Saat Nek Renim Terima Amplop Muzakki IKAT Aceh

oleh

Catatan Nasril

Nek-Renim-2

Nek-Renim-3SORE itu Selasa, 5 Juli 2016 bertepatan dengan 30 Ramadhan 1437 H, atau  bersamaan juga dengan hari Meugang,  kami  bergerak menyerahkan Zakat Fitrah dari Muslim Canberra Australia melalui Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh kepada Mustahiq di wilayah Kabupaten Gayo Lues dan telah menyelesaikan 90 persen, masih tersisa sekitar 3 Mustahiq lagi.

Setelah bermusyawarah dengan kawan-kawan yang menemani kami yang juga penunjuk jalan ke rumah mustahik, kami menuju ke sebuah rumah yang terletak di Kp. Rema Kecamatan Kuta Panjang Gayo Lues, untuk sampai ke rumah itu harus melewati gang kecil, cukup untuk dilewati satu mobil saja, sampai-sampai dalam perjalanan kesana kami harus turun semua agar tidak kandas karena polisi tidur yang lumayan tinggi, tidak jauh dari polisi tidur itu, mobil yang kami tumpangi langsung parkir di jalan sempit itu, kemudian kami menuju ke sebuah bangunan persegi yag terbuat dari kayu dan tampak sudah tua, atau mungkin  lebih layak dikatakan Rangkang atau sebuah gubuk.

Awalnya saya sempat mengira itu hanya dapur tambahan dari rumah sebelahnya, namun setelah memastikan lagi kepada yang mengantarkan kami ia menyakinkan dan menunjuk dengan pasti kalau gubuk itu adalah tujuan kita.

“ iya betul ini rumahnya” ujar kawan itu

Rumah atau gubuk kecil yang kami tuju itu rupanya milik Nek Renim yang tinggal bersama 1 orang anak dan 1 cucunya, tampak dari luar tidak ada tanda-tanda orang tinggal disana, gubuk itu ukurannya lebih kurang sekitar 4×5 meter, entah cocok atau tidak gubuk itu dikatakan rumah, yang jelas disana ditempati  oleh 3 orang, atapnya sudah ada yang bocor, dindingnya kayu yang sudah kusam, lantainya juga sudah ada yang bolong.

Setelah menunggu beberapa menit, keluar seorang wanita yang merupakan anak dari nek Renim yang bernama Sepiah dan kami menyerahkan satu paket kepada ibu tersebut dan rencananya mau menitip juga paket punya Nek Renim. Terdengar suara dari dalam gubuk tidak begitu jelas apa yang disampaikan, kemudian kami minta izin untuk masuk ke dalam gubuk itu dan disana ternyata ada seorang nenek yang sudah berumur 76 Tahun berbaring di atas kain-kain yang sudah pudar dan kami langsung menyerahkan Zakat kepadanya, seolah-olah  ia mengajak kami untuk bercerita tapi dengan bahasa yang saya tidak paham.

Di gubuk tua itu Nek Ranim menghabiskan  hari-hari tuanya, di usia yang sudah sangat tua dan di alas ala kadar itu, semacam kasur Palembang tempat ia tidur siang dan malam, tidak ada ruang khusus untuknya, tidak ada skat untuk kamar, yang ada hanya sedikit pembatas antara tempat ia dan dinding gubuk itu yang didalamnya terdapat kumpulan kain-kain sudah tua, tidak ada lemari yang khusus untuk baju, yang ada hanya tempat rak piring kecil dan disampingnya dijadikan tempat untuk memasak, di gubuk  kecil itulah digunakan sehari-hari, gubuk kecil yang berfungsi untuk semua.

Sambil memegang amplop yang akan kami serahkan, Nek Ranim berbicara sesuatu dengan menggunakan bahasa Gayo, bertanya tentang siapa kami.

“Kami dari Ikatan Alumni Timur Tengah Aceh Nek, ingin bersilaturrahim dan menyampaikan amanah ini,” saya menjelaskan kepadanya yang diterjemahkan oleh kawan yang menemani kami.

Hati mulai tergoyang ketika mata terlihat satu persatu setiap sudut bangunan dan seisi gubuk kecil yang gelap itu, mulai membayangkan dimana mereka tidur kala malam hari, karena seisi ruangan itu sudah padat, bagaimana mereka menghabiskan hari-harinya didalam gubuk itu.

Setelah kami berpamitan, dalam perjalanan ke tempat terakhir yang sedikit jauh dari rumah itu, saya bertanya kepada salah seorang teman yang mendampingi  kami, kenapa mereka belum mendapatkan rumah bantuan, atau rumah Dhuafa atau bantuan lainnya, disaat Aceh sedang gencar-gencarnya pembangunan rumah untuk kaum Dhuafa.

Nek-Renim-1Ia hanya menjawab, mungkin belum rejeki, sudah beberapa kali  mereka mengajukan permohonan tapi belum juga dapat, mungkin ada yang lebih berhak dan prioritas dari nek Ranim, dan kabarnya tahun ini  diusahakan Nek Ranim mendapat rumah itu.

Pemuda itu juga menjelaskan ketika saya tanya dimana mereka sehari-hari buang air besar atau MCK,

“ Mereka menggunakan parit yang dekat dengan rumah mereka itu untuk keperluan MCK, kebetulan disana airnya mengalir,” jelasnya

Hati ini semakin terenyah mendengar penjelasan itu, membayangkan nek Ranim yang sudah tua, sudah lemah harus melewati hari-harinya di gubuk itu.

Rumah Nek Renim dengan kapasitas 3 orang itu sungguh tidak layak, dindingnya yang sudah lapuk dimakan usia, apalagi kota Seribu Bukit itu salah satu kota dingin, malamnya mereka akan menggigil. Kain-kain yang menjadi alas untuk Nek Renim tidur juga sudah usang, namun tetap digunakan agar dingin sedikit terbendung.

Kondisi nek Renim kini sudah sakit-sakitan dan mulai lemah, namun Nek Renim tetap tegar, tidak ada keluhan dari nenek itu, seakan ia menerima apapun kondisinya hari ini, hanya saja, seakan Nek Renim memanggil kita semua atau siapa saja yang ingin membantunya beserta anak dan cucunya untuk tinggal di tempat yang lebih layak, tapi itu sungguh tidak keluar dari bibir nek Renim, hanya ada dari rasa nurani yang melihat kondisinya disana.

Mungkin saja bapak Bupati atau bapak Gubernur, ada alokasi bantuan rumah Dhuafa atau bantuan lainnya untuk tahun ini atau tahun depan, sisihkanlah untuk mereka, mereka membutuhkannya, agar nek Renim dan 2 orang yang tinggal disana bisa kembali tersenyum.

Suara takbir bergemuruh malam itu, tanda kemenangan, Idul Fitri 1437 H,  amanah yang diberikan oleh IKAT Aceh telah kami selesaikan, zakat telah kami salurkan kepada Mustahiq di Gayo Lues, bahagia melihat mereka tersenyum, mereka menyampaikan terima kasih kepada Muzakki dan IKAT Aceh, “ Berijin IKAT Aceh.[]

*Humas  Ikatan Alumi Timur Tengah (IKAT) Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.