Ahmad Nauval*
PAGI ini hari terakhir perkuliahanan saya sebelum esok menjadi hari dimana semua umat islam menjalani puasa di bulan ramadhan, saya begitu bergembira karena ramadhan tahun ini masih di beri umur panjang dan saya juga sangat senang karena disaat puasa nanti tidak ada perkuliahaan. Hari ini pun saya sangat bersemangat untuk mengikuti ujian terakhir saya di kuliah, saya pun bergegas mandi untuk bersiap siap menuju tempat perkuliahan saya, tidak lupa untuk berpamitan dengan orang tua sebelum saya berangkat. Motor yang biasa saya kendaraipun sudah siap untuk menemani keseharian saya mencari ilmu, saya pun langsung berangkat menuju ke tempat saya menuntut ilmu.
Baru beberapa puluh meter saya berjalan, sesosok orang tua yang sedang mengayuh sepeda mencuri pandangan saya, dengan sepeda tua nya yang berbunyi nyaring saat di dayung dan sesekali beliau membunyikan loncengan sepedanya. kakek tua itu terus mendayung sepedanya, saya yang penasaran siapa di balik tubuh tua berambut ikal itupun terus mengikuti nya hingga sampai di sebuah simpang saya jelas melihat wajah itu dan ternyata dia adalah chik pa seorang kakek tua pekerja keras yang tinggal di belakang rumah saya, dia juga seorang pengembala sapi sekaligus penjaga kebun saya.
Namun di pagi itu chik pa tidak langsung menuju ke kebun untuk mengembala sapi, beliau langsung lurus menuju pasar lambaro untuk menjual pisang hasil kebunnya yang sudah matang. Setelah pisangnya terjual chik pa tidak lupa bersantap pagi dan meminu segelas teh hangat di sebuah kedai kopi sederhana dekat tempat ia berjualan pisang. Waktu menunjukan pukul 08:00 chik pa pun langsung mengayuh sepeda tunya kembali bergegas menuju ke kebun.
Saya yang tak sadar akan waktu yang menunjukan pukul 08:00 pun langsung bergegas mendahului chik pa untuk menuju ke kampus. Melihat waktu yang semakin cepat berjalan, saya pun semakin kencang melaju bersama motor saya namun apa daya jalanan menuju tempat saya mencari ilmu itu banyak lubangnya apa lagi jika hujan semua jalan terlihat mulus tanpa kita sadari ada lubang dibalik air hujan itu, sayapun tidak bisa melaju begitu cepat dijalanan ini, perlahan tapi pasti saya terus melaju walaupun sesekali terperosok ke dalam lubang jalan itu.
Sesampainya di kampus saya pun lupa di ruang berapa hari ini masuk, seketika saya langsung membuka handphone saya untuk melihat jadwal perkuliahaan beserta ruangnya. Sesampainya diruangan sayapun jadi tidak semangat karena dosennya belum masuk, padahal saya bergegas kuliah mengejar waktu mempertaruhkan nyawa di jalanan yang tidak begitu mulus namun yang saya dapatkan sama seperti jalan layaknya jalan buruk menuju ke kampus.
Matahari mulai berdiri tegak di atas kepala yang bertanda bahwa pukul 12:00 sudah saatnya saya pulang karena semua mata kuliah saya sudah selesai, namun sebelum pulang saya langsung menuju ke mesjid untuk menunggu solat zuhur yang tinggal beberapa menit lagi akan di laksanakan, sembari menunggu solat zuhur saya berbincang-bincang dengan teman-teman saya yang akan merayakan ramadhan beserta lebaran di kampunya dan juga sekaligus bersalim salim untuk saling memaafkan.
Hari ini adalah hari megang bagi semua umat muslim yang ada di aceh, megang bagi umat muslim yang ada di aceh sudah menjadi tradisi, tidak perduli seberapa mahal daging yang di jual mereka tetap membelinya untuk mereka bawa pulang ke rumah, baik rumah sendiri, rumah mertua bagi yang sudah menikah maupun memberikan kepada kaum fakir. Megang identik dengan masakan sie reuboh (daging rebus) dimana semua kaum ibu memasak sie reuboh untuk membahagiakan anak-anaknya dan juga suaminya.
Namun beda halnya dengan chik pa yang seorang pengembala sapi, maka ia sanggat bergembira jika sapi miliknya bisa terjual dengan harga yang bersaing dipasar, dengan uang yang di dapatkan setelah menjual sapinya beliau bisa membeli sapi berukuran lebih kecil untuk kemudian dijadikan bibit selanjutnya dan sisa uangnya dia bisa membeli daging untuk dibawa pulang keruma dan juga baju baru untuk anak cucunya nanti. Namun jika sapinya tidak terjual dia maka dia harus mencari uang dengan cara lain agar bisa membawa pulang 1kg daging sapi kerumah, baik dengan cara menjual asil panen buah nangka maupun pisang yang selama ini ia tanam di kebun.
Hingga hari megang kedua tiba sapi miliknyapun belum juga terjual, ia pun mulai berpikir bagaimana cara mendapatkan uang untuk membeli daging untuk di bawa pulang kerumah. Chikpa pun mulai melihat lihat hasil kebun mana yang bisa ia panen untuk di jual. Ia pun mulai memanen satu persatu buah-buah yang bisa ia jual untuk memenuhi kebutuhan membeli daging megang. Satu persatu hasil panen nya iya naiki ke sepedanya untuk di jual di pasar lambaro, sesampainya di pasar lambaro ia pun langsung menjajakan buah-buah segar yang iya penen dari kebun, belum beberapa menit iya berjualan daganggannya sudah habis namun uang yang iya dapatkan masih kurang.
Ia pun pulang kerumah untuk mencari tabungan simpanannya dan syukur tabungannya masih ada, ia pun langsung bergegas kembali dengan sepeda tua nya menuju pasar lambaro untuk membeli 1kg daging sapi untuk di bawa pulang kerumah. Dan syukur masih ada daging segar walaupun sudah pukul 12:00 siang. Ia pun bergegas kembali kerumah untuk mengantarkan daging megang agar dapat di masak oleh anaknya untuk disajikan nanti.
Sesudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakek yang mempunyai 2 cucu yang tinggal bersamanya ia pun kembali menuju kekebun mencari rumput untuk beberapa ekor sapinya. Tidak lupa iya juga melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk melaksanakan solat zuhur, wlaupun ia solat hanya beralaskan kayu tempat ia beristirahat di dalam kandang sapi tapi iya tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslmi.
Matahari pun mulai beranjak terbenam maka sudah saatnya ia kembali mengayuh sepeda tuanya menelusuri jalan setapak penuh kerikil dan matahari yang terus menemaninya hingga dayungan terakhir sampai dirumah. Sesampainya dirumah iya langsung menyimpan sepeda tuanya yang selalu menemani harinya di bawah rumah aceh miliknya.
Siapa chikpa sebenarnya? Chikpa adalah seorang kakek tua yang bernama aslinya Ibrahim. Ia berjuang untuk menghidupi keluarganya dan juga cucunya dengan cara memelihara beberapa ekor sapi untuk sewaktu waktu dapat ia jual agar dapat memenuhi kebutuhannya. Iya sekarang hanya tinggal bersama dua anaknya dan dua cucunya, istrinya sudah meninggal beberapa waktu silam. Ia yang rentan sakit namun tetap mencari kesibukan dengan berkebun dan mengembala sapi berharap kesehatan menyertainya.
Kumandang azan magrib pun mulai terdengar, ia pun langsung bersiap siap untuk melaksanakan ibadah salat magrib nya, rakaat demi rakaat iya renungi agar solatnya khusyuk. seusai magrib iyapun langsung bersantap malam sebelum menuju ke mesjid untuk menunaikan ibadah solat isya dan teraweh pertamanya.
Waktu menunjukan pukul 19:58 wib saatnya isya, ia pun mulai bersiap siap mengkunci pintu rumah dan sandal yang biasa ia kenakanpun akan menuntunnya ke mesjid. malam hari chikpa tidak menggunakan sepeda tuanya yang setiap hari menemaninya, kerena sepedanya yang tidak memiliki lampu penerang dan matanya yang mulai rabun pun sulit untuk melihat keadaan jalan raya yang penuh sesak dengan kendaran. Kakinyapun mulai melangkah demi langkah menuju mesjid tidak begitu lama ia melngkah sampai juga di mesjid lambaro. Ia langsung bergeges menuju keran air untuk berwudhuk, tetesan demi tetesan air iya membasahi tangan hingga kakinya untuk memenuhi kewajiban sebelum melaksanakan solat.
Rakaat demi rakaat iya kerjakan hingga solat witir ke 23 rakaat iya tetap berdiri kokoh tanpa mengeluh sedikitpun, di umurnya yang beranjak 80tahun ini ia masih sanggup mengerjakan smuanya dengan mandiri. Ia tidak pernah mengeluh akan pahitnya hidup yang ia jalani, beratnya hidup yang ia hadapi. Seharusnya orang tua yang berumur 80tahun seperti beliau hanya menikmati hidupnya dan usahanya sewaktu mudanya tapi beda halnya dengan dia yang tidak mengenal usia untuk mencari rizki.
Setelah melaksanakan ibadah terawih pertamanya dibulan puasa ini iya langsung bergegas pulang untuk beristirahat agar dapat melaksanakan sahur besok pagi, mengingat fisikinya yang tidak begitu sehat lagi seperti saat ia masih mudah, apalagi dinginya angin malam rentan membuat tubuhnya sakit. Pulangpun ia hanya bertemankan angin malam dan suara bising kendaraan yang lalu lalang di jalanan, namun ia tetap mensyukuri nikmat allah yang hingga saat ini ia masih mampu berjalan tanpa tongkat atau alat bantu lainnya.
Malam semakin malam, angin yang semakin dingin,kesunyianpun semakin menghantuinya untuk semakin cepat bergegas pulang. Sesampainya dirumah ia langsung membasuh kakinya dan wajahnya sebelum masuk ke dalam rumah, kunci yang mulai iya masukan di pintu perlahan iya putar agar pintunya bisa terbuka, hingga bunyi “iiiett” pintu tua pun menyambutnya ia pulang.
Alrm alampun mulai menyadarkan ia untuk bangun menyantap sahur bersama anak cucunya, tidak banyak menu yang di hidangkan, hanya beberapa potong daging goreng, sie reboh dan sedikit sayur mayur beserta teh hangat untuk menetralisirkan makanan didalam tubuhnya, ia sangat mensyukuri masih bisa bersantap sahur bersama anak cucunya meskipun istrinya telah mendahuluinya menghadap yang mahakuasa. Ia hanya berharap ibadahnya beserta keluarga dapat di terima disisi allah SWT dan kesehatan bisa selalu menyertainya.
Imsak pun mulai terdengar jauh dari mesjid, maka sudah saatnya ia menyudahi santap sahurnya dan berdoa untuk berpuasa esok hari. Tidak lama terdengar imsak saut menyaut azanpun mulai terdengar hingga ke dapur sederhana miliknya, ia pun langsung bersiap-siap dan bergegas menuju meunasah terdekat untuk meksanakan ibadah solat subuh berjamaah, agar bisa mendapatkan pahala 27.
Kali ini ia juga masih di temani oleh angin malam tanpa bunyi nyaring sepedanya, ia langsung melangkah sendirian di kegelapan malam yang sunyi untuk menjemput pahala 27 di meunasah kampungnya. Sesampinya di meunasah ia langsung berwudhuk dan masuk ke meunasah berdiri di belakang imam sembari mengikuti imam megangkat tangan dan mengucapkan allahhuakbar beserta niat di dalam hatinya.
Waktu sudah menunjukan pukul 07:00 saatnya ia bergegas berangkat dengan sepedanya, jalanan yang mulai padat dengan kerumunan kendaraan masyarakat yang berangkat kekantor ia pun tidak peduli akan bahaya jalanan yang kapan saja bisa memakan korban jiwa. Dia terus mendayung perlahan demi perlahan sembari menikmati keriyuhan jalan raya yang mengalahkan bunyi nyaring dari dayungan sepedanya hingga sampailah di jalan berlapiskan tanah dan sedikit rerumputan barulah mulai terdengar nyaring suara dayungan sepedanya.
Tak kenal rasa haus dan lelah menyertainya, ia terus bercocok tanam agar suatu saat nanti ketika ia butuhkan bisa ia petik, sapi-sapi miliknya mulai ia lepaskan agar dapat mencari rumput sendiri, namun ia juga tidak lupa untuk memotong rumput lebih untuk diberika ke sapinya nanti. Waktu terus berjalan matahari pun mulai terasa menyengat iapun masih tetap berada di bawah sinar yang terik itu untuk memenuhi kehidupannya di esok hari.
Azan zuhurpun mulai terdengar namun ia masih berada jauh dari mesjid, ia pun langsung menaruh sabit pemotong rumput dan goni rumput miliknya untuk menjalani kewajibannya sebagai muslim, air yang harus di timba sndiripun ia masih sanggup menimbanya hingga beberapa kali untuk berwudhuk. Chik pa sudah terbiasa ketika azan masih berada di kebun, namun dia tidak pernah meninggalkan solat, ia langsung menunaikan solatnya di gubuk kecil miliknya.
Setiap hari chikpa selalu memikirkan bagaimana caranya ketika lebaran nanti ia bisa membelikan baju baru untuk cucunya walaupun cucunya tidak pernah menuntut dia untuk membelikan baju baru untuk mereka. Tapi sebagai seorang kakek dia merasa bersalah jika tidak membelikan baju baru untuk cucunya. Ia terus mendoa meminta agar riskinya dilancarkan dan dapat membelikan pakaian baru kepada cucu cucunya.
Hingga waktu zuhur dan azar beralalu beliau mulai bergegas pulang untuk menikmati berbuka puasa bersama keluarga kecilnya di dapur yang sederhana. Ia pun mulai mendayung kembali sepeda tuanya melintasi jalanan yang mulai penuh dengan penjual es kelapa, gorengan ataupun jajanan berbuka lainnya. Ia berharap makanan berbuka di rumah lebih lezat dan nikmat di bandingkan makanan yang dijajakan meskipun hanya sebiji kurma dan segelas teh hangat.
Usaha tidak pernah mengenal umur, sukses bukan soal anda bisa menikmatinya tanpa bekerja keras lagi, tapi sukses baginya iyalah bisa mendidik keluarga dengan benar dan di berikan kesehatan dan keberkahan hidupnya.[]
*Ahmad Nauval, lahir di Lampreh Lamteungoh, Aceh Besar 17 Desember 1994. Ia anak ke 2 dari 3 bersaudara putra dari ayah Mawardi dan ibu Nazariah, dapat dihubungi dialamat: Sosmed: @adnauva.
Tulisan di atas adalah serangkaian tugas mata kuliah “Penulisan Features” Jurusan Komunikasi Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang diasuh oleh Salman Yoga S.