Catatan Khalisuddin

TAK tertampikkan jika tanah Gayo dan khususnya Gayo Lues pernah menjadi killing field atau ladang pembantaian ribuan manusia oleh pasukan marechaussee (marsose) penjajah Belanda, namun ternyata cukup sulit menemukan titik-titik lokasinya.
Begitulah yang dialami tim media ini menyusuri kecamatan Kute Panyang dan Blang Jerango, Senin 9 Januari 2017 di lokasi dimana pernah terdapat benteng-benteng perlawanan rakyat Gayo yang berujung pembantaian oleh tentara Belanda yang dimulai 9 Maret 1904 dikomandoi Van Daalen.
Bahkan sempat ada tugu peringatan perjalanan ekspedisi Van Daalen ke Gayo Lues masih dapat dilihat ditengah-tengah kuburan Belanda yang berlokasi di Pengkala Blangkejeren, menurut salah seorang wartawan sangat senior Syamsuddin Said dalam tulisan berjudul Jejak ‘Jeret Belene’ di Gayo Lues, sekarang sudah hilang entah kemana.
Pada tugu tersebut tertulis Ter herinnering aan onze gevallen helden den tocht van overste Van Daalen in de Gajo LoeÖs v/m 18 Maart 1904 T/m 3 Juni 1904 yang terjemahannya “Kenang-kenangan kepada pahlawan-pahlawan kita yang gugur dalam perjalanan di daerah Gayo Lues sejak 18 Maret 1904 sampai 3 Juni 1904”.
Berikutnya merujuk tulisan Drs. H. M. Salim Wahab, pada saat itu, daerah yang belum takluk di Aceh adalah daerah Gayo Lues dan Alas. Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan kedua daerah tersebut.
Setelah segala sesuatunya dianggap rampung, Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo Lues pada tahun 1904, tepatnya setelah mereka berhasil mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, Van Daalenpun memasuki daerah Gayo Lues di sebuah kampung yang terpencil yaitu Kampung Kela pada 9 Maret 1904.
Dari sinilah daerah Gayo Lues ditaklukkan benteng demi benteng, dimulai dengan menaklukkan Benteng Pasir (16 Maret 1904), Gemuyang (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904).
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya juga dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (Pengarang Belanda), hampir 4.000 orang rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H. Sulaiman, Lebe Jogam, srikandi Inen Mayak Tri, Dimus dan lain-lain.

Awalnya kami (Khalisuddin, Salman Yoga S, Serta Lia, Maharadi dan Feri Yanto) mencoba menanyakan secara acak kepada warga setempat. Dimana lokasi benteng yang ada Uyem Tungel nya (Uyem: pohon pinus, tungel: tunggal).
“Saya tidak tau persis, disini banyak sebutan tempat Uyem Tungel,” ungkap salah seorang warga kampung Rema berusia sekira 50an tahun.
Maksud kami menanyakan lokasi Uyem Tungel, karena menurut Salman Yoga, dirinya pernah ke lokasi tersebut beberapa tahun silam berdasarkan petunjuk warga setempat dan merujuk foto koleksi Tropen Museum dimana Van Daalen pernah berdiri berfoto di Uyem tersebut usai membantai warga.
Kebuntuan akhirnya cair juga setelah ditemani Dian, warga setempat yang berstatus sarjana komputer dari Medan Sumatera Utara. Dia kerabat anggota tim kami, Serta Lia, ketua Panwascam Pilkada 2017 untuk kecamatan Linge Aceh Tengah yang juga sebagai wartawan di LintasGayo.co.
Dian membawa kami ke komplek pekuburan Rema Tue, disana ada satu pohon yang disebut Uyem Tungel. Salman Yoga memastikan bukan itu tempatnya berdasarkan bentuk fisik uyem tungel bukan seperti yang dia maksud walau pohonnya terbilang sangat besar.

Namun menurut Dian, di komplek makam tersebut ada 1 kuburan Belanda, dia tidak bisa memastikan yang mana karena dipenuhi semak belukar.
Kami beranjak dengan keyakinan lokasi tersebut adalah salahsatu komplek makam tua, batu-batu nisan berserakan dimana-mana tak tentu arah.
Perjalanan kami lanjutkan melintasi kampung Penosan yang pernah terdapat benteng, juga pernah terjadi pembantaian tentara Van Daalen, persisnya pada tanggal 11 Mei 1904. (baca : Sejarah Pembantaian Belanda di Gayo Lues).
Kami hanya melintasi kampung Tampeng, juga pernah menjadi ladang pembantaian Urang Gayo oleh Van Daalen berselang 7 hari setelah pembantaian di Penosan, tepatnya tanggal 18 Mei 1904.

Menurut tokoh masyarakat setempat, Sulaiman yang juga keturunan langsung dari Reje Safna, Reje terakhir Rema, beberapa tahun lalu warga setempat menemukan banyak kerangka manusia saat melakukan pembenahan sarana prasarana kampung.
“Dari berbagai sumber, kami yakin tempat tersebut adalah kuburan massal korban pembantaian Belanda, warga lalu mendirikan sebuah prasasti di tempat tersebut,” ujar Sulaiman.
Keterangan Sulaiman, dirinya mendapat informasi jika di Belanda ada nama tempat bernama Rema karena keterkaitan masa lalu dengan Rema di Gayo Lues. “Kita perlu telusuri lagi informasi ini,” ujarnya.
Berikutnya dari penelusuran di web Tropen Museum, ada sebuah foto yang menggambarkan kampung Tampeng terbakar. Kami tidak mampir di kampung ini berhubung komitmen awal patokan penelusuran adalah Uyem Tungel selain waktu yang mengharuskan segera kembali ke Takengon.
Dengan bantuan Dian dan selembar Pepanyi yang berkibar di kejauhan (pepanyi adalah bendera putih yang bagi masyarakat awam sebagai tanda suatu tempat keramat), kami akhirnya menemukan lokasi uyem tungel di suatu tempat yang disebut Buntul Gemuyang dalam wilayah kampung Peparik Gaib.

Kami memastikannya dari lokasi lapangan sepak bola di samping salahsatu sekolah yang informasinya saat dibuka dengan alat berat juga banyak ditemukan kerangka manusia korban pembantaian Belanda.
Berjalan kaki sekira setengah kilometer menyusur kebun sere wangi dan semak belukar, kami sudah berada disamping Uyem Tungel. Masih tersisa gundukan tanah berbentuk tanggul. Terdapat satu bangunan berukuran sekira 2 x 3 meter, dugaan saya didalamnya ada makam, entah jasad siapa yang dikuburkan didalamnya, tentu orang berpengaruh semasa hidupnya.
Berdekatan ada juga serumpun bambu. Menurut Salman Yoga, bambu yang tumbuh tersebut dulunya adalah jerjak dengan fungsi penyangga timbunan tanggul benteng. Bambu tersebut tumbuh hingga sekarang.
Tidak banyak informasi lain yang kami dapatkan, kami turun kembali dan mampir di rumah Sulaiman. Dia menuturkan banyak hal soal sejarah. Dari raja Gayo, Pang-Pang Gayo, hubungan dengan Reje Linge, Kesultanan Aceh hingga Datuk Imem Bukit, tokoh ulama besar di Gayo Lues. Juga sekilas tentang Datuk Kerkun di Gumpang serta Datuk Pining.

Dia juga menyebut jika nama kampung Lesten di Kecamatan Pining yang berbatas dengan Aceh Timur dulunya bernama Selten, bukan Lesten.
Saat bercerita tentang Datuk Imem Bukit yang dikeramatkan warga dengan cara yang menjurus ke perbuatan syirik, rekan satu tim kami yang berasal dari Jamat Linge tiba-tiba kemasukan.
“Dia kecewa dengan perbuatan warga yang menjurus ke Syirik, serinen kita ini kemungkinan punya hubungan kekerabatan dengan Datuk Imem Bukit,” begitu pendapat Sulaiman.
Kami pamit pulang dengan perasaan yang sangat tidak puas, risau karena banyak informasi yang masih belum tercatat. Banyak bukti yang hilang, tentu berakibat generasi kian tidak mengenali jatidiri. Sebagian pewarisnya larut dalam percaturan politik lokal. Pongah yang di posisi pemenang, marah dan simpan dendam di posisi sial alias kalah.
Sebagian kecil lainnya miris dan ingin berbuat tapi kebingungan memulai dari mana. Akhirnya apatis.
Dari literatur yang ada, 4000an rakyat Gayo, laki-laki, perempuan serta anak-anak dibunuh, dipaksa meregang nyawa di ujung pedang, ditembus peluru, dianiaya dengan tangan kosong hingga nyawa berpisah dari raga.
Mayat bergelimpangan di dalam benteng, mereka tentu melawan sebelum meregang nyawa. Entahlah, apakah mereka dikuburkan secara layak kala itu, atau dilangsung ditimbun saja oleh Belanda yang tak ingin terusik bau. Sayang sekali, kita tidak data, siapa nama para syuhada tersebut. Pendahulu kita lupa mencatatnya, dan parahnya hingga saat ini belum ada keinginan melakukannya.

Oh Gayo, ada apa dengan kita, angka 4000an nyawa bukan sedikit, siapa peduli? untuk apa peduli?
Lalu, siapa kita sekarang? Kenapa kita masih hidup menikmati kemerdekaan?, Dimana nenek moyang kita saat itu? Bagaimana kejadiaannya sehingga nenek moyang kita selamat dan melahirkan kita?
Apakah kita adalah keturunan Muhammad Din dan pasukannya yang gagah berani melawan Belanda di tahun 1926?
Semoga saja diantara kita banyak keturunan Pang-Pang Gayo lainnya yang gagah berani dan berhasil mematahkan pasukan marsose di Intim-Intim. (baca : Pang-Pang Gayo Hancurkan Belanda di Intim-Intim)
Bolehlah takdir Yang Maha Pencipta memang menetapkan kita masih hidup. Tapi mudah-mudahan kita bukan keturunan budak-budak penjajah menjilati telapak kaki kafir atau yang lari dari perang jihad karena takut mati hingga luput dari pembantaian.
Maaf bagi yang tidak berkenan, ya Khalik, ampuni kami hamba-Mu yang tidak pandai bersyukur. Para Syuhada Gayo, maafkan kami generasi yang melupakan kalian, Allahumaghfirlahum warhamhum….. []