Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
MASIH dalam suasana memperingati Maulid Nabi Muhammad saw, marilah kita sejenak merenung dan menghayati peran dari Kekasih Allah swt (Nabi Muhammad saw), putra dari Siti Aminah dan Abdullah (putra kesayangan Abdul Muthalib) yang dilahirkan di kota yang saat itu dipenuhi dengan praktek-praktek kesyirikan dan jahiliah, dan Nabi Muhammad saw dilahirkan dirumah yang sederhana milik tokoh terpandang Quraisy.
Salah satu peran yang sangat berharga dari Nabi Muhammad saw, yang perlu kita ketahui khususnya bagi perempuan ialah bahwa Nabi tercinta kita telah mengangkat harkat martabat wanita yang tak dianggap dari kehidupan jahiliah menuju kehidupan yang dipenuhi nilai-nilai Islam; yang mana dalam pandangan Islam wanita mempunyai derajat yang tinggi serta mempunyai peran yang vital dalam mengembangkan peradaban Islam karena dari seorang wanitalah generasi-generasi Islam bisa berkembang dengan gemilang. Untuk lebih lanjutnya permasalahan tentang wanita bisa dibaca dalam kolom opini yang berjudul “Kemuliaan Wanita” yang telah dipublish oleh media Lintasgayo.co ini.
Memperingati maulid/kelahiran Nabi Muhammad saw, tokoh nomor satu yang paling berpengaruh di dunia sepanjang masa ini; tentulah kita berpikir secara filosofis untuk apa Nabi diutus kepermukaan bumi ini ?
Untuk apa Nabi diutus ?, inilah pertanyaan yang perlu kita jawab masing-masing. Dari penulis sendiri memberikan penjelasan dari apa yang telah penulis baca dan mungkin ada dari pembaca yang ingin menambahkan yang belum dijelaskan dalam tulisan ini, oleh karena itu harapan penulis untuk lebih melengkapinya atau misalnya ada kesalahan dari isi tulisan ini mohon untuk dikoreksi.
Dalam buku Essence of Tawhid and Lessons from the Nahjul Balaghah, yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Mendaras Tauhid dan Mengeja Kenabian” yang ditulis oleh Sayid Ali Khamenei (Imam Khamenei). Imam Khamenei merupakan pemikir Islam Iran yang begitu getol menyuarakan sikap anti-imperialisme Barat dan hegemoni negara adikuasa, terutama Amerika Serikat, sementara negara-negara Muslim lainnya hanya memilih kepasifan.
Ketika penulis menyebutkan Imam Khamenei seorang pemikir Islam dari Iran, pasti dari pembaca ada yang mengatakan bahwa itu adalah Syiah, memang Imam Khamenei adalah memegang aliran Syiah dan Iran adalah penganut paham Syiah. Perlu diketahui bahwa dengan kurangnya pemahaman keislaman yang kita miliki, kita cenderung saling bertengkar antar umat Islam sendiri (Sunni dan Syiah) karena saling tuduh menuduh serta saling sesat-menyesatkan padahal kita telah dibodohi dan diadu domba oleh orang-orang yang ingin menghancurkan Islam karena kurangnya pemahaman Islam atau memang tidak peduli terhadap pemahaman agama Islam itu sendiri karena lebih suka yang bersifat pragmatis sehingga mudah untuk diadu domba antar umat Islam sendiri (sebelumnya dalam tulisan “Toleransi Islam antar umat beragama” penulis menyebutkan bahwa mengaku Islam namun tidak paham apa itu Islam). Penulis memberi sedikit catatan tentang Syiah ini sehingga tidak terjadi kesalah pahaman antara pembaca dengan penulis, ada aliran Syiah yang mengaku Islam padahal aliran tersebut bukanlah Islam, salah satunya adalah aliran Ghulat dan aliran-aliran ekstrim dari Syiah lainnya; yang mana aliran ini berlebih-lebihan dalam memandang Islam sehingga mereka menuhankan Ali bin Abi Thalib, aliran inilah yang menyebabkan paradigma umat Islam secara universal bahwa Syiah itu adalah berbeda dengan Islam yang sesungguhnya sehingga dengan kepolosan cara berpikir kita sangat mudah untuk bertengkar, berdebat dan saling menuduh. Agar tidak saling tuduh menuduh penulis menyarankan agar mengkaji permasalahan ini dalam kajian Teologi Islam secara mendalam.
Dalam buku “Mendaras Tauhid dan Mengeja Kenabian” ini menjelaskan tentang pandangan dunia tauhid dan persoalan kenabian yang mempunyai delapan bab yang layak untuk dibaca. Buku ini merupakan isi dari khotbah atau perkataan Ali bin Abi Thalib yang disebut dengan Nahjul Balaghah (puncak kefasihan), yang mana isi dari Nahjul Balaghah ini sulit kita jumpai oleh karena itu penulis ingin memaparkan isi dari Nahjul Balaghah itu sendiri yang terdapat dalam buku ini. Namun dalam tulisan ini hanya tentang latar belakang kenapa Nabi diutus sesuai sesuia dengan judul dari tulisan ini yaitu untuk apa Nabi diutus ?.
Pada zaman Jahiliah, manusia mengalami dua jenis kekurangan kata Ali bin Abi Thalib, yaitu kekurangan material dan spiritual. Pada jenis kekurangan material, taraf kesejahteraan dan keamanan sosial sangat rendah dan kekurangan spiritual yaitu masyarakat kosong dari jalan hidup yang bersih dan cita-cita hidup yang bening. Sesungguhnya ini merupakan kekosongan dan penderitaan terbesar bagi manusia dan masyarakat secara umum karena mereka tidak berusaha mencari tujuan mulia dalam hidup.
Masyarakat selama zaman Jahiliah, yakni sebelum pengangkatan Nabi dan bergejolaknya api revolusi, adalah seperti masyarakat yang tanpa tujuan dan menyimpang dengan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan yang destruktif. Nah, dalam masyarkat yang menyimpang dan tersesat inilah, para nabi diangkat dan diutus kepada mereka. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib menyebutkan satu demi satu tugas Nabi saw dengan mengatakan “memberikan peringatan melalui tanda-tanda yang jelas dan mengingatkan mereka dengan hukuman”. Sebenarnya, dia memaksudkan bahwa nabi saw datang untuk mengatakan kepada masyarakat dengan tanda-tanda peringatan dan azab yang telah menimpa bangsa terdahulu disepanjang sejarah dan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka pun akan mengalami hukuman yang sama apabila mereka mengikuti cara-cara (hidup) bangsa-bangsa sebelumnya.
Ali bin Abi Thalib melukiskan situasi selama zaman Jahiliah dan menunjukkan kesulitan-kesulitan dan bencana-bencana yang membahayakan pikiran, hati dan spiritualitas masyarakat yang menghalangi jalan-jalan petunjuk kepada mereka dan menyesatkan mereka, yaitu kesulitan-kesulitan yang tidak berhubungan dengan kehidupan materi dan kesejahteraan manusia. Beliau berkata,
“Pada waktu itu, manusia telah terjatuh kedalam kemungkaran yang dengan itu, tali agama telah diputuskan, tiang-tiang agama telah terguncang, prinspi-prinsip telah dicemari, sistem telah jungkir balik, pintu-pintu menyempit, lorong-lorong menggelap, petunjuk sudah tidak dikenal lagi, dan kegelapan merajalela. Allah tidak ditaati, setan diberi dukungan dan keimanan telah dilupakan. Akibatnya, tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak terlihat, lorong-lorongnya telah dirusakkan dan jalan-jalannya telah binasa.”
Pesan umum dari kata-kata ini adalah bahwa masyarakat yang ada didalamnya para nabi diangkat dan diutus sebagai nabi adalah kosong dari hidayah dan misi para nabi adalah membawa masyarakat ke jalan yang lurus sehingga mereka mengguncang keadaan kekurang pedulian yang menyebar ditengah-tengah mereka dan mencari tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi yang baik.
Akhir dari tulisan yang singkat ini bahwa secara keseluruhan, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa dalam masyarakat-masyarakat yang dikuasai oleh kebodohan dan keterasingan sekalipun kehinaan dan ketaksenonohan membayang-bayangi seluruh tujuan dan aspirasi manusia, sementara kelaparan, ketakutan, penyakit, penahanan, kerusakan dan kebingungan mengancam masyarakat yang menakjubkan masyarakat tersebut begitu toleran dan berdamai dengan para penindas. Inilah apa yang beliau sebut dengan subversi dan ujian (fitrah), sesuatu yang membawa seseorang kepada kecemasan dan tipu daya, yang menyebabkan kerusakan hati dan manusia dan yang meluluhlantakkan kehidupannya secara utuh. Sebenarnya, dibawah kondisi-kondisi inilah para nabi diutus.
Para nabi tidak semata-mata diutus untuk menghilangkan kemiskinan, membangun kesejahteraan sosial, mengurangi kebodohan dan mengajar manusia membaca dan menulis. Namun masing-masing dari bagian ini merupakan satu keutuhan yang mengandung tujuan-tujuan para nabi. Tujuan-tujuan mereka adalah untuk menumpas penyimpangan, alienasi (keterasingan) dan kebingungan manusia serta membangkitkan semangat spiritual mereka. Realisasi tujuan ini, bagaimanapun akan diikuti oleh kesejahteraan material, keamanan sosial, penghapusan kebodohan dan perbedaan-perbedaan kelas dan seterusnya.
Inilah beberapa poin yang perlu kita ketahui untuk apa Nabi diutus, disini penulis sendiri sangat terkesan dengan misi Nabi diutus ialah menumpaskan kebodohan dan membangkitkan spiritual, semoga dengan penjelasan ini bisa menambah wawasan kita terhadap misi dari Nabi diutus kepermukaan bumi ini.[]
*Penulis: Resiator Buku dan Novel (Motivasi & Religi), Mahasiswa Teologi dan Filsafat.