[Resensi Buku] Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh

oleh

Judul Buku     : Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh
Penulis            : Affan Ramli, Arianto Sangaji, Fahri Salam, Sulaiman Tripa
Penyunting    : Roem Topatimasang
Penerbit          : INSISTPress dan PRODEELAT
Cetakan           : 2015
Tebal Buku     : 203 Halaman
Resiator           : Husaini Muzakir Algayoni*

cover-buku-adat-berdaulatBUKU yang berjudul “Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh”, ditulis oleh empat orang penulis, yaitu: pertama Affan Ramli, seorang pengajar Sosiologi di Universitas Teuku Umar dan di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. kedua Arianto  Sangaji, beliau adalah kandidat Ph.D di bidang Critical Human Geography di York Universiti, Kanada. ketiga Fahri Salam, seorang penulis dan wartawan; tinggal di Yogyakarta. Dan yang keempat adalah Sulaiman Tripa, seorang dosen pada Fakultas Hukum di Universita Syiah Kuala Banda Aceh.

Aceh sejak masa kerajaan Aceh Darussalam pada ke 16 telah menjadi pesona buat dunia Timur maupun Barat untuk datang ke Aceh, salah satu faktornya ialah  posisi geografis Kerajaan Aceh Darussalam di antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan, sehingga Aceh menjadi  titik temu yang sangat strategis bagi pedagang-pedagang dunia Timur dan  Barat. Selain posisi yang strategis, Aceh memiliki komoditi yang melimpah seperti kain kapas, sutera, linen, lukisan, mentega, minyak, candu, tembakau, alat-alat besi, emas dan tentunya lada hitam. Mengetahui komoditi  yang berlimpah di Aceh, makanya Portugis juga ingin menguasai daratan Aceh. Oleh karena itu, demi mendapatkan kekayaan Aceh, Portugis merapkan politik devide et empera (pecah belah).

Buku yang berjudul Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh”, yang terdiri dari empat bab menggambarkan bahwa sejak masa penjajahan bahkan  hingga saat sekarang ini kekayaan Aceh terus diserbu pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan. Namun dalam tulisan singkat ini, resiator hanya mengupas sedikit lebih panjang dari tulisan Affan Ramli yang terdapat dalam bab dua.

Dalam bab satu yang ditulis oleh Arianto Sangaji Penjajahan: Serbuan Kapitalisme Global di Aceh, memaparkan sudut pandang kesejarahan dan wawasan kritis tentang cara kerja dan logika dasar kapitalisme. Pada bagian tiga berjudul “Sejarah Perlawanan Mukim Berdaulat”, yang ditulis oleh Sulaiman Tripa.  Tulisan Sulaiman Tripa ini memperkaya khazanah kita tentang dinamika ruang politik bernama mukim, dalam upayanya memakai kekuatan adat untuk mencapai kedaulatan dalam bingkai sejarah Aceh. Pada bagian terakhir atau bagian bab yang berjudul “Praktik Perlawanan Mukim Berdaulat”, yang ditulis oleh Fahri  Salam, tulisan beliau memotret bagaimana sejumlah mukim di Aceh dewasa ini menggeliat dan bersiasat memperjuangkan kedaulatan kedaulatan ditengah terpaan dan cengkeraman  agen dan praktik-praktik kapitalisme yang sudah sangat merasuk dalam pikiran (hegemonik).

Pada bagian dua yang berjudul “Perlawanan Adat Berdaulat: Ideologi  dan Epistemologi” yang ditulis oleh Affan Ramli, pada bagian kedua ini adat dan mukim dihadirkan dan ditempatkan sebagai alat atau peluru untuk melawan  dan  membendung arus dan gerak kapitalisme  dalam konteks Aceh. Untuk tujuan itu, adat dibersihkan  dari berbagai penyederhanaan dan selubung takhayul (mitos) yang melemahkannya sebagai alat perjuangan. Tulisan Affan Ramli ini berusaha  menyusun rancang-bangun ideology adat dan diterjemahkan ke tingkat strategi  dan praktik gerakan.

Berbicara masalah  perlawanan, ada tiga penggagas utama teori dalam perlawanan ini yaitu: lawan penguasaan (counter hegemony) dari Antonio Gramsci, gerakan tanding (counter movement) dari Karl Polanyi  dan politik jelata (infrapolitics) dari James C. Scott. Gramsci menyasar pejabat Negara, Polanyi  membidik kekuatan pasar dan  Scott mencabar ideologi.

Untuk  kebutuhan  pembahasan perlawanan gerakan adat terhadap serbuan kapitalisme di Aceh, tulisan Affan Ramli ini membatasi penjelajahannya pada teori Scott saja yaitu mencabar ideologi.

Dalam bagian satu dalam tulisan Arianto Sangaji dijelaskan bagaimana cara kapitalisme menyerbu Aceh, lalu pertanyaannya  ialah;  apakah yang dimiliki rakyat Aceh untuk melawan serbuan kapitalisme tersebut ?

Dalam keadaan dimana hukum nasional buatan partai politik tidak dapat diandalkan, yang tersisa hanya dua pilihan hukum lain, yaitu hukum syari’at dan hukum adat. Masalahnya, hukum syari’at di Aceh terlalu diarahkan untuk menangani kejahatan pidana karena hukum syari’at di Aceh belum memiliki gagasan menangani kejahatan kapitalisme.

Dengan demikian, tersisalah satu-satunya pilihan, yaitu hukum adat. Affan Ramli membagi ragam gerakan adat di Aceh kedalam empat bentuk:

Pertama, adat ningrat (feodal). Gerakan ini untuk membangkitkan kembali kekuasaan kaum bangsawan lama atau setidak-tidaknya berusaha merebut ruang  berperan lebih besar bagi mereka. Kedua, adat upacara (ritual). Bagi kelompok ini, paradigmanya adalah pelestarian  adat dalam pengertian yang paling konservatif, karena  itu berwatak mundur kebelakang (regresif). Ketiga, adat kuasa (politik).  Kelompok menggunakan adat untuk membangun dan menjaga kekuasaan  mereka yang mapan selama ini di Aceh. Keempat, adat rakyat (berdaulat). Ini  adalah warga mukim-gampong yang menggunakan adat untuk mengelola diri  dan  sumberdaya (self-governing community). Pada saat yang sama, adat menjadi benteng mereka membela diri berhadapan dengan kapitalisme primitif yang mengintai untuk mencaplok seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya sumberdaya alam Aceh. Adat berdaulat satu-satunya ragam gerakan rakyat yang potensial dapat menghasilkan aturan-aturan adat tanpa henti, di masa kini dan masa depan. Adat berdaulat satu-satunya model gerakan masyarakat adat Aceh yang dapat memberi perlawanan efektif terhadap serbuan kapitalisme asing ke Aceh dan kebijakan-kebijakan pemerintahan partai politik yang melicinkan serbuan  itu.

Jadi jawaban dari pertanyaan diatas terjawab sudah bahwa alat Aceh untuk melawan serbuan kapitalisme adalah “Adat Berdaulat”.

  • Dalam paham pandangan perlawanan, adat adalah pelembagaan akhlak perlawanan masyarakat Aceh terhadap segala bentuk penghisapan manusia dan alam semesta
  • Membangun ideologi adat berdaulat sebagai pedoman praktis kader-kader gerakan.
  • Membangun mazhab epistemologi paham perlawanan.
  • Menyusun dan siasat tindakan perlawanan yang ampuh menghadang laju serbuan kapitalisme global di  Aceh.

Setelah resiator uraikan isi dari buku ini yang berjudul “Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh”, ada beberapa hal yang menarik dari buku ini yang ditulis oleh empat penulis ini. Pertama, para penulisnya mempunyai pengalaman serta wawasan yang luas kalau kita lihat dari biografinya masing-masing dan ini terbukti melalaui karya mereka dengan menghadirkan sebuah buku yang bernuansa lokal (Aceh) namun pembahasannya mendunia. Kedua, referensi dari buku ini sangat banyak bahkan mempunyai referensi dari buku-buku yang berbahasa Inggris sehingga pembahasannya begitu mendalam, singkat dan jelas. Ketiga, buku ini mempunyai Indeks, ini  menandakan bahwa buku ini  berkualitas. Dan yang keempat ialah dari sampul buku ini mempunyai filosofi yang bernilai tinggi terutama pada gambar rencong yang berlumuran darah disandingkan dengan lambang mata uang asing menggambarkan isi buku ini bahwa Aceh diserbu oleh kapitalisme.

Buku merupakan karya yang dihasilkan oleh pikiran manusia jadi kebenaran yang berasal dari manusia itu bukan  sesuatu  yang mutlak jadi pasti ada kesalahan  maupun kekurangannya walaupun dari kekurangan itu kita bisa mengambil hikmah  dan pelajarannya. Sehingga dengan adanya kekurangan tersebut bisa menghasilkan karya yang lebih bermutu lagi.

Di akhir tulisan resensi buku ini saran resiator kepada pembaca (khususnya mahasiswa) bahwa sebagai mahasiswa yang berperan  sebagai calon akademisi  serta calon intelektual kedepannya sudah  selayaknya untuk banyak membaca buku apa saja dan lebih khususnya lagi buku-buku yang membahas masalah  persoalan lokal seperti buku Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh yang sudah dijelaskan sedikit pembahasannya  diatas, sekilas dari buku ini kita mengetahui bahwa di Aceh ini ada satu pemerintahan lokal asli yaitu mukim, yang  mana mukim merupakan benteng terakhir untuk melawan kapitalisme yang telah menancapkan kukunya  di  Aceh ini untuk mengambil kekayaan sumber daya alam Aceh.[]

husaini (Custom)*Resiator: Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam, buku ini pernah dilombakan  dalam lomba resensi buku di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang diselenggarakan  oleh Prodi  Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Penulis meraih  juara 1 dalam lomba resensi buku ini dengan jumlah 2.124 karakter kata.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.