Kunci Membuka Akses Perekonomian Wilayah Pedalaman

oleh
Mencoba memanen kopi. (LGco_Khalis)

Oleh: Muhammad Syukri

Gajah dipelupuk mata tak kelihatan,
semut diseberang lautan terlihat jelas

Muhammad-SyukriMembicarakan wilayah pedalaman akan melahirkan berbagai persepsi. Ada yang melihatnya dari sisi keterbelakangan ekonomi akibat terbatasnya fasilitas dan infrastruktur. Sebaliknya,  ada yang melihatnya dari sisi sosial, karena disana berkumpul sejumlah orang miskin. Persepsi-persepsi itu boleh jadi seluruhnya benar, bisa juga salah. Pastinya, berpersepsi adalah hak setiap orang dalam menafsirkan suatu fenomena. Seringkali persepsi itu dibatasi oleh ruang dan waktu. Misalnya, persepsi itu muncul berdasarkan fakta saat mereka berkunjung beberapa tahun lalu. Mungkin pula persepsi itu didasarkan atascerita  orang-orang yang pernah berkunjung kesana.

Bila kemudian ada persepsi negatif terhadap wilayah pedalaman, sesungguhnya bukan untuk ditangisi, tetapi terimalah sebagai sebuah kenyataan. Tidak harusditutup-tutupi demi “marwah atau harga diri.”Masalahnya, semua orang tahu bahwa karakteristik wilayah pedalaman memang tidak berbeda jauh dari persepsi tadi. Seperti ditulis Tania Murray Li (2002) dalam buku Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, bahwa daerah pedalaman dipersepsikan sebagai suatu daerah pinggiran, yang secara sosial, ekonomi dan fisik jauh tersisih dari jalur utama, bersifat tradisional, belum berkembang dan tertinggal.

Kemudian, Tania mendefenisikan “daerah pedalaman” atau “dataran tinggi” sebagai daerah yang berbukit hingga bergunung dengan permukaan daratan yang cenderung terjal, yang berada di tempat yang tinggi. Daerah pedalaman umumnya tidak mendapatkan aliran irigasi, tidak langsung berbatasan dengan pesisir, muara sungai atau daratan aluvial dan tanah rawa-rawa.

Menelisik persepsi serta defenisi diatas, semakin jelas karakteristik sebuah wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah pedalaman. Apabila dikerucutkan dalam skope Provinsi Aceh, salah satu wilayah pedalaman yang cocok dengan karakteristik itu adalah Dataran Tinggi Gayo. Sebuah wilayah pegunungan yang berada ditengah-tengah wilayah Provinsi Aceh. Secara faktual, wilayah ini memang tersisih dari jalur utama ekonomi (jalan negara Banda Aceh-Medan), masyarakatnya masih menjunjung tinggi tradisi dan adat istadat, dan  secara ekonomi belum berkembang. Meskipun tergolong sebagai wilayah pedalaman, secara administratif, ternyatawilayahini dipimpin oleh 3 kepala daerah yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues.

Meskipun tergolong sebagai wilayah pedalaman dengan kontur perbukitan dan pegunungan, kawasan ini diberi anugerah tanah dan lahan yang cukup subur. Dipastikan, di wilayah ini tidak ditemukan daratan aluvial yang cukup luas sebagai areal persawahan dengan irigasi memadai seperti di wilayah pesisir. Hampir tidak ada lahan untuk tanaman pangan [persawahan], sehingga sebagian besar kebutuhan pangan [termasuk beras] dipasok dari wilayah pesisir dan daerah lain.

Kopi bukan komoditi baru

Itulah problem besar yang selalu “menghantui” penduduk Dataran Tinggi Gayo. Problem ini menjadi kelemahan, tetapi disebalik itu, ada kekuatan ekonomi dahsyat disana. Apa kekuatannya? Wilayah ini memiliki potensi ekonomi luar biasa. Dengan potensi itu, warga dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membelinya dari daerah lain. Potensi luar biasa itu adalah kopi arabika (coffea arabica L.).

Bagi warga di Dataran Tinggi Gayo, kopi bukanlah komoditi baru. Tanaman penyegar ini  sudah tumbuh dan berkembang berabad-abad yang lalu. Tidak percaya? Mari kita simak ungkapan penulis asal Belanda DR C.Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul Het Gajoland ez Zijne Bewoners (1903) yang diterjemahkan oleh Hatta Hasan Aman Asnah dengan judul: Gayo, Masyarakat dan Kebudayaan Awal Abad Ke-20 (1996). Pada halaman 254 dijelaskan: “Mengherankan, di Tanah Gayo hampir di mana-mana kita jumpai batang kopi. Dari mana asalnya, seorang pun tidak ada yang tahu. Sepanjang ingatan, tidak seorang pun mengaku pernah menanam kopi (kawa atau sengkawa) dan menganggap bahwa tanaman ini tanaman liar. Orang mengambil batang atau cabangnya untuk pagar kebun. Buah kopi yang masak dibiarkan saja dimakan burung, kemudian burung itulah yang menyebarkan kopi ini. Orang Gayo sendiri tidak tahu bahwa kopi itu bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya yang kemudian dijadikan teh.”

Gambaran itu menegaskan bahwa kopi sebagai komoditi bernilai ekonomi tinggi, ternyata belum dapat diolah menjadi suatu komoditi berharga. Mereka malah hidup termarjinalkan ditengah potensi ekonomi super dahsyat. Kenapa? Komoditi itu tidak memiliki akses pasar, dan mereka tidak pernah tahu harus menjual kemana. Padahal, komoditi kopi bisa “dibarter” dengan bahan pangan.

Dahsyatnya ekonomi kopi

Siklus seperti itu terus menggayuti perekonomian warga wilayah pedalaman sampai kemudian Pemerintah Kolonial Belanda membuka akses pasar dengan mengekspor kopi ke luar negeri. Buktinya, pada tahun 1929sebanyak 8 ton kopi Gayo mulai diekspor, lalu tahun 1933 sebanyak 9 ton, tahun 1937 menjadi 240 ton, dan tahun 1938 diekspor sebanyak 207 ton. Ekspor kopi pada tahun 1938 itu senilai 83.000 guldens.

Sejak itu, terkuaklah akses pasar komoditi kopi. Penduduk wilayah pedalaman di Dataran Tinggi Gayo mulai menyadari dahsyatnya ekonomi kopi, buah yang selama ini menjadi makanan burung. Selain dijual kepada Pemerintah Kolonial Belanda, ternyata biji kopi mulai digongseng warga sebagai bahan minuman penyegar. Dampaknya, lahan-lahan tidur diubah menjadi kebun kopi yang seluruhnya milik rakyat. Sampai sekarang, kita bisa melihat hamparan tanaman kopi itu, bak permadani menutupi bahu-bahu bukit di Dataran Tinggi Gayo.

Saat ini, luas areal tanaman kopi di Dataran Tinggi Gayo mencapai 95.290 hektar yang dikelola oleh 66.101 kepala keluarga. Dengan perincian, sekitar 48.000 hektar berada di Kabupaten Aceh Tengah, 39.490 hektar di Kabupaten Bener Meriah, dan 7.800 hektar di Kabupaten Gayo Lues. Berapa produksinya? Produktivitas tanaman kopi saat ini adalah 725 kg green bean per hektar/tahun. Apabila dikalikan dengan luas areal tanaman kopi di Dataran Tinggi Gayo, maka diperoleh total produksi sekitar 69.085.250 kg green bean [biji kopi kering] per tahun atau senilai [apabila dikalikan dengan harga 1 kg green bean saat ini Rp 50 ribu] Rp 3,45 Trilyun per tahun. Fantastis bukan? Kira-kira, sebesar itulah uang yang setiap tahun beredar di tangan para petani maupun pedagang.

Mari kita telisik lebih dalam lagi, seberapa besar devisa yang berhasil dipasok dari komoditi kopi. Acuannya adalah data Realisasi Ekspor Impor Provinsi Aceh 2003-2013 yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh. Sebagai sampel, kita ambil realisasi ekspor non migas Aceh tahun 2012. Dari US$ 93.768.184,43 nilai ekspor non migas Aceh, ternyata 68,6% atau US$ 64.363.704,31 berasal dari hasil ekspor kopi Gayo. Apabila nilai ekspor kopi Gayoitu dikalikan dengan kurs US$ per 31 Desember 2012 sebesar Rp 9.670 [data Bank Indonesia], maka devisa yang berhasil dipasok dari hasil ekspor kopi Gayopada waktu itu mencapai Rp 622.397.020.677,70.

Siapakah yang ikut menikmati uang sebesar itu? Ternyata, ratusan milyar devisa itu tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh penduduk Provinsi Aceh. Kenapa? Sebagian besar mengalir ke ibukota Provinsi Sumatera Utara dan wilayah lain di Indonesia. Para petani kopi membelanjakan uang itu untuk membeli pakaian, bahan bangunan, bahan pangan, dan kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, devisa yang beredar di Provinsi Aceh sangat sedikit, itupun karena adanya transaksi perdagangan dengan para petani kopi seperti membeli kelapa, sayuran, buah-buahan, beras, ikan, daging, jasa transportasi, pasir, batu kali, batu bata, kayu olahan, tepas, sampai atap rumbia. Ironisnya, sebagian besar beras, telor dan ayam potong malah dipasok dari kota Medan.

Secara empirik, fakta itumemperlihatkan bahwa “kita” sama sekali “buta” terhadap peluang dahsyatnya ekonomi kopi yang bernilai ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah per tahun. Sekonyong-konyong, ekonomi Aceh sangat tergantung kepada “kue pembangunan” yang berasal dariAPBN, APBA dan APBK.Akibatnya, “kita” lalaimemberdayakan ekonomi kerakyatanagar rakyat bisa merengkuh devisa dari kopi.

Disisi lain, “kita” sering mengeluh, seolah-olah dimarjinalkan oleh pihak-pihak tertentu. Padahal, kita sendiri belum mampu “membendung” mengalirnya uang ekonomi kopi ke luar Aceh.  Itu salah “kita,” bukan salah orang lain. Persis seperti bunyi sebuah adagium: Gajah dipelupuk mata tak kelihatan, semut diseberang lautan terlihat jelas.

Saran

Lantas, upaya apa yang seharusnya menjadi prioritas utama? Seluruh penduduk di Provinsi Aceh harus mandiri secara ekonomi. Artinya, semua kebutuhan pokok dan barang pendukungnya sudah saatnya diproduksi sendiri oleh penduduk Aceh. Kalau perlu, para saudagar Aceh mendirikan industri baja, tekstil, sampai industri sabun dan pasta gigi. Mungkinkah dapat terwujud? Kenapa tidak, kuncinya para “elite politik” harus menyatukan persepsi dan menyamakan langkah demi mewujudkan “mimpi” itu. Arahkan semua program pembangunan untuk menghidupkan berbagai industri yang mampu memproduksi barang  kebutuhan pokok. Dengan demikian, uang ekonomi kopi yang cukup dahsyat itu dapat dicegah mengalir ke luar Aceh.

Disamping itu, supaya akses perekonomian di wilayah Dataran Tinggi Gayo semakin terbuka, ini kuncinya sekaligus sebagai saran dari penulis kepada semua pihak terkait: (1) dukung eksistensiIndikasi Geografis [IG] kopi Gayo, karena sertifikasi ini telah mengangkat nama kopi Gayo ke tahta tertinggi perkopian dunia; (2) lanjutkan rehabilitasi tanaman kopi dengan varietas unggul Gayo1 dan Gayo2 agar produksinya terus meningkat; (3) bangun jalan usaha tani untuk mempermudah pengangkutan hasil panen ke pusat pasar; (4) berdayakan petani untuk menginvestasikan uang hasil penjualan kopi secara benar; (5) percepat pelaksanaan sistem resi gudang, pasar lelang kopi dan segera terbitkan izin dry portuntuk meningkatkan posisi tawar kopi Gayo; (5) aktifkan penerbangan rutin ke Bandara Rembele untuk mendukung kunjungan buyer internasional dan wisatawan kopi ke Dataran Tinggi Gayo; (6) percepat peningkatan jalan Takengon – Bireuen dan Jalan Takengon-Simpang KKA Krueng Geukuh supaya kopi Gayo bisa diekspor langsung dari Pelabuhan Krueng Geukuh; (7) dukung gerakan minum kopi Gayo agar usaha kecil seperti cafe [warung kopi] dan industri pengolahan kopi berkembang pesat; (8) dorong seluruh penduduk Aceh agar bisa mengambil syafaat dari uang ekonomi kopi; (9) sepakati kopi Gayo sebagai salah satu kekuatan ekonomi Aceh.

Takengon, 11 Juni 2016.

Tulisan ini adalah peraih Juara 2 Lomba Tulis SJI PWI Aceh 2016. (baca : Ini Juara Lomba Menulis dan Foto Membangun Aceh Pedalaman SJI PWI)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.