Kumuning Asmara di Musim Panen Padi

oleh
Kumunjng Asmara Musim Panen Padi (M Nasir)
Kumunjng Asmara Musim Panen Padi (M Nasir)

(Bag. 1)
Oleh; Saraminaku*

KABUT memutih di badan dan punggung gunung, orang-orang kampung menyebutnya dengan nama bur Cemuk. Konon nama Cemuk tersemat karena yang pertama berkebun di gunung ini adalah seorang pemuda pelarian dari perang Cumbok yang terjadi di Aceh pesisir.

Bur Cemuk dipenuhi dengan pinus dan ilalang liar, hamparan padi telah menguning di sepanjang kaki gunung ini. Mungkin hanya menunggu waktu hitungan minggu untuk dipanen.

Sebagian besar masyarakat di kampung ini berprofesi sebagai petani. Seorang guru sekolahpun juga sebagai petani. Berganti pakaian ketika usai jam dinas lalu pulang beralih profesi menjadi petani. Menjadi petani adalah pekerjaan utama penduduk Kampung Temung.

Tiga minggu lagi akan panen, anan** telah mengambil beberapa tangkai padi untuk dijadikan bahan makanan berupa temping, persiapan kudapan ketika musim panen tiba. Padi yang telah diambil dan dirontokkan kemudian direndam dua hari. Tangan anan cekatan melakukannya. Sudah perpuluh tahun pengalaman anan membuat kudapan ini. Sudah hafal luar kepala resepnya. Setelah ditiriskan, anan akan menumbuknya menggunakan lusung di sisi rumah pitu ruang.

Tak jarang aku mengajak teman-teman untuk membantu anan. Sambil bertukar cerita .Volume suara kami standar jika berbicara masalah sehari-hari, tetapi terkadang tenggelam dari pendengaran anan ketika kami telah membahas masalah perasaan terkait pergaulan muda-mudi sambil sesekali mulawi, ahoiiiiiii kata Gemasih sambut yang lain serentak tanpa di komando kemudian disertai tawa.

“Apa itu?”, tanya anan sambil memberhentikan anak lusung yang terbuat dari kayu sepanjang dua meter berbentuk bulat dengan ukuran diameter lebih besar di atas dan bawahnya dibanding badannya yang digunakan untuk menumbuk padi yang telah direndam anan selama dua hari.

Lusung berbentuk segi empat dengan tinggi sekitar 60 cm dan berbentuk lingkaran di tengahnya dengan diameter sekitar 30 cm dan kedalaman 40 cm.

“Tidak ada anan, Gemasih ini anan,” kataku menunjuk ke arah Gemasih

“Bukan aku anan,” sanggahnya sambil terus menampi beras yang telah ditutu untuk membersihkan ampas padi yang telah penyet.

“Lanjutkan pekerjaan kalian dengan benar,” kata anan sambil memperbaiki kelubung penutup kepala dari kain sarung yang dibentuk untuk menghalau sengatan terik matahari.

“Ya anan,” kata Gemasih sambil melanjutkan pekerjaan menggesek padi yang telah penyet menggesek ke kanan dan kekiri menggunakan tampi dan sesekali menggesek ke atas untuk membuang ampas telah terpisah dari beras. Gemasih sangat cekatan melakukannya.

“Yang sudah ditampi tolong dijemurkan Rembune,” kata anan.

“Baik anan,” jawabku.

Hari yang dinantipun tiba, panen padi.
Ibu-ibu paruh baya dan beberapa gadis telah berdatangan ke sawah anan untuk memotong padi. Sabit di tangan dengan kelubung yang digunakan semua perempuan Gayo jika pergi ke sawah atau kebun. Satu dua orang sudah mulai masuk ke petakan sawah pertama untuk memotong padi. Diikuti oleh ibu-ibu dan para gadis lainnya. Sekitar tujuh orang tamu anan untuk memotong padi ditambah dengan aku dan Gemasih.

Pagi ini sebelum ke sawah anan telah mempersiapkan temping untuk jengo*** dalam seminggu ini telah kami proses. Tak hanya mempersiapkan kudapan, anan juga memasak ayam masam jing. Ayam yang diasam pedas adalah makanan spesial bagi kami, karena makanan ini hanya terhidang ketika momen spesial tak terkeculai ketika musim panen padi tiba.

Anan selalu mempersiapkan makanan yang istimewa ketika musim panen, karena menurut anan pekerjaan akan maksimal jika perut kenyang dan sebagai bentuk pemuliaan tamu yang datang untuk membantu.

“Bune… o Bune,” teriak anan dari seladang

“Apa anan,” kataku

“Pesawat sudah lewat, ambilkan dulu jengo,” kata anan sambil mengangkat bakul dan termos.

Tanpa basa basi aku mulai melangkah ke seladang**** yang jaraknya berselang dua petak sawah dari tempat kami berdiri.

“Kopi di termos juga jangan lupa antarkan kesana,” perintah anan lagi

“Ya anan,” kataku menurut

Kuambil temping yang telah dibungkus anan di daun pisang untuk dibagikan kepada semua orang yang sedang bekerja. Anan mengikutiku dengan membawa gelas dan termos berisi kopi di tangan kanan anan.

“Berhenti dulu, makan jengo dulu kita,” kata anan sambil berjalan di patal***** sawah.

Semua orang berhenti. Duduk di patal sawah. Aku sibuk menghidangkan temping dan kopi yang telah dituang anan di gelas. Uap panas kopi diseruput membasahi tenggorokan yang dahaga. Kupercepat menghidang agar cepat pula aku bisa menyantap temping dan meminum kopi.

“Aman Ipak ayo berhenti, kita makan temping dulu sambil minum kopi,” kata anan pada ama panggilan ayah pada masyarakat Gayo.

Mengangguk takjim dan seketika ama telah berada di sampingku dan mengambil sebungkus temping dan segelas kopi panas.

Ibu-ibu dan para gadis bercerita sambil memakan temping sesekali mulawi mereka menggema ahoiiii wiiiiwww.

Para bebujang juga bergerak mengambil tumpukan padi yang baru siap dipotong dan meletakkannya di lengan yang telah dibubuhi kain sarung agar tidak gatal. Mengambil semampu tangan menahan beban, sekitar sepuluh ikatan dan mengantarkannya ke seladang. Mubénuh namanya.

Sementara itu Ama bersiap menerima dan menyusun padi dengan rapi di dalam seladang. Menyusunnya berbentuk segi empat mengikuti ukuran seladang yang dibuat. Menyusun dari sisi ke sisi meletakkan batang padi ke arah luar dan padi ke dalam. Semakin lama semakin meninggi. Biasanya ukuran seladang disesuikan dengan luas sawah yang akan di panen.

Sambil memotong padi Gemasih tampak tersenyum. Sesekali memandang ke arah seladang, pipinya memerah malu. Seketika kulihat kearah seladang, Perala menebar senyum pada Gemasih.

Pantas saja beberapa bulan ini intensitas senyum Gemasih bertambah dan sering kali menyebut-nyebut nama Perala ketika bercerita.

“Ciye ciye,” kataku menggoda Gemasih
“Kenapa Bune,” katanya sambil mengekpresi wajahnya senetral mungkin
“Senyuman dari seladang itu manis ya,” kataku menggoda

Ternyata kata-kataku memerahkan mukanya.

“Senyum apa Bune?”, katanya berpura-pura tak mengerti.
“Itu senyum pemuda di samping ama,” kataku memperjelas
“Mana ada woy,” kata Gemasih dengan pipi memerah, malu. [SY].

Bersambung

*Saraminaku adalah anggota Komunitas Sastra Bukit Barisan (KSBB) Takengon juga sekretaris Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Takengon

** anan adalah sebutan untuk nenek pada masyarakat Gayo

*** jengo adalah kudapan

**** Seladang adalah tempat menunpuk padi seyelah dipotong untuk kemusoan dirontokkan

***** patal adalah pematang sawah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.