Santun Berbahasa

oleh

Catatan Johansyah*

BEBERAPA hari lalu  kami serombongan dari Dinas Syariat Islam berkunjung ke Kecamatan Rusip Antara Aceh Tengah. Hari itu jum’at, oleh bapak Kepala Dinas (Kadis) saya dipercaya menjadi khatib di masjid kecamatan tersebut. Tema yang saya bahas terkait dengan kepemimpinan karena menurut saya tema tersebut penting untuk disampaikan mengingat pada bulan februari 2017 semua masyarakat yang memiliki hak pilih akan menentukan pilihannya secara langsung, umum, dan bebas rahasia.

Usai shalat, Pak Kadis berbisik kepada saya, ‘Pak, tadi ada satu kalimat yang bapak sampaikan, tampaknya menimbulkan makna multitafsir, dan mengarah kepada satu pasangan calon bupati Aceh Tengah, dan seolah-olah kita mengarahkan suara mereka ke sana”. Saya penasaran dan bertanya, ‘kalimat yang mana Pak? Lalu beliau menunjukkan satu catatan kecil kepada saya, kata ini ‘amanah’. Saya tanya lagi, ‘memang ini calon yang mana Pak?’. Lalu beliau jawab, ‘ini pak, calon nomor ini’. Oh ya, baru saya menyadari ternyata memang kata ‘amanah’ tersebut digunakan menjadi singkatan salah satu pasangan calon Bupati Aceh Tengah.

Tampaknya ada yang memahami uraian saya seolah-olah mengarah ke sana, walau pun maksud saya sedikit pun tidak pernah mengarah ke sana. Itulah bahasa, sangat sensitif dan menimbulkan multitafsir, salah paham, dan bisa berujung kepada percekcokan. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman di kalangan masyarakat, akhirnya Pak Kadis meluruskan uraian saya tersebut dan menegaskan kata ‘amanah’ yang diungkapkan tadi tidak berkaitan dengan salah satu pasangan calon bupati Aceh Tengah.

Pelajaran berharga

Apa yang saya alami merupakan pelajaran berharga dari dampak mengungkapkan kata-kata yang secara spontan diungkapkan dengan tidak memuat tujuan terselubung, tapi ternyata sebagian audien memahaminya dengan makna lain. Usai shalat jum’at, dan setelah berada di mobil beliau, saya sempat bertanya, apa ada kalimat saya menggiring opini publik kepada salah satu calon? Sebenarnya tidak ada yang salah kata beliau, hanya saja penggunaan kata ‘amanah’ tersebut untuk situasi sekarang sangat sensitif. Batin saya sebenarnya kurang menerima, tapi setelah dipikir-pikir, ya, dalam situasi politik seperti sekarang ini, bahasa kita bisa saja dipahami macam-macam meski pun kita sendiri sebagai penutur tidak bermaksud macam-macam.

Saya teringat dengan salah satu syair didong ceh kenamaan Gayo dari klub Dewantara, Awan Daman, ‘awahmu kulemu, ku dirimu we mengganggu, cerak iluahen nume kite empu’ (mulutmu adalah harimau kamu, dia akan mengganggu ketenanganmu, setiap kalimat yang kita ungkapkan maka akan menjadi milik pendengar secara umum). Setiap ungkapan yang kita lontarkan akan menimbulkan multimakna. Kalimat yang baik saja ketika diungkapkan masih berpotensi untuk ditafsirkan negatif, apalagi kalimat kasar yang jelas-jelas tujuannya mencela dan menghina orang lain.

Dari peristiwa di atas, hal yang paling berharga bagi saya dan menjadi pelajaran adalah bahwa dalam berbahasa seseorang haruslah betul-betul mempertimbangkan dan memilih kosa kata yang menurutnya tidak menimbulkan kontroversi, kegalauan, ketersinggungan, dan kesalahpahaman. Kosa kata yang kita gunakan sebaiknya santun, disampaikan dengan sopan, dan mengandung pesan hikmah.

Sekiranya kembali kepada konsep Islam, maka sesungguhnya hemat dalam berbicara itu lebih dianjurkan dari pada banyak bicara tetapi tidak memiliki substansi jelas dan sia-sia. Makanya sedikit bicara, bahkan diam lebih dianjurkan. Semakin banyak kalimat yang terungkap dari lisan kita, maka semakin banyak peluang untuk menjadikan orang lain benci, atau minimal salah paham kepada kita. Dalam sebuah hadits ditegaskan bahwa ‘sesungguhnya Rasulullah bersabda; ‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya’ (HR. Bukhari Muslim).

Mulut adalah sarana komunikasi manusia untuk menyampaikan maksud yang tersirat di dalam dirinya. Mulut juga bisa mendatangkan petaka bagi si empunya. Kawannya adalah lidah yang lembut tanpa tulang, tapi kalimat yang terlontar dapat membuat hati orang bagai tertusuk duri, bahkan lebih sakit dari sabetan pedang. Makanya ada pepatah, ‘kalau pedang melukai tubuh, masih ada harapan sembuh, tapi kalau lidah melukai hati, ke mana obat hendak di cari’.

Makanya dalam hadits lain, Nabi Saw menegaskan agar orang menjaga dua hal di dalam dirinya, yakni menjaga perkataan dan menjaga kemaluannya (kehormatannya). Dua hal ini memang sering menjadi sumber petaka bagi orang. Orang yang boros dengan perkataan akan menuai banyak masalah. Begitu pula dengan orang yang tidak menjaga kehormatannya, pasti akan dihadapkan kepada beragam masalah.

Memilih kata

Bahasa seseorang  menjadi identitas dari karakternya. Cerminan baik atau buruknya seseorang dapat dilihat dari bagaimana dia bertutur kata. Banyak orang yang sukanya mencaci maki, menganggap dirinya yang paling baik, dan selalu menyalahkan orang lain. Ada juga orang yang tidak banyak bicara walaupun dalam posisi dimarahi. Kalau pun ia membalas perkataan orang lain, maka dia membalasnya dengan cara yang santun.

Bahasa itu apa yang kita katakan dan menyangkut respon orang lain. Setiap ungkapan yang kita lontarkan akan mendapat beragam respon; suka, tidak suka, kaget, biasa, cuek, heran, dan lain-lainnya. Respon audien harus menjadi pertimbangan matang bagi penutur. Harus ada pertimbangan psikologis antisipatif, jangan sampai kalimat yang kita gunakan menyinggung perasaan orang lain, membuat bingung, dan menjadi pemicu konflik.

Sebaiknya, setiap kalimat yang kita sampaikan, apalagi dalam kegiatan khutbah dan ceramah, diawali dan diakhiri dengan permohonan maaf kepada para audien jika apa yang kita sampaikan menyinggung perasaan mereka. Bukan karena takut atau mencari muka, sebagai penutur memang kita seharusnya mampu berbahasa dengan santun. Jadi, kecerdasan itu tidak saja diukur dengan intelek atau tidaknya seseorang, tetapi sebaik apa dia mampu menampilkan inteletualitasnya dalam tutur yang santun dan indah.

Sebaiknya juga kita berhasrat untuk menjadi penutur yang baik dan santun. Ketika mampu menunjukkan kesantunan bahasa, maka berarti kita berusaha untuk menciptakan suasana aman dan nyaman. Bahasa yang santun juga akan mengantarkan kita pada posisi yang dihargai oleh orang lain. Dan yang jelas bahasa santun dan sikap yang baik akan mengantar kita pada kepuasan batin yang tak terhingga.[]

*Johansyah, adalah Pegawai Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tengah. Email; johan.arka@yahoo.co.id

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.