Oleh: Supri Ariu*

MOTIF yang terdapat pada kerawang milik Kabupaten Gayo Lues menjadi salah satu motif paling digemari saat ini. Perkembangannya dari tahun ke tahunpun semakin meningkat. Pakaian kebanggaan masyarakat daerah berjuluk Negeri Seribu Bukit ini sukses mendapat perhatian. Mulai dari masyarakat Provinsi Aceh, Indonesia, bahkan negara luar.
Daya tarik, warna dan motif serta identitas tari Saman yang mendunia menjadi faktor pendukung kenapa motif kerawang Gayo Lues begitu digemari khususnya para wanita.
Seperti baru-baru ini, istri Presiden Indonesia ke-6 Ani Yudhoyono memposting foto sang cucu mengenakan kemeja bermotif kerawang Gayo Lues di media sosial miliknya yang spontan menuai pujian dari ribuan masyarakat umum. (Baca: Wow! Ani Yudhoyono Posting Foto Cucu Pakai Baju Kerawang Gayo Lues)
Selain itu, wacana pemerintah Indonesia menetapkan kerawang Gayo Lues menjadi pakaian resmi bagi peserta HUT Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta (Baca: Kerawang Gayo; Pakaian Resmi HUT TMII ke-41 Disiapkan 3000 Helai). Tidak tanggung-tanggung, sebangak 3.000 helai pakaian bermotif kerawang Gayo Lues disiapkan.
Namun, masalah baru kembali muncul. Sangat disayangkan, sosialisasi atau publikasi filosofi, identitas, sejarah dan makna dari kerawang Gayo Lues itu sendiri belum sesempurna seperti kesuksesan tentang daya tariknya saat ini.
Walaupun kerawang Gayo Lues saat ini mulai mengikuti jejak kesuksesan Tari Saman yang cukup mencuri perhatian dunia, namun tak bisa dipungkiri, masyarakat malah kerap bingung dan bahkan tidak tahu mengenai asal, makna atau filosofi dari kerawang Gayo Lues itu sendiri. Parahnya lagi, jangankan masyarakat luar, para pelajar dan muda-mudi Gayo Lues sendiri mulai awam dengan identitas dari kerawang ini. Tentunya ini menjadi ‘PR’ penting bagi masyarakat dan Pemerintah Gayo Lues. (Baca: Ashi dan Juli, Kakak Beradik Pecinta Kerawang Gayo)
Salah satu faktor masalahnya adalah, karena masih sangat kurangnya sosialisasi dari kerawang Gayo Lues itu sendiri, baik dalam bentuk tulisan, video, gambar dan lain-lain. Penulis berharap, buku pintar mengenai kebudayaan Gayo Lues seperti tari Saman, Bines, Didong, Melengkan, serta motif kerawang Gayo Lues ini bisa disusun dan di edarkan di seluruh sekolah di Gayo Lues.
Sebelumnya, penulis senior asal Gayo Muhammad Syukri pernah menulis asal mula kerawang milik Aceh Tengah (Baca: Ini Asal Usul Ukiran Kerawang). Tulisan tersebut berdasarkan bukti ilimiah yang dilakukan seorang arkeolog Ketut Wiradnyana di Ceruk Mendale, Aceh tengah. Perlu diketahui, meskipun memiliki nama dan beberapa jenis motif yang sama, namun ciri-ciri keseluruhan antara kerawang Gayo milik Aceh Tengah dan Gayo Lues sangat berbeda.
Mengenai kerawang milik Gayo Lues, salah satu Beru (Gadis, Gayo:Red) asal Kampung Sere, Blangkejeren Gayo Lues yakni Juli kepada LintasGayo.co, Minggu (13/3/2016) siang menjelaskan sejarah singkat dan makna dari motif kerawang Gayo Lues ini yang dia dapat dari penjelasan orang tuanya dan sejumlah buku.
Juli, Mahasiswi Farmasi, Universitas Tjut Nyak Dhien Medan ini merupakan salah satu pengrajin kerawang Gayo Lues. Gadis kelahiran Blangkejeren, 20 Juli 1995 ini mengaku, usaha keluarganya membuat kerawang sudah mengalir secara turun temurun. Juli sendiri, sejak kecil sudah diperkenalkan tentang kerawang. Karena itu, membuat kerawang Gayo Lues bukan lagi hal yang sulit. Baginya, kekayaan tanah kelahirannya tersebut sudah menjadi kecintaan yang ditanam sudah begitu dalam.
Juli mengakui, saat ini buku atau bukti otentik mengenai kerawang Gayo Lues ini dinilai masih sangat minim. Dalam kesempatan ini, Juli berharap, pengetahuan mengenai sejarah dan makna dari kerawang bisa menambah kecintaan para pelajar Gayo Lues untuk lebih mencintai segala budaya Gayo Lues.
Juli menjelaskan, kerawang Gayo adalah nama sebutan terhadap motif-motif ukir pada suku Gayo di Provinsi Aceh. Motif yang terdapat pada kayu bangunan rumah, bahan anyaman, gerabah, logam, dan kain merupakan kerawang. Dalam perkembangannya yang panjang, motif kerawang diukir juga pada gading, kayu dan disulam pada kain sebagai pelengkap rumah adat suku Gayo.
Secara harfiah, kata kerawang berasal dari dua kata yaitu “iker” yang berarti dasar buah pikiran, dan “rawang” yang berarti ramalan. Jadi Kerawang dapat diartikan ramalan sebuah pikiran pemagar adat. Penambahan kata Gayo merupakan bentuk identitas dari suku Gayo yang bermukim di tanah Gayo.
Menurut kepercayaan masyarakat Gayo, kerawang memiliki cerita perkembangan yang amat panjang. Masyarakat suku Gayo meyakini bahwa kerawang sudah ada sejak nenek moyang suku bangsa Gayo bermukim di daerah tanah Gayo. Nenek moyang suku bangsa Gayo adalah manusia-manusia yang berada di dataran tinggi atau pegunungan, hal ini yang sampai sekarang dari masyarakat setempat maupun masyarakat Aceh secara umum menyebutnya dataran tinggi Gayo.
Sejarah kerawang Gayo bermula pada saat nenek moyang suku Gayo bermukim di Gayo. Dahulu pada awal perkembangannya, kerawang merupakan hasil buah pikiran dari para pemangku adat (Tokoh-tokoh adat). Secara teliti dan cermat pemangku adat memikirkan dan meramalkan sebelum menetapkan simbol-simbol yang tepat untuk dibuat, ternyata hasil buah pikiran dan ramalan tersebut berbuah hasil sebuah motif-motif yang dianggap simbol-simbol yang kemudian disebut kerawang.
Pada awal mula perkembangannya simbol-simbol (Kerawang) dituangkan pada kayu yang diambil dari alam sekeliling. Simbol yang diukir pada kayu dengan cara pahat tersebut dijadikan sebagai hiasan pada rumah masyarakat setempat. Pada saat itu masyarakat Gayo diperkirakan belum mengenal tulisan. Inilah yang menjadikan keunggulan suku bangsa Gayo, pada saat itu simbol-simbol kerawang difungsikan sebagai simbol-simbol yang meliliki makna tentang “tutunan dan tatanan” di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Simbol yang dibuat juga bertujuan untuk kiranya suku Gayo tetap memegang pedoman pada simbol yang memiliki nilai-nilai tersebut dimanapun berada, terutama dalam bersikap dan berperilaku.
Sederetan simbol-simbol ternyata tidak berhenti pada sebatas ukiran pada kayu. Kemahiran yang dimiliki masyarakatnya pada saat itu menjadikan kreasi baru dimana simbol kerawang dituangkan pada seni anyam, dalam bahasa Gayo dikenal dengan munayu. Seni anyam lebih dominan dilakukan oleh para wanita untuk mengisi waktu yang luang. Tidak sulit untuk menemukan peralatan untuk anyaman kerawang, biasa benda yang digunakan dari tumbuhan air yang ada di alam sekitar, oleh masyarakat setempat menyebutnya kertan.
Benda-benda anyaman yang dihasilkan berpariasi ada berupa alas (tikar), sentong (jenis kantong untuk penyimpanan nasi) dan tape (kantong untuk tempat bawaan pada acara adat). Pada dasarnya ada sedikit perbedaan simbol-simbol yang dibuat pada benda anyaman dengan kayu, dimana jika pada kayu motif berbentuk bundar tapi pada anyaman hanya bisa berupa simbol motif yang berbentuk vertikal dan horizontal. Namun demikian simbol-simbol motif tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Pengetahuan masyarakat kian hari semakin bertambah, nilai seni yang cukup tinggi menjadikan kerawang semakin berkembang pada berbagai benda. Peralatan untuk sehari-hari seperti Keni (Kendi, Gayo.Red), pragmen hias, gerabah, gading, perhiasan dan benda lainnya juga dibubuhi simbol-simbol
Berikut beberapa keterangan tentang motif pakaian kebanggaan masyarakat Negeri Seribu Bukit tersebut yang ditulis oleh DRS. Isma Tantawi, M.A dan DRS. Buniyamin S dalam bukunya berjudul Pilar-Pilar Kebudayaan Gayo. Motif-motif yg terdapat pada adat Gayo adalah: mata itik, pucuk rebung, sesirung, leladu, mun berangkat, tulen iken, puter tali, bunge kipes, gegaping, panah dan motif selalu.
Warna dasar kerawang Gayo memakai kain warna Item (hitam, Gayo: Red) sedangkan untuk motifnya menggunakan campuran warna Ilang (merah), Putih (putih), ijo (hijau) dan Using (kuning). Berikut keterangan atau makna dari warna-warna yang digunakan dalam motif Kerawang Gayo:
Hitam: merupakan hasil keputusan adat,
Merah: sebagai tanda berani (mersik) bertindak dalam kebenaran,
Putih: sebagai tanda suci dalam tindakan lahir dan batin,
Hijau: sebagai tanda kejayaan dan kerajinan (lisik) di dalam kehidupan sehari-hari,
Kuning: sebagai tanda hati-hati (urik) dalam bertindak.
Jadi, berdasarkan keterangan dari warna-warna kerawang, Masyarakat Gayo dilambangkan sebagai masyarakat yang Mersik (berani), Lisik (rajin) dan Urik (teliti).
Sementara itu, mengenai makna motif yang terdapat pada pakaian adat Gayo sendiri adalah sebagai berikut:
MATA ITIK: Mata Itik mempunyai makna bahwa yg ikut menentukan dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues, adalah penghulu, ulama dan golongan cerdik pandai.
PUCUK REBUNG: Pucuk Rebung mempunyai makna masyarakat Gayo Lues mencintai keadilan dan kedamaian.
SESIRUNG: Sesirung mempunyai makna bahwa dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues selalu salaing membantu.
LELADU : Leladu bermakna bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki harkat dan martabat dan berwibawa.
MUN BERANGKAT: Mun Berangkat bermakna bahwa masyarakata Gayo Lues mempunyai cita-cita dan tata cara dalam kehidupan bermasyarakat.
TULENNI IKEN: Tulenni Iken bermakna masyarakat Gayo Lues memiliki sifat untuk membela diri dalam kebenaran. Takut karena salah dan berani karena benar.
PUTER TALI: Puter tali bermakna dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues terdapat kesatuan dan persatuan.
BUNGE KIPES: Bunge kipes mempunyai makna bahwa Masyarakat Gayo Lues mempunyai harmonis antara manusia dengan Tuhan (Hablumminallah), manusia dengan manusia (Hablumminannas) dan manusia dengan lingkungannya.
GEGAPING: Gegaping mempunyai makan bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki ketaatan terhadap pemerintahan, agama, dan adat istiadat. Murip Ikanung edet mate ikanung ukum (Agama).
BUNGE PANAH: Bunge panah memiliki makna bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki sifat keterbukaan dalam menerima dan menjalankan ketentuan segala hal yang bertentangan dengan agama dan adat.
MOTIF SELALU: Motif selalu bermakna bahwa masyarakat Gayo memiliki sifat kejujuran dan ketulusan hati dalam menjalani kehidupan sehari-hari.