[Artikel]
Oleh; Rahmad Sanjaya
Institute Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh harus terus berkembang dari tahun ke tahun, peningkatan mutu pendidiikan seni dan budaya dii institut seni satu-satunya di Aceh ini merupakan bagian penting dalam menyokong satu keistimewaan Aceh, yaitu budaya.
Kebijakan pemerintah untuk mendirikan ISBI di Papua, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Aceh tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 042/P/2012 memiliiki suatu maksud agar kebudayaan dapat di kaji secara akademik dan tercatat dengan baik dalam dokumen negara republik Indonesia. Yang sudah barang tentu akan melahirkan penguatan kebudayaan dari berbagai penyimpangan kebudayaan yang nantinya dapat di pengaruhi oleh kemajuan zaman. Kemudian adanya institut juga akan mencipta generasi yang menjaga, melestarikan, mengembangkan dan mempertahankan kebudayaan tersebut dari masa ke masa sekaligus mendidik para generasi bangsa untuk melaksanakan kehidupan yang berbudi pekerti luhur dan menjaga segala tatanan nilaii yang di miliki Aceh secara turun temurun.
Namun dalam prakteknya ISBI tak kunjung menjadi Institut yang lebih maju dari apa yang di harapkan, sementara teman sejawat ISBI di tiga daerah lainnya mengalami kemajuan yang signifikan. Sejak mulai berjalannya ISBI Aceh hingga saat ini sudah banyak saran dan pendapat yang di sodorkan pada rektor yang menjabat saat ini, seperti perikrutan para maestro atau pakar kesenian tradisional yang diasumsikan dapat menjadi dosen luar biasa karena tidak memiliki pendidikan khusus seni atau ijazah resmi dari perguruan tinggi yang ada hanya izjazah alam dan pengalaman dalam dunia seni tradisi di Aceh. lambatnya perekrutan para senior seni ini untuk membagi ilmu di ISBI semakin di perparah dengan berpulangnya satu persatu maestro seni tradisi Aceh kehadapan Sang Pencipta seperti syeh tari Seudati diantara: Syeh Lah Baguna, Syeh Lah Geunta, Syeh Min. Aceh kini telah kehingan banyak tokoh seni dan belum sempat di ajarkan pada generasi saat ini, sungguh sangat merugi, sementara generasi seudati saat ini belum tentu mampu menyajikan tari seudati sehebat syeh-syeh yang sudah tiada. Padahal wacana ini sudah dii gagas sejak ISBI dari mulai pembentukan oleh para seniman Aceh, namun tidak di jalankan.
Kemudian ISBI yang harusnya kini telah memiliki gedung-gedung terbaru sumbangan pemerintah sama sekali tidak dii miliki, agaknya rektor sekarang puas akan gedung yang saat ini ada.
Dalam berbagai diskusi seniman Aceh, mengharapkan adanya perubahan yang mendasar dalam tubuh ISBI, baik managemen, pola pendidiikan, peningkatan Fakultas, staf pengajar yang memiliiki kwalitas, sehingga kemajuan ISBI semakin hari kian pasti. Kembali pada tujuan awal, mengapa ISBI di bangun di Aceh, sudah tentu untuk seni budaya Aceh, dan yang paling tahu tentang seni budaya Aceh adalah orang Aceh itu sendiri bukan orang dari luar Aceh. asumsinya jika orang luar Aceh, namun di bantu sepenuhnya oleh staf pengajar yang memiiliki kwalitas seni budaya Aceh tentu tidak masalah, tetapi pada kenyataannya rektor ISBI dengan kebijakannya kerap bertolak belakang dari keinginan para staf pengajarnya sehingga dalam mempelajari seni budaya Aceh yang sesungguhnya mengalami banyak hambatan.
Maka saya menilai perlu adanya pergantian rektor pada institut yang dii percaya pemerintah Republik Indonesia ini pada Aceh, rektornya juga haruslah orang Aceh. dan satu-satunya rektor yang sesuai dengan apa yang diiinginkan seniman , pekerja seni dan para budayawan Aceh adalah Dr. Sulaiman Juned, M.Sn sebagai penganti rektor ISBI saat ini.
Dr. Sulaiman Juned, M.Sn bukanlah orang baru untuk ISBI, dia merupakan salah satu person yang paling menginginkan adanya ISBI di Aceh dan dia juga salah satu person utama yang mengurusi hadirnya ISBI di Aceh dengan berbagai lika-liku hingga berjalan saat ini.[]
*Penulis adalah: Seniman Sastra dan Musik di Aceh Dan merupakan salah seorang juri Sayembara Himne dan Mars ISBI.