[Cerpen]
Fathan Muhammad Taufiq
KUBIARKAN perempuan itu menikmati makanannya, perlahan aku beringsut dari tempat itu dan kuambil handpone untuk mengabadikan pemandangan langka itu. Perempuan itu tidak bereaksi apapun ketika aku mencoba mengambil gambarnya. Usai memotret beberapa gambar aku kembali mendekati perempuan itu, dia sedang mengelap mulut dengan ujung selendang penggendong bayinya.
“Terima kasih bang”, katanya lembut.
Tiba-tiba perempuan itu berkata lirih, nyaris tidak terdengar, aku cuma mengangguk sambil tersenyum, ternyata perempuan ini tidak bisu, gumanku dalam hati.
Ia menjulurkan tangannya ke arahku, sepertinya akan memberikan sesuatu.
“Ambil ini bang, mungkin nanti ada gunanya buat abang!”.
Perempuan itu menyerahkan sebentuk batu cincin berwarna biru yang mengeluarkan cahaya. Aku jadi teringat ketika menyaksikan pameran batu mulia di Jakarta, kalau tidak salah para pecinta batu mulia menyeut batu seperti itu Blue Safir, konon harganya sangat mahal. Sebenarnya aku tidak tega mengambil batu itu, tapi aku tidak ingin mengecewakan perempuan itu.
“Terima kasih bu”, jawabku. Setidaknya hanya itu yang mampu kuucapkan.
“Bang, boleh saya minta tolong!”, lagi kudengar perempuan itu berucap lirih, aku langsung mengangguk.
“Kalau sewaktu-waktu abang melewati daerah ini, tolong abang tinggalkan sedikit makanan dan air di dekat batu itu”, jelas perempuan itu sambil menunjuk kearah batu besar itu.
“Aku ngak tega melihat anakku kelaparan”, lanjutnya.
Tiba-tiba angin bertiup sangat keras, pohon-pohon pinus bergoyang-goyang, beberapa cabang kayu mulai patah dan berjatuhan, aku coba menghindar. Tapi angin besar itu hanya datang sebentar, suasana kembali hening, aku kembali ke tempat perempuan tadi, tapi ia sudah tidak ada disana. Aku mencoba mencari kesana kemari tapi sia-sia saja, perempuan dan anaknya itu seperti lenyap di telan bumi. Akhirnya aku memutuskan kembali ke mobil.
Kulihat Hendra dan Anton terlihat kesal, rupanya mobil itu belum bisa hidup.
“Darimana saja bro, aku sama Anton sudah putus asa nih”, kata Hendra menyambut kedatanganku dengan kening bekerutnya.
“Tadi perutku sakit, jadi aku cari sungai ke bawah sana”, aku berbohong. “Memangnya mobilnya belum mau hidup ya?”
“Semua sudah kuperiksa, tidak ada yang rusak, tapi anehnya mobil ngak mau hidup juga, jangan-jangan ini ulah penunggu tempat ini”, Anton menimpali.
Kata-kata Anton yang terakhir tadi mengingatkan aku pada prempuan dan anak kecilnya itu.
Aku mendekati stir lalu mengambil kunci kontak yang masih tergantung di tempatnya, kurogoh kantong untuk mengambil batu pemberian perempaun tadi. Antara percaya dan tidak, kugosokkan batu itu pada kunci kontak, dan keajaiban pun terjadi.
Begitu kunci kontak itu kupasang kembali lalu kustart, mobil kami langsung hidup, Hendra dan Anton terkejut melihat itu semua. Tetapi aku tetap merahasiakan apa yang baru saja aku lakukan, kalaupun kuceritakan yang sebenarnya pasti mereka tak bakalan percaya.
“Ayo naik, mobilnya sudah hidup!” kataku pada kedua temanku.
Aku sudah akan menjalankan mobil ketika aku teringat sesuatu, aku teringat permintaan perempuan tadi sebelum ia lenyap. Kubuka pintu mobil lalu kuambil semua bekal makanan yang ada di mobil, aku melangkah ke arah batu besar yang terbelah di tengahnya itu, meletakkan makanan dan minuman disana lalu kembali ke mobil, kulihat Hendra dan Anton bengong melihat apa yang kulakukan,
“Apa-apaan yang kamu lakukan itu bro, itukan bekal makanan dan minuman kita, terus nanti kita makan apa?”, Anton agak protes.
“Sudahlah, nanti di perbatasan ada warung makan, kita bisa makan disana sekalian membeli perbekalan tambahan, sudah nggak jauh dari sini”, jawabku.
“Terus apa tujuan kamu meletakkan makanan itu disana?”, Hendra rupanya penasaran juga, tapi aku ngak mungkin menjelaskan yang sebenarnya.
“Gini lo Hen, kita disini nggak cuma bertiga, ada orang lain yang juga butuh makan dan minum seperti kita!”, aku coba mengalihkan penjelasan.
“Tapi dari tadi aku nggak melihat siapa-siapa”, protes Hendra.
“Sudahlah , nggak usah dibahas lagi, kita harus segera berangkat, ntar kesorean!” aku memotong kepenasaran mereka, dan kamipun segera melanjutkan perjalanan.
Belum sampai satu jam perjalanan dari tempat tadi, kamipun sampai di Kampung Ise-ise, sebuah desa kecil yang merupakan perbatasan dua kabupaten di Gayo. Disitu ada sebuah warung makan yang lumayan besar, kami berhenti untuk mengisi perut yang memang sudah terasa keroncongan. Kebetulan menu siang itu cukup istimewa, ada gulai asam pedas ikan Pedih atau Gegaring. Sejenis ikan yang hidup di sungai-sungai kalau di daerah lain orang menyebutnya ikan Hampala. Ada juga dendeng rusa, tidak ketinggalan sayur daun ubi dan sambal terasinya. Kami memang sudah sangat lapar baru kemudian memesan kopi Gayo sebagai “perapat” makan siang.
Secangkir kopi Gayo terasa nikmat sekali. Disela itu aku membuka hp, aku ingin melihat kembali gambar perempuan misterius yang sempat kufoto tadi. Tetapi aku kembali terkejut, tidak ada gambar perempuan dan anaknya itu, yang ada hanya gambar pohon pinus tua dan serakan bungkus nasi dan roti. Kuperiksa kembali foto-foto itu, hasilnya sama, foto perempuan itu tidak terekam di hpku.
Aku sangat heran dengan kejadian itu dan berusaha menyembunyikannya di depan kedua temanku yang sedang asyik dengan permainan asap rokoknya. Aku meraba saku celanaku, batu pemberian perempuan itu masaih ada, aku meminta plastik kecil kepada pemilik warung untuk membungkus batu aneh itu, dan sebelum Hendra dan Anton melihatnya aku sudah mengamankannya di dompet.
Sebenarnya tidak percaya dengan cerita atau legenda yang beredar tentang Atu Belah, tapi kejadian yang kualami seperti memaksa nalarku untuk mempercayainya. Bahwa perempuan penunggu itu Atu Belah ada. Pesan perempuan misterius itu akan selalu aku ingat jika melintas kembali di daerah itu.
Secangkir kopi Gayo telah kembali menyegarkan kepala, kuajak kedua temanku untuk melanjutkan perjalanan. Kuserahkan kunci mobil pada Hendra, rasanya aku ingin tidur, aku ingin melupakan Atu Belah dan perempuan itu, meski begitu sulit melupakan kejadian itu.[SY] TAMAT.
Batu Biru Dari Perempuan Penunggu Atu Belah. (Bag.1)