Muhamad Hamka
SALAH satu elite politik Gayo yang namanya sudah tidak asing bagi warga Dataran Tinggi ini adalah Tagore Abubakar. Pengalaman politiknya yang panjang membawanya duduk sebagai anggota parlemen di Senayan, Jakarta. Bagi Tagore politik mungkin sudah bersenyawa dengan “trombosit” kehidupanya. Lihat saja pengalamanya, mulai dari anggota hingga Wakil Ketua DPRK Aceh Tengah, Ketua DPRK Bener Meriah, Bupati Bener Meriah, hingga jadi anggota DPR RI saat ini. Mulai dari merasakan sejuknya naungan Pohon Beringan (Golkar), hingga bergabung dengan Kepala Banteng Moncong Putih (PDI-P) saat ini.
Sepak terjang politiknya di Wilayah Tengah, Aceh tak jarang menuai pujian, sekaligus acapkali menerima hujatan. Tagore termasuk salah satu tokoh Gayo yang berani melawan secara vis a vis kebijakan politik dan pembangunan elit Aceh yang acapkali memarginalkan Gayo. Ia berani melakukan kritik terbuka terhadap praktik diskriminatif elit politik Aceh ini. Untuk sikapnya tersebut, Tagore menanggung kosekwensi serius di depak dari Golkar, partai tempat ia merawat imajinasi dan cita-cita politiknya.
Mungkin elit Golkar Aceh kala itu berfikir, bahwa dengan di depaknya Tagore dari Golkar, maka riwayat politiknya akan usai. Ternyata, karir politik Mantan Bupati Bener Meriah ini justru melesat jauh setelah berhasil melenggang ke Senayan lewat pintu PDI-P, sebuah parpol yang sejatinya senafas dengan spirit nasionalisme Tagore Abubakar.
Keberhasilan Tagore menjadi anggota parlemen menghadirkan harapan bagi banyak warga Gayo yang menghendaki terbentuknya Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Tagore sebagai tokoh sentral perjuangan ALA, diharapkan dengan posisinya sebagai anggota DPR RI bisa menghadirkan angin segar bagi terbentuknya Provinsi ALA.

Namun, harapan yang di labuhkan kepada anggota Komisi II DPR RI ini justru anti klimaks. Sudah tiga tahun ia berada di Senayan, namun belaum ada gerakan signifikan yang dibangun oleh Tagore terkait ALA secara khusus dan transformasi perubahan bagi wilayah tengah secara umum. Kita jarang, untuk tidak mengatakan tak pernah membaca dan menonton di layar kaca seperti apa sepak terjang Tagore di Senayan.
Bagi Saya, ini tentu saja amat mengecewakan sebagai salah satu yang mendukung majunya Tagore ke Senayan. Kala itu, sebagai bentuk dukungan kepada Tagore Abubakar, saya menulis sebuah opini di portal www.lintasgayo.com dengan judul “Mengapa Harus Memilih Tagore?” (26 Desember 2013). Tulisan tersebut menuai hujatan dari banyak pihak yang anti Tagore. Tapi intuisi politik saya sebagai pengamat waktu itu percaya, bahwa Tagore adalah sosok yang tepat, sekaligus yang punya peluang menang ke Senayan.
Dari ketiga alasan fundamental memilih Tagore yang saya kemukakan dalam opini kala itu, faktanya hari ini justru anti klimaks. Padahal, ketiga alasan inilah yang acapkali saya jumpai dalam perbincangan dengan banyak pihak kala itu.” Pertama, dari semua tokoh politik Gayo, lebih khusus lagi yang maju menjadi caleg ke Senayan, hanya Tagore yang punya kemampuan membangun resonansi politik. Laku politik di senayan membutuhkan figure seperti Tagore yang ‘ngotot’ dalam mengartikulasikan kehendak politiknya.
Dengan kemampuan membangun resonansi politik tersebut Ir. Tagore akan punya bargaining politik yang kuat di Senayan. Di samping itu, dengan style politiknya yang berani dan blak-blakan akan semakin membuat Gayo di kenal luas di lingkungan elit politik Jakarta dan publik Nusantara. Sehingga kepentingan Gayo dan perjuangan pemekaran ALA akan semakin di perhatikan oleh elit politik Nasional.
Kedua, PDI Perjuangan selaku kendaraan politik Tagore, dalam dinamika eskalasi politik nasional hari ini di prediksi oleh banyak pengamat politik bakal keluar sebagai pemenang pemilu 2014 mendatang. Nah, apabila PDI Perjuangan keluar sebagai partai pemenang pemilu, maka perjuangan pemekaran Provinsi ALA di Senayan kian lempang jalanya. Tinggal langkah selanjutnya adalah membangun lobi-lobi politik dengan partai lain. Di sinilah dibutuhkan peran kapasitas politik Tagore membangun resonansi politik.
Ketiga, Joko Widodo, kader PDI Perjuangan yang saat ini menjadi Gubernur DKI adalah calon presiden ppaling popular dan teratas hasil polling pelbagai lembaga survey. Saat ini Jokowi tinggal menunggu restu Mbak Mega selaku Ketua Umum PDIP. Nah, kalau Jokowi terpilih sebagai presiden, maka besar kemungkinan perjuangan menuju Provinsi ALA tinggal menunggu ketok palu atas dasar bangun dan ikatan emosional politik antar Tagore dan Jokowi.”
Namun, faktanya saat ini justru amat kontradiksi dengan ketiga alasan yang saya kemukakan di atas. Resonansi politik yang di harapkan dibangun oleh Tagore Abubakar di Senayan, hingga saat ini belum nampak geliatnya. Tentu saja, masih ada sisa waktu dua tahun bagi Tagore untuk menjawab besarnya ekspektasi dan harapan masyarakat Gayo dan wilayah tengah umumnya.
Di tengah redupnya perbincangan ALA, tiba-tiba saya di hujani oleh pertanyaan radikal; apakah ALA hanya &dagangan politik” an-sich, ataukah memang merupakan ikhtiar ideologis dan filosofis para pejuangnya untuk kebaikan umum (bonum comunie)? Untuk sementara waktu, mari kita temukan jawabanya dalam nikmatnya secangkir kopi Gayo arabika.[]
*Analis politik, tinggal di Takengon