[Features]
Zuhra Ruhmi

PERJALANAN untuk mengikuti Temu Penyair Nusantara (TPN) 4 Negara serta lounching buku Pasie Karam dimulai pagi Sabtu, 27 Agustus 2016 sekira pukul 10.00. Berangkat dari kota Banda Aceh menuju kota kelahiran Teuku Umar, Meulaboh menelusuri jalan aspal hotmix selebar 8 meter sepanjang garis pantai Barat-Selatan. Kami adalah rombongan kesekian yang memilih jalan darat menuju arena Pekan Kebudayaan Aceh Barat itu digelar, sementara para seniman dan penyair dari luar pulau Sumatra dan dari mancanegara banyak juga yang memilih jalur udara dan mendarat di Bandara Cut Nyakdien Meulaboh.
Din Saja, Salman Yoga, Win Gemade, Zuliana Ibrahim dan saya adalah rombongan yang berangkat pagi itu. Pak Din Saja memilih duduk di depan mendampingi Chairul Nazam sebagai driver. Kata pak Din Saja penyair Aceh yang pendiam itu agar lebih cepat tibanya di kota tujuan. Sedangkan saya dan kak Zuliana Ibrahim memilih duduk di belakang karena sadar akan umur yang masih muda. Pak Salman dan Pak Win Gemade duduk di tengah. Setelah mobil melaju beberapan puluh menit bahkan mendekati tengah hari kamipun berhenti di gunung Geurute menikmati hamparan Samudra Hindia memandang pada dua pulau kecil persis di depan mata. Tak ingin melepas kesempatan emas, saya dan kak Ana, sapaan akrab Zuliana Ibrahim, melepaskan ekspresi yang diabadikan dalam gambar dengan skala matematis yang diperkecil.
Di kaki gunung Geurute, kami mencari kudapan untuk bisa dimakan diperjalanan, dari jauh tampak buah yang bergantung, berharap itu adalah duku atau langsat. Kami (saya dan kak Ana) mempercepat langkah menuju gantungan buah itu. Dekat, dan semakin dekat. Karena harapan tak selalu sama dengan kenyataan jadilah kami menerima apa adanya. Ternyata buah yang digantung bukanlah langsat, tapi “saudara dekatnya” rambe. Bak umpan yang tak dimangsa, begitupun rambe hanya aku dan kak Ana yang memakan disepanjang perjalanan pantai Barat-Selatan.
Dihari yang sama sekira pukul 17.00 kami tiba. Melakukan registrasi di kantor Bappeda Setdakab Aceh Barat disambut hangat dan penuh persaudaraan oleh T. Dadek, birokrat sekaligus seniman Meulaboh yang bersahaja. Setelah itu kami menuju penginapan dengan kelincahan pak Chairul Azam mengendalikan setir mobil, istirahat dan bersiap menghadiri jamuan makan malam di Pendopo Bupati.
Ada yang lucu ketika di pendopo Bupati, kami masuk ruangan dan makan malam yang telah dipersiapkan dengan menu khas. Tetapi kami lupa menyalami sang Bupati bapak H. T Alaidinsyah yang sejak awal duduk bersama Presiden Rex Hasbi Burman menyambut tamu di ruang depan. Beruntung pak bupati sangat memaklumi hal tersebut. Selesai menghadiri jamuan makan malam, berlanjut menghadiri bedah buku Pasie Karam karya 163 penyair dari empat Negara oleh Prof. Dr. Abdul Hadi, WM di gedung PKK, persis di depan pendopo bupati yang bersejarah itu.
Setelah “mengupas” buku Pasie Karam, Teuku Dadek Ketua Dewan Kesenian Meulaboh dan juga penyusun buku tersebut secara khusus meminta Win Gemade dan Salman Yoga untuk tampil membaca puisi. Menghormati sang tuan rumah, kedua penyair Gayo itu menyanggupi dan meyambut baik permintaan pak Dadek meski tidak ada dalam roundound acara yang dipandu penyair perempuan Meulaboh Rosni Idham.
Win Gemade membaca puisi karyanya berbahasa Gayo yang kemudian diterjemahkan oleh Salman Yoga S kedalam bahasa Indonesia yang berjudul Begen/Toilet. Penonton tampak antusias sekaligus kaget bercampur heran, kenapa acara resmi yang dihadiri oleh seniman dan pejabat daerah itu justru disajikan puisi yang “nyeleneh”. Hal tersebut terlihat ketika Win Gemade dan Salman Yoga membacakan kata Begen/Toilet yang diiringin musik “Serangkaian Bunga Kopi” pimpinan Fikar W Eda, sontak penonton mengikuti Salman Yoga untuk meneriakkan toilet, terjemahan Begen sebuah puisi yang sudah pernah dimuat di media lintasgayo.co.
Sementara ketika pembacaan puisi Begen sedang berlangsung, kak Ana-pun sibuk mencari Begen sungguhan di area gedung. Ia merasakan perutnya seperti “sesak” karena reaksi buah rambe yang kami konsumsi bersama sepanjang perjalanan di pantai Barat Selatan.
Begen menjadi sangat fenomenal sepanjang pembacaan puisi ketika acara bedah buku berlangsung dikalangan para penyair dan para penonton yang menyesaki ruang ukuran besar itu. Tetapi tidak bagi kak Ana, ia justru merasa lega dari mulesnya ketika menemukan Begen yang bersedia menerimanya.
Inilah petikan puisi Begen karaya win Gemade yang diterjemahkan Salman Yoga S kedalam Bahasa Indonesia:
Kudah kemali ling gerieten
enti mubésik kusi kiri-kuen
enti ibetih mpurah urum tuen
mesom-mesom osop gere besinen
Wo begen!
ike soboh mera rami kin sinon
turah munampi giliren ara sesuk ara si bekelkup
ara si tegersah ara sibeberakah
Wo begen!
mejen nge muserempuk urum kil urum tuen
mejen nge berulen-ulenen
keta ike ara siberet mata
mesom-mesom osop neten kekiren
Wo begen!
sisingah gere munéngon jabaten
ho guru ho ke tengku sike kerani sike manteri
ike nge itiro tubuh osop bep osop ko sepuh
Wo begen
gere ikaleipé turah isinon
ike tuke tengah gere ruh mera mulimen
Wo begen gere bepemangopé lagu siungeren
ike nge hejet tenironni beden
gere pas itehen gere nguk ikemasen
wo…. .begen!!!
(Selengkapnya dapat diklik di: https://lintasgayo.co/2016/03/26/begen)
Ini merupakan salah satu cara penyair mengenalkan Bahasa Gayo kepada khalayak ramai melalui karya. Dan saya yakin semua profesi berpeluang besar untuk terus mengenalkan bahasa ibu kepada dunia untuk terus mengabadikan Gayo itu kaya ekspresi.[]






