Kampung Karang Ampar, Dari Konflik Bersenjata Hingga Konflik Gajah

oleh
ilustrasi gajah aceh (setkab.go.id)

*Catatan Feri Yanto

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon punya program rutin setiap tahunya yaitu pada bulan Ramadhan bernama Student Work Camp (SWC) yang artinya program ini adalah program belajar, bekerja/mengabdi dan bermalam di suatu kampung, biasanya kampung yang dipilih adalah kampung terisolir.

Tahun ini Ramadhan 1438 H pelaksanaan kegiatan SWC ini dilakukan di Kampung Karang Ampar, Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah, pemilihan kampung ini karena dianggap terisolir dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah dilihat dari infrastruktur jalan, pendidikan dan sosial masyarakat setempat dan secara geografis kampung Karang Ampar terpisah dari pusat administrasi kecamatan Ketol, juga akses yang sangat sulit, sehingga untuk masuk ke kampung Karang Ampar, Bergang, Pantan Reduk dan kampung Puting harus melalui Kabupaten Bener Meriah, melewati Timang Gajah dan Digul, Kecamatan Timang Gajah Bener Meriah. Alasan tersebutlah kampung ini dipilih menjadi tempat SWC HMI.

Kami bersama anggota HMI cabang Takengon berangkat menuju kampung Bergang pada ba’da Jum’at tanggal 2 Juni 2017, berangkat dari Takengon dengan memggunakan Bus Pemda sebagian lagi dengan sepeda motor, kamipun tiba di Karang Ampar menjelang waktu berbuka puasa, langsung sebagian dafi anggota menggelar tikar di lapangan Sekolah SD Negri 17 Ketol dan mempersiapkan acara berbuka puasa, sebagian lainya membersihkan dan memsang bola lampu ruangan untuk tempat penginapan selama SWC ini berlangsung.

Menurut jam waktu berbuka sudah tiba, tapi tak ada tanda apapun yang menandakan waktu berbuka tiba seperti di Kota Takengon ada Sirine yang berbunyi untuk mengingatkan bahwa waktu berbuka tiba, tapi disini tidak ada, anggota HMI saling bertanya sudah atau belum? kok gak ada tanda kata sebagian dari mereka bertanya, lalu saya mengatakan pada mereka dikampung seperti ini mana ada sirine seperti di tempat kalian tapi ada sirine alam, yaitu suara Seset (Sejenis Serangga), kata orang tua dulu kalau Seset sudah berbunyi itu berarti matahari sudah terbenam dan waktu berbuka puasa tiba, kataku sembari mengajak ayok berbuka puasa.

Usai buka puasa tapi Adzan Magrib juga belum berkumandang, lagi-lagi menimbulkan pertannyaan kok gak ada Adzan? Padahal jarak antara tempat kami dengan Masjid hanya sekitar 150 meter sangat dekat menurut ku, akh mungkin pengeras suaranya rusak, ayok kita ke masjid sholat Magrib, ajak ku pada teman-teman. Ternyata sampai dimasjid memang sepi, saat kami tiba di Masjid barulah tiba seorang anak anak laki-laki belasan tahun kemudian mengumandangkan Adzan, kamipun Shalat berjama’ah dan tidak ada jama’ah lain selain kader HMI kecuali anak kecil tadi, Safwan Ahmad kader HMI dari Komisariat STAIN Gajah Putih mengimami kami semua.

Kampung ini memang sepi sekali, tidak terlihat orang-orang diluar rumahnya seusai shalat magrib, hening tanpa suara, ditambah lagi kampung ini gelap tanpa lampu penerang jalan, begitupun lokasi masjid yang terlihat gelap, dalam hatiku berkata mungkin karena disini dikampung ini sering didatangi Gajah sehingga masyarakat takut, mungkin saja.

Waktu shalat Isya tiba, kali ini suara Adzan terdengar kamipun langsung bergegas menuju Masjid, untuk melaksankan shalat Isya, Tarawih dan Witir, terlihat beberapa orang tua sudah mengisi shaf untuk shalat, kemudian kader-kader HMI mengisi shaf kosong dan melaksanakan shalat Isya secara berjama’ah, dan untuk shalat tarawih dan witir diminta dari kader HMI untuk menjadi imam, langsung saja Safwan mengambil tempat sebagai imam.

Usai shalat Tarawih dan Witir, Reje Kampung Karang Ampar, Saleh Kadri, meminta saya untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan kepada masyarakat prihal maksud dan tujuan kedatangan kami kesana, sayapun kemudian memperkenalkan HMI dan maksud tujuan HMI datang ke Kampung tersebut dihadapan jama’ah shalat yang jumlahnya tidak banyak hanya sekitar 6 orang laki-laki dan 8 orang perempuan selain kader HMI yang laki berjumlah 16 orang dan Kohatinya berjumlah 13, orang yakni untuk belajar dan mengabdi dan berbagi dengan masyarakat setempat, usai saya mengenalkan dan menyampaikan maksud kedatangan HMI saya kemudian meminta Safwan yang baru mengimami kami shalat Tarawih dan Witir untuk memberi tausyiah.

Sepulang dari masjid melaksanakan shalat Tarawih kemudian kami melaksanakan briefing untuk membagi tim dan jobdisk masing-masing ada tim pendidikan untuk mengajak anak-anak belajar, ada tim bakti sosial, ada tim Safari Ramadhan dll, semua dibentuk tim dan koordinatornya.

Untuk malam ke-dua Reje Kampung Karang Ampar meminta saya untuk shalat di menasah dusun Arul Ropa (Eropa), namun setelah shalat Magrib anak dari Reje kampung tersebut kemudian datang ke base camp kami mengatakan kepada saya, “Kata bapak tunggu dulu listrik hidup baru berangkat, kalo gak hidup gak usah berangkat ke Arul Ropa,” kata anaknya menyampaikan pesan Reje kepadaku, lalu saya jawab “Iya,” kemudian menunggu listrik hidup, hingga waktu Isya tiba listrik ternyata belum juga hidup, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Masjid untuk shalat Isya, sampai dimasjid tidak ada siapa-siapa, hingga shalat Isya selesai, kamipun melanjutkan shalat Tarawih secara berjama’ah, kali ini semua jama’ahnya hanya kader HMI tidak ada yang lain, kamipun shalat dalam gelap gulita tanpa penerang kecuali hanya cahaya dari manchis senter. Di kampung ini kalo listrik mati maka tidak ada shalat tarawih biasanya seperti itu menurut keterangan, bu Syafar warga kampung tersebut.

Mengetahui kami selalu shalat tarawih meskipun mati listrik, keesokan malamnya masyarakat kampung tersebut mulai ramai datang shalat ke Masjid, terlebih mereka suka jika ada yang memberi tausyiah setelah selesai shalat Tarawih, bahkan dimalam pertama kami di Kampung Karang Ampar ada seorang ibu yang tidak pergi shalat Tarawih datang ke masjid mendengar ada yang memberi tausiyah, bukan hanya sekedar datang tapi ibu ini menangis karena terharu, menurutnya sudah betahun-tahun di kampung ini tidak pernah ada tausiah setelah shalat tarawih dan witir, sehingga ibu ini merasa haru dan menangis.

Kampung Karang Ampar

Kampung Karang Ampar, memiliki penduduk sebanyak 516 Jiwa terdiri dari 147 KK, dengan daftar pemilih tetap (DPT) 332, terdiri dari suku Gayo 60%, Aceh 25 %, Jawa 20 % dan Batak 5%. Kampung Karang Ampar memiliki tiga dusun, diantaranya dusun Paya Lah, Dusun Karang Ampar dan dusun Pantan Jerik. Dikampung ini terdapat fasilitas umum yaitu 1 masjid,  3 menasah, 1 sekolah SD, 1 puskesmas pembantu (pustu), dan 1 unit kantor desa.

Penghasilan masyarakat kampung Karang Ampar ada dari perkebunan diantaranya perkebunan pinang, 50 hektar,  kemiri 70 hektar, kopi Robusta 100 ha, Arabika 30 ha, jernang 25 ha dan baru panen seluas 2 ha dan sawah 50 hektar. Selain perkebunan dan sawah sebagian masyarakat juga beternak dengan peternak 10 KK dan 25 ekor sapi. Kampung Karang Ampar memiliki potensi pengembangan sawah darat (Rom Tajuk) dengan luas lahan mencapai 500 ha.

Kampung Karang Ampar Masa Konflik

Saat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia kampung Karang Ampar habis terbakar kecuali Masjid, sebelum konflik masyarakat kampung karang Ampar sebanyak 400 KK, kemudian semua mengungsi secara terpencar,  dan sebagian tidak lagi kembali ke karang Ampar, itu sebabnya banyak kebun telantar disini.
Gejolak konflik mulai di Karang Ampar diakibatkan ditemukannya dua mayat orang suku Aceh dan merupakan warga Kampung Karang Ampar itu terjadi pada tahun 2001, setelah itu kemudian datang orang GAM dan mulai jatuh korban dari orang Gayo dan Jawa.
“Ada sepuluh korban jiwa dulu ada dua mayatnya di buang di Arul Lemek suku Aceh, Paya Lah, tahun 2001, kemudian setelah itu terjadi gejolak didalam kampung, saling mencurigai, dan kemudian banyak datang awak GAM,” kata M Yusuf Pak Nur, orang tua kampung Karang Ampar.
Untuk daerah Aceh Tengah mungkin konflik itu dimulai dari Karang Ampar, hingga konflikbmeluas dan berkecamuk diberbagai wilayah di Aceh Tengah, pada tahun 2002 terjadi pembakaran rumah masyarakat kampung hingga masyarakat mengungsi dan kampung kosong selama beberapa tahun sampai selelsai perdamaian pada tahun 2005.
Sepanjang konflik ada juga orang hilang masyarak Kampung Karang Ampar karena dikira pergi mengungsi ternyata hilang, sementara yang lainya dapat mayatnya. Pak Nur menceritakan pada saat itu ada orang suku Jawa yang sangat baik sekali tapi juga dibunuh.
“Dia seorang pembawa barang dari ronga-ronga, membawakan belanja masyarakat kampung temasuk orang Aceh yang ada di kampung ini, tapi juga di bunuh,” cerita pak Nur dengan berlinang air mata.
Waktu itu orang mengungsi pergi tanpa bawa apapa-apa dan itu pergi secara diam-diam tengah malam melewati hutan-hutan agar tidak diketahui oleh awak GAM, sebab jalan keluar dan masuk semua di jaga oleh GAM.
“Saya selama 3 Bulan lebih di dalam hutan,bawa bekal ke dalam hutan, hanya mati saja yang tidak waktu itu,” kata pak Nur mengisahkan.
Sejak perdamaian tahun 2005 baru kemudian masyarakat berangsur-angsur kembali ke Karang Ampar, tapi tidak semua, kebanyakan tidak kembali, sudah nyaman di daerah mereka pergi mengungsi dulu dan hidup disana.
Kondisi Pendidikan di Karang Ampar
Di Karang Ampar kondisi pendidikan terbilang sangat memperihatinkan, sebab hampir dari setiap anak tamatan SD putus sekolah, jarang sekali anak lulusan SD melanjutkan pendidikannya ke SMP, SMA dan perguruan tinggi, menurut penelusuran kami kepada masyarakat setempat hanya ada satu orang yang sekolah SMA, tiga orang sekolah SMP, selainnya putus sekolah.
Alasan mengapa anak-anak kampung Karang Ampar putus sekolah adalah faktor ekonomi, kemudian akses ke tempat sekolah terlalu jauh hingga anak-anak tidak dapat sekolah, meskipun ada sekolah SMP di Ayun Bergang dengan jarak sekitar 9 Km dari Karang Ampar masih terlalu jauh bagi anak-anak sementara tidak memungkinkan untuk diantar jemput setiap hari oleh orangtuanya yang berprofesi sebagai petani, kadang-kadang ke hutan mencari jernang.
Teror Gajah Yang Menakutkan
Belum pulih ekonomi masyarakat Kampung Karang Ampar akibat konflik bersenjata GAM-RI yang mengakibatkan kebun telantar, harta benda hangus begitu saja, alih-alih membangun ekonomi malah tanaman masyarakat hancur diserang Gajah, puluhan hektar tanaman masyarakat gagal panen akibat diserang hewan berbadan besar tersebut.
Pohon pinang, pohon pisang, padi darat (Rom Tajuk) dan tanaman lainnya kini telah habis disantap ‘abang kul’, sebagian lagi tidak dapat di panen karena masyarakat tidak berani pergi kekebun.
“Masyarakat Kampung Karang Ampar ini sudah kehabisan akal, semua tumpuan hidupnya sudah diambil oleh ‘abang kul’, setiap malam jaga malam agar tidak diserang,” kata Pak Reje Karang Ampar, Saleh Kadri.
Bukan hanya kebun, tapi beberapa rumah warga dirusak hingga ada yang sudah mengungsi krtemlat lain, kalau ini terus berlanjut maka akan banyak mayarakat terpaksa kembali pergi meninggalkan kampung Karang Ampar ini. “Saya khawatir masyarakat disini akan meninggalkan kampung ini, ini bukan tidak mungkin, sudah direncanakan oleh sebagaian mereka,” cerita pak Udin yang diamini beberapa orang lainya saat bincang-bincang dengan saya usai shalat tarawih.
Gajah yang terus meneror warga Kampung Karang Ampar selama 4 tahun belakangan ini statusnya sudah menjadi darurat, sebab kampung ini hampir saja menjadi kampung tidak layak huni, sebab tidak ada kenyamanan bagi penduduknya dan sebagaian mata pencarianya sudah dapat diakatan hilang, dan untuk itu adakah negara untuk mereka dalam menghadapi masalah yang mereka hadapi?
Diakhir penutupan acara SWC HMI Cabang Takengon di Karang Ampar, Sabtu, 10 Juni 2017, yang saat itu dihadiri oleh Kepala Dinas Syari’at Islam  dan Kepala Kantor Kementerian Agama Aceh Tengah, untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat di Kampung Karang Ampar, khususnya pendidikan maka perlu dibuat sebuah sekolah berbasis Agama yakni Madrasah Tsanawiah (MTs) untuk memberikan fasilitas pendidikan untuk anak-anak di Karang Ampar, dan perlu peningkatan kondisi Jalan sehingga dapat mempermudah akses dan meningkatkan ekonomi masyarakat, juga perlu melanjutkan galian parit pembatas untuk Gajah sepanjang 2,5 Km selain yang sudah dibuat pemerintah sepanjang 500 meter, semoga saja pemerintah ada untuk rakyat, dan semoga penderitaan mereka segera selesai, Aamiin, Yaa Rabbal Alamiin.
Penulis Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.