Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA*
Pelaksanaan Shalat Tarawih dan witir yang dilakukan dengan jumlah setiap malamnya 11 (sebelas) rakaat dengan sani pada rakaat pertama dibaca secara berurut mulai dari surat al-takatsur, al-Ashr, al-Humazah, al-Fil, Urasy, al-Ma’un, al-Kautsar, al-Kafirun dan pada shalat witirnya imam membaca surat al-Ikhlash, al-Falq dan al-Nas. Bacaan pada rakaat pertama ini dibaca berulang pada setiap malamnya sampai akhir ramadhan. Sedangkan bacaan sani untuk rakaat ke dua mulai malam pertama sampai kepada malam ke 15 imam selalu membaca surat al-Ikhlash dan mulai pada mala 16 sampai akhir ramadhan imam selalu membaca surat al-Qadr.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada masa ini tidak ada perdebatan dan malah tidak ada pertanyaan tentang mana yang lebih baik antara shalat tarawih yang sebelas rakaat dengan yang dua puluh tiga rakaat. Tidak adanya perdebatan dan tidak adanya pertanyaan pada saat itu dikarenakan kepatuhan dan ketaatan jamaah (masyarakat) kepada Tengku yang menjadi imam shalat dan berceramah, dalam sebuah Kampung banyak orang yang mampu menjadi imam shalat kendati tidak manyak yang mampu menjadi penceramah. Cerminan ketidak beragama palaksanaan shalat baik yang fardhu dan sunat membuktikan kekompakan dan kebersamaan masyarakat dalam pekerjaan social keagamaan.
Ceramah ramadhan dilakukan setelah selesai shalat isya, tarawih dan witir, semua jamaah mendengarkan materi ceramah yang disampaikan penceramah dengan khusu’, tidak ada yang ribut karena dalam pengetahuan mereka semua yang disampaikan sangat penting dalam kaitannya dengan kehidupan ketiga pada waktu dibangkitkan setelah kematian nanti, melalui ceramah ini para jamaah semakin tau kalau kebaikan yang dilakukan walau sebiji sawi (jarrah) akan mendapatkan pahala dan demikian juga dengan kejahatan yang dilakukan juga akan mendapat ganjaran. Pada saat mendengarkan ceramah biasa bapak-bapak duduk setengah melingkar mengikut bentuk mersah dengan bersandar kedinding, sambil mendengarkan ceramah mereka juga sambil merokok dan minum kopi serta keu sebagai makanan ringan yang disediakan. Sedangkan ibu-ibu duduk menghadap penceramah sebagaimana shaf mereka ketika shalat, hanya saja cara duduk mereka lakukan lebih santai.
Secara bergiliran selama bulan ramadhan masyarakat kampung mengantar minuman dan makanan ke-Mersah yang diperuntukkan, pertama : untuk makanan dan minuman untuk berbuka orang-orang yang menunggu shalat maghrib sembari membunyikan lonceng atau serine sebagai tanda sampainya wantu berbuka puasa, kedua : untuk makanan dan minuman secara bersama setelah selesai shalat tarawih dan sambil mendengan ceramah dari Tengku, minuman ini juga disiapkan untuk yang tidur dan tadarus di mersah.
Tidak langsung setelah shalat isya, tarawih dan witir mereka membuka al-Qur’an dan membacanya tetapi biasanya mereka beristirahat sekitar satu jam atau lebih sambil bercerita tentang apa yang dilakukan pada siang harinya, mereka sering bercerita tentang hewan ternak (kerbau dan kuda) peliharaan sekaligus berbagi ilmu tentang cara memelihara dan merawatnya, mereka juga bercerita tentang lahan perkebunan yang dikerjakan selama setahun. Karena ada sebagian dari penduduk kampung yang yang selama 11 bulan tinggal dan menetap di tempat garapan, mereka baru pulang kekampung ketika bulan ramadhan dengan tujuan beribadah selama satu bulan. Pengalaman mereka selama satu tahun inilah yang mereka ceritaka kepada jamaah yang lain dan yang lain mempunyai pengalaman yang berbeda yang juga diceritakan, sehingga terbentuklah sebuah diskusi yang mempunyai banyak manfaat walaupun tidak formal.
Untuk mereka yang masih belum berkeluarga mempunyai kelompok bercerita sendiri dengan bentuk dan tema cerita yang berbeda, ada yang bercerita tentang tandangan mereka dengan orang-orang di kampung lain dan ada juga yang bercerita tentang persiapan-persiapan untuk masa depan dalam rangka membangun keluarga nantinya. Dialog, cengkerama, dan diskusi diantara mereka berjalan dengan santai dan penuh kegembiraan dan diantara mereka saling memotivasi, sehingga mereka yang tidak rajin merasa terpinggirkan dan menjadi olokan bagi temen-temannya yang lain.
Ketika sedang asik bercerita biasanya ada yang mengingatkan untuk memulai bertadarus (membaca al-Qur’an) maka secara serta merta semua kelompok diskusi/cerita bubar dan membuat lingkaran untuk memulai mengaji. Pengajian (tadarus) pada malam pertama ramadhan dimulai dari surang al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai tamat, dengan jumlah ayat, surat dan juz yang tidak ditentukan untuk setiap malamnya. Pengajian yang dilakukan secara bergilir ini dilakukan sambil memperbaiki makhraj, tajwid dan ilmu-ilmu lain yang berkenaan dengan cara membaca al-Qur’an. Mereka tidak saling belajar dan mengajar bagaimana menterjemahkan al-Qur’an tetapi mereka hanya memfokuskan diri pada membaca, hasil yang didapat dari mengaji pada bulan ramadhan ini sering mereka yang selama ini bacaannya kurang bagus menjadi lebih bagus dan pengetahuan tentang membaca juga banyak didapat karena mereka yang ada dalam lingkaran pengajian itu saling berbagi lmu pengetahuan. Karena pengajian dilakukan secara bersama-sama dan dengan kemampuan mengaji yang berbeda, maka masing-masing mereka sangat terbuka terhadap pengajaran dan kritik dari sesama teman mengaji mereka. Itulah diantara alasan sehingga pelaksanaan pengajian pada bulan ramadhat tidak ada target tentang jumlah ayat, surat dan juz yang harus diselesaikan.
Bagi mereka tadarus yang dipahami adalah pembelajaran dalam membaca al-Qur’an, setiap orang harus bisa mengaji, dan kalu sudah bisa maka untuk perbaikan harul dilakukan secara bersama-sama ketikan engadakan tadarus di bulan ramadhan, sedang pada bulan yang lain tidak ada waktu khusus untuk saling belajar tetapi lebih banyak dilakukan sendiri-sendiri.