[Puisi] Rahmad Sanjaya
Salam Pada Muyang
Sayup kudengar engkau memanggil
Berteriak dari batu-batu cadas burni Birah Panyang
Menggema seantero danau Lut Tawar
Namaku kau adukan pada sisa-sisa pinus mekusi
Yang tidak jadi ditebang
Gema suaramu menerpa Pedemun diantara
Awan kehitaman yang menawarkan hujan jadi tak jadi
Lalu mental ke Ujung Seré, membias di Bintang sebelum
Tertambat diantara daun-daun jadem di Bebuli
Teriakan itu kembali engkau lontarkan,
Kali ini gemanya menyibak ikan-ikan mujahir di Nosar
Ujung Baro menjadi kiasanmu untuk aku pulang
Katamu di sana Puteri Ijo sedang berdenang didong banan
Semalam suntuk
Owiwo
Sebelah mana jalan ke Gayo, satu kalimat sederhana AR Muse mengupas jejak
tersangkut syair Lakiki dan Toet diantara pematang gersang
yang kini telah menjadi toko menuju Kebayaken
menyayat kekeberen ceh didong Musara diantara kedangkalan danau Lut Tawar
merintih seruling pelu Van Kule diantara hutan yang terus habis dibabat
Denang mari kita berdenang
denang semerbak kute Takéngen yang tak miliki pikat lagi
kota yang cuma dielu-elu kan dalam syair zaman itu juga tak membias ke anak cucu
kota yang hanya menyaji janji muluk diantara liuk bukit barisan yang bertuliskan Gayo Highland
Owiwo inikah jalan ke Gayo
kemana harus mencari kesejukan alam ketika kulkas dan AC sudah menjadi primadona
kemana harus mencari kuda-kuda Gayo ketika sudah digantikan kuda peranakan
kemana harus mencari pinus mercusi ketika semua orang berebut memangsa hutan
kemana harus mencari ikan depik ketika air danau semakin dangkal
dan kemana harus kucari dirimu
masa kecilku yang hilang terbang bersama sejarah kali mesin
disaat air sedang susah
Kini denang segala denang menjadi hiasan sanggul anak-anak Gayo
kibaran opöh kerawang menjadi ungkitan pilu bahasa tetue
tak seindah gegoyong balu menukik diantara papan rumah membuat sarang
aku kehilangan jejakmu diantara jarak waktu yang terus berpendar
hilang terbawa musim
namun terus menyimpan kegalauan
Dari meja tempat aku menulis lekuk bisumu
masih saja kau berikan aku denang renggali
meski sesayup bunyi mesin PLN Dedalu disaat malam merambat
Takéngen kute Takéngen
membiusku di antara guratan lukisan Tomas Tarigan ketika sore usai sekolah
aku menyaru dalam tiupan saxsophonenya yang mendendangkan sepenggal
lagu lama, dia menggambarku dalam kanvas sunyinya
tak jauh dari rumah peninggalan Belanda
anak-anak PNP dan Blangkolak satu berduyun ke lapangan Musara Alun
bermain bola di sore hari dengan riang dan malamnya sekujur kota tersiram
nada-nada lagu pilihan dari radio Amor hingga tepat pukul 12 malam
Oh Takéngen yang tak lagi membekukan tulang
kemana wajah itu kau arahkan
pandangan kusut yang menyirat pekat kegalauan kampung Kebayaken
yang tidak lagi memiliki roda penumbuk padi
karena telah kehingan padi yang cantik ketika menjadi beras
Aku tak jadi pulang saat ini
meski buah kopi arabika sudah saatnya dipanen
biarkan aku menekur sejenak
menyiapkan hati
sembari memaknai gundah gulanamu
diantara pemburu batu giok
yang kepingin cepat kaya
mungkin lain waktu, atau barangkali tidak sama sekali
sebab aku tak ingin membawa oleh-oleh kepiluan
saat kukembali keperantauan nanti
Salamku buat para muyang
katakan aku masih harus berjuang
Banda Aceh, Februari 2010- November 2015
Rahmad Sanjaya lahir di Takengon, salahseorang seniman penting provinsi ini yang mengembangkan genre seni Musikalisasi Puisi di Aceh. [SY]