Yusradi Akan Jadi Pembicara Utama Bahasa Ibu di Jakarta

oleh

YusradiJakarta-LintasGayo.co : Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan akan mengadakan Seminar Nasional dan Festival Bahasa Ibu Digelar pada hari Selasa dan Rabu, 29-30 Maret 2016 di aula Gedung Samudera, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan tema Bahasa Ibu Peletak Pondasi Kecerdasan Anak.

Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Sugiyono, menjelaskan, seminar bahasa ibu tersebut akan mengundang pakar linguistik dan pemerhati/aktivis bahasa bahasa daerah. Salah satunya, Yusradi Usman al-Gayoni, seorang peneliti dan penulis. Selain seminar, diadakan pula Festival Anak Berbicara dan Anak Bercerita Bahasa Daerah serta Inventarisasi Kosakata Kuliner Nusantara yang diikuti ibu-ibu dari Provinsi Sumatra Utara, Bali, DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Banten.

“Jadwal saya lusa, hari Rabu (30/3/2016), bersama Prof. Emi Emilia, M.Ed., Ph.D. Sementara, di hari pertama besok (29/3/2016) diisisi Prof. Dr. Dadang Sunendar, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan Dr. Sugiono, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,” kata Yusradi Usman al-Gayoni di Jakarta, Senin (28/3/2016).

Dalam seminar itu, jelas Yusradi, dia akan memaparkan makalah tentang Peran Kekeberen dalam Melestarikan Bahasa Gayo dalam kaitannya dengan kecerdasan anak. “Kekeberen (bercerita) merupakan salah satu dari sepuluh sastra lisan Gayo. Namun, orang tua di Gayo sudah jarang ber-kekeberen. Apalagi, yang berisi tentang cerita-cerita rakyat Gayo,” katanya, sambil melanjutkan bahwa kekeberen mengandung kearifan lokal yang ada di Gayo.

“Semua pengetahuan tentang Gayo ada dalam kekeberen. Hubungannya (dengan kecerdasan anak) sangat kuat. Banyak sekali kearifan lokal, nilai, moral teaching dan pengetahuan dalam kekeberen yang bisa meningkatkan kecerdasan serta menguatkan kepribadian dan karakter anak,” tegas penulis buku Ekolinguistik tersebut.

Daya dukung kekeberen di Gayo, jelasnya, kurang. Lebih-lebih, orang Gayo, terutama yang mendiami Takengon dan Bener Meriah mulai tidak berbahasa Gayo. “Dalam rumah tangga, orang Gayo sudah mulai berbahasa Indonesia. Lebih luas, dalam lingkungan ketetanggaan. Lingkungan berbahasa yang tadinya bahasa Gayo, sudah berubah, berbahasa Indonesia. Ekologi kebahasaan seperti itu,” tuturnya.

Dibeberkan Yusradi, generasi 1930-1960-an di Gayo masih berbahasa Gayo sesamanya dan ke anaknya yang lahir pada tahun 1970-1980-an. Namun, generasi kelahiran 1970-1980-an mulai berbahasa Indonesia ke anaknya. “Kalau bapak-mamak (ibu)nya sudah berbahasa Indonesia, sudah pasti kakek neneknya akan berbahasa Indonesia ke cucunya yang lahir tahun 1990-2000-an. Karena, cucunya tidak diajarkan, kurang mempelajari, dan tidak menggunakan bahasa Gayo. Sementara, lingkungan kebahasaannya pun sudah berbahasa Indonesia. Ini makin menguatkan penggunaan bahasa Indonesia,” sebutnya.

Kekeberen sangat memegang peran penting, sebut penulis 8 buku dan sudah mengeditori 25 buku itu, dalam pelestarian bahasa Gayo. Soalnya, dilakukan orang tua di rumah, dan rumah tangga menjadi benteng terakhir pertahanan bahasa. “Meski tidak bercerita tentang cerita-cerita rakyat Gayo, karena dokumentasi cerita rakyat Gayo juga tidak semua dimiliki masyarakat Gayo, orang tua bisa bercerita tentang cerita-cerita lain yang dikemas secara sederhana. Namun, dimasukan istilah dan local content yang ada di Gayo. Hasilnya, bahasa Gayo akan terus bertahan, lestari dan bisa diwariskan kepada generasi Gayo yang akan datang. Terutama, generasi Gayo yang lahir di atas tahun 2010-an,” katanya berharap.

(SP | DM)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.