Catatan Radensyah*
SAAT ini manusia semakin menonjolkan ketidakpatuhan kepada Sang Penciptanya. Pengetahuan, pengalaman dan ilmu tidak berguna untuk menunjuki manusia tersebut kearah akhlak yang baik. Ini akibat wujud pengamalan akhlak hanya bersifat teoritis yang cenderung didominasi oleh nilai afektif semata (berpura-pura), yang belum berasal dari keimanan dan ketakwaan sesungguhnya.
Kezaliman adalah perbuatan yang dibenci oleh nurani manusia. Berbuat zalim kepada manusia artinya kita sedang mencelakai eksistensinya, hal ini dapat juga disebut penganiayaan. Sekarang, kezaliman lebih sering terjadi pada umat muslim. Pembunuhan, penipuan, pencurian, pencemaran nama baik dan praktek kezaliman lainya semuanya dilakukan oleh orang yang beragama dan kelihatan taat. Mereka yang terzalimi adalah kebanyakan orang-orang seaqidah seperti masyarakat biasa, anak yatim, fakir miskin,dan orang-orang yang kurang mendapatkan pendidikan.
Salah satu ayat Al-qur’an yang membahas mengenai kezaliman terdapat pada surat Al-Maidah ayat 45;
“…Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan ALLAH, maka mereka itu adalah orang-orang zalim” (Al-Qur’an, Al-Ma’idah, Ayat 45).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, ayat ini berkaitan dengan kaum yahudi yang tidak membela orang-orang yang teraniaya dimana secara praktis sudah jelas tidak membuktikan sifat adil. Meski ayat ini berbicara tentang perilaku kaum yahudi pada saat itu, namun ayat ini berlaku untuk seluruh umat manusia seperti yang dikatakan Al-Hasan Al-Basri, (selengkapnya baca tafsir ibnu katsir). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zalim berarti bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, dan kejam. Perbuatan zalim berarti dapat dikatakan merupakan wujud tidak berfungsinya lagi akhlak manusia tersebut dalam konteks hubungan sesama manusia (Hablun Minannas).
Saat berbuat zalim kepada orang lain berarti kita telah gagal menjaga perasaan manusia. Seseorang tidak hanya merasakan sakit karena luka fisik, tapi yang lebih dirasakan sakit adalah luka batin. Agama islam sangat melarang perbuatan-perbuatan yang dapat menyakiti perasaan manusia. Jangankan manusia, binatangpun harus diperlakukan dengan baik selaku makhluk yang hidup berdampingan dengan manusia. Terkait kezaliman, Rasulullah SAW bersabda, “…seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainya, maka tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, mendustainya, dan menghinakannya…” HR. Muslim, Hadist Arba’in ke-35.
Sebenarnya islam telah mendidik kita agar jauh dari sifat dan tindakan zalim. Bentuk pendidikan Islam menyentuh fitrah-nurani manusia yang kemudian tertuang kedalam sendi-sendi kehidupan. Hati nuranilah yang harus digali sedalam mungkin. Kezaliman disamping sebagai kajian hukum syarak, juga kajian masalah pemahaman perasaan dan hati nurani. Dalam klasifikasi norma disebut juga norma kesusilaan.
Merefleksikan sesuatu kepada diri sendiri adalah cara yang baik dalam memahami pesan-pesan agama dan biasanya akan lebih melembaga kedalam hati, daripada konsep-konsep teoritis yang kita miliki. Untuk menempuh ini utamakanlah perasaan daripada akal.
Saat anda menzalimi orang, bayangkan anda dizalimi orang, saat anda menghina orang, bayangkan bagaimana jika keluarga anda dihina orang, saat anda menipu orang, bayangkan betapa sakitnya uang anda dicuri orang. Saat anda membentak orang, bayangkan ayah-ibu anda dibentak orang dan seterusnya.
Pekalah dalam mendengar suara hati karena umumnya itu adalah fitrahmu sedang menasehatimu. Saya teringat tuturan nasehat dalam budaya Gayo, “gicip mulo usi diri baro gicip usi ni jema” = cubit dahulu kulit sendiri, baru cubit kulit orang lain. Maksudnya adalah rasakan dan fikirkan dahulu perbuatan buruk itu kepada diri sendiri baru dilakukan kepada orang lain.
Semoga kita semua tidak tergolong manusia yang menyakiti batin manusia.[]
*Anggota Kajian Gayology Pinangen.