengan air panas dalam satu cangkir atau gelas. Alangkah nikmatnya kopi tersebut jika diminum tanpa gula.
Kendala Terbesar
Bagi masyarakat Ise-ise yang letaknya sangat jauh di pedalaman Aceh, jaringan komunikasi merupakan kendala terbesar yang mereka hadapi. Begitu juga jika ingin berbelanja kebutuhan hari-hari. Mereka harus menuju Takengon, Aceh Tengah, atau Blangkejeren, Gayo Lues.

Jaraknya hampir sama, sekitar 1-2 jam perjalanan. Hanya saja, yang membedakannya adalah jalan menuju Blangkejeren harus melalui jalan tanjakan pegunungan yang terjal dan sisi kiri-kakan jalan tebing gunung yang rawan longsor serta jurang yang sangat dalam.
Di Ise-ise, ada kesan masyarakatnya tak perlu ponsel canggih atausmartphone karena tidak bisa dimanfaatkan dengan optimal, kecuali untuk bermain game yang sudah terpasang (install) di ponsel. Di hampir sepanjang jalur lintas Ise-ise ke Blangkejeren, nyaris tidak ada sama sekali jaringan komunikasi seluler.
Seorang warga Gayo Lues, Ismail Baihaqi mengaku, dari enam kecamatan yang ada di Gayo Lues, tiga kecamatan sama sekali tidak memiliki jaringan seluler. Ketiga kecamatan itu yakni Pining, Tripe Jaya dan Blangjerango.
Kalau ingin berkomunikasi melalui jaringan seluler, masyarakat di tiga kecamatan ini harus menempuh berbagai cara. Misalnya, warga di Ise-ise. Mereka harus bisa mencari titik sinyal atau harus ke ibukota Gayo Lues di Blangkejeren.
“Kami, jika ingin menggunakan ponsel harus ke Lokop/Serbajadi di Aceh Timur, atau (Aceh) Tamiang atau bisa juga ke Blangkejeren,” ujar Baihaqi, warga Pining yang sehari-hari mengontrak di Kota Langsa karena kuliah di salah satu universitas di sana.
Di alam kemerdekaan dan modernisasi seperti saat sekarang ini, rasanya tanpa ditunjang sarana komunikasi yang memadai, suatu daerah itu akan sangat sulit berkembang. Itulah yang dirasakan masyarakat di pedalaman Gayo, Aceh ini.
“Rasanya butuh keajaiban bagi kami baru bisa berkomunikasi dengan dunia luar,” tambah Baihaqi, nelangsa.
Ironis memang. Dalam usia 72 tahun negeri ini merdeka, ada warganya yang masih belum menikmati madu kemerdekaan itu. Mengapa?
Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian ANALISA
Disadur dari tulisan asli dengan judul “Gubuk Seluler” ala Ise-Ise
Sumber : https://bukuiranda.wordpress.com/2017/10/25/gubuk-seluler-ala-ise-ise/