Din dan Dong, asal muasal Didong Gayo ala To’et

oleh
Post Card To'et. (repro : Khalis)

Catatan Fitra Windi Ariga 

DIDONG telah menjadi nafas seni dari daerah Gayo. Tepukan tangan dan keindahan syair menjadi daya tarik yang unik. Keserasian itu mampu menyihir pendengar untuk turut serta merasakan emosi dari Ceh yang melantunkannya.

Bagi penikmat Didong tentu sangat mengenal yang namanya Abdul Kadir atau To’et. Seniman yang lahir pada tahun 1922 ini telah mengabdikan dirinya untuk kesenian Gayo. To’et sendiri pernah merasakan pahit getirnya penjajahan Belanda dan Jepang. Ketika Jepang berkuasa To’et ikut dibawa dibawa tentara Jepang untuk kerja Rodi.

Namun karena To’et memiliki kelebihan dalam berkeseniaan, ia diminta untuk menghibur anak-anak muda Jepang dengan syair-syair Didongnya. Bahkan komandan Jepang yang terkenal kejam dan selalu mengawasinya suka dengan kemerduannya bernyanyi. Dan dia sempat mengajarkan To’et lagu-lagu Jepang.

To’et (dua dari kanan) berama rekan-rekannya. (Foto direpro dari dokumen keluarga To’et)

Abdul Kadir “To’et” terlahir dari sebuah keluarga yang sangat sederhana, di sebuah kampung yang bernama Kemili Kecamatan Bebesen. Masa kecil To’et sangat menyukai permainan tradisional setempat seberti bermain kemiri, penyo, keneker atau pun bermain galah asin. To’et pun sangat akrab dengan lingkungan pertanian seperti sawah, ladang, sungai, padi, kebun juga ternak.

Bagi To’et, antara pertanian dan seni tidak bisa dipisahkan. Bertani tanpa seni berat dirasakannya, namun sebaliknya jika sambil bekerja di sawah kita berdidong, pekerjaannya jadi semangat dan menggembirakan. Oleh karena itu banyak syair-syairnya yang berasal dari alam dan pengalamannya.

Kekuatan puisi To’et terletak pada kedekatannya dengan kehidupan. Seolah puisi-puisi yang didendangkan adalah rekaman kehidupan seorang petani yang sederhana. Makna atau pesan yang disampaikan hanyalah pelengkap dari rekaman kehidupan tersebut.

Din dan Dong
Seni Didong yang berkembang di Aceh tidak bisa dilepaskan dari keberadaan agama Islam pada saat itu (dan juga sekarang). Menurut penuturan To’et kepada salah seorang anaknya, Didong berasal dari kata Din dan Dong. Din berarti agama. Dong berarti dakwah. (Wallahu a’lam)

Dalam pemahaman yang lebih luas dan komprehensif maka seni didong dipahami sebagai suatu uapaya penyebaran agama Islam melalui sebuah media syair. Banyak para Ceh saat itu bercerita mengenai para Nabi, tentang Haji, Zakat dan sebagainya. Dengan kata lain seni Didong adalah sebuah penanaman nilai-nilai iman melalui syair-syair tersebut.

Lukisan ceh Ceh Didong To’et, karya Irwansyah

Yang menjadi keprihatinan para Ceh didong adalah adanya reduksi makna dari didong itu sendiri. Didong yang dulu dipahami sebagai media dakwah menjadi keluar dari rel yang sebenarnya. Syair yang didendangkan berisi tentang keindahan, keteladanan, keimanan, rasa syukur ajakan berbuat kebaikan. Kini Didong telah dipakai sebagian orang utnuk tujuan yang tidak baik.

Seni Didong menjadi sebuah warisan berharga dari generasi terdahulu. Warisan ini akan terus memiliki nilai jika saja kita bersedia dengan sepenuh hati untuk terus menjaganya.[Kh]

*Warga Takengon 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.