[Tinjauan Buku]
Salman Yoga S
Judul buku : Kepemimpinan Gayo Dalam Perspektif Sosio Relegius
Penulis : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
Penerbit : CV. Qalbun Salim
ISBN : –
Tahun : 2011
KEPEMIMPINAN dalam segala bidang kehidupan selalu berawal dari individu-individu yang paripurna dalam konsep diri. Bukan pemimpin yang sempurna dalam pencitraan dan kamuflasi. Dalam Islam menjadi pemimpin dianggap sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik, karena kelak Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinan atas dirinya, keluarga dan orang lain dalam pengertian luas. Islam juga mensyaratkan beberapa hal dalam kepemimpinan publik, yaitu beriman dan beramal shaleh, niat yang lurus, tidak meminta jabatan, bijaksana dan berperilaku adil, tegas, membela dan memperjuangkan kepentingan umum di atas diri dan golongan serta sejumlah kriteria lainnya.
Sementara dalam konteks ke-Gayo-an syarat dan kriteria kepemimpinan ini tidak jauh berbeda. Justru penerapannya diklasifikasikan berdasarkan jenjang dan jenis/bentuk kepemimpinan itu sendiri. Kalimat muperlu sunet, musuket sipet, tertib bermenjelis, musidik sasat, bijak kin perawah, teger kin penemah, setie, semayang gemasih,amanah, bersikekemélen, jujur adalah serangkaian filosofi dari jenis/bentuk dan tingkatan sekaligus menjadi isyarat skill bagi seorang calon pemimpin. Bukan yang cacat moral dan cacat aturan, apalagi cacat dalam bidang pengamalan ajaran agama. Karena seorang pemimpin adalah kulminasi dan refsentasi sebuah rezim/birokrasi, peradaban sekaligus cermin yang memantulkan banyak sisi kemuduran atau kemajuan sebuah daerah.
Buku yang berjudul “Kepemimpinan Gayo Dalam Perspektif Sosio Relegius” yang ditulis oleh Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA sebahagian kecil memuat hal-hal tersebut. Dengan pendekatan analis isi syair (Content Analisys) dan pepatah Gayo yang hampir kesemuanya telah ditransformasikan melalui media seni Didong, menjadi rujukan sekaligus objek diagnosanya dalam melihat syarat menjadi pemimpin dalam adat-tata nilai budaya Gayo serta agama.
Ini buku yang mengabungkan antara refrensi kerarifan lokal Gayo dengan pemikiran dan analis penulis terhadap Gayo itu sendiri. Konsepsi dan analisanya terhadap pemekaran wilayah Provinsi Aceh menjadi Aceh Louser Antara (ALA) ditinjau dari segi pemerintahan dan penerapan syariat Islam adalah satu sudut yang cukup menggelitik. Konsepsi administrasi dan kepemimpinan yang kemungkinan akan lahir dinilai oleh H. A. Basiq Djalil sebagai suatu yang “akan” melenceng dari tatanan ideal.
Kekhawatiran-kekhawatiran inilah yang mengisi seperempat isi buku dibanding dengan konsistensinya dengan tajuk/judul buku, seperti bahasan tentang hikmah perkawinan dan pidato penyerahan dan penerimaan pengantin, tentang kematian dalam perspektif Islam dan periodeisasi sejarah Aceh kontemporer. Kandungan isi buku hanya 55 ℅ dan 45℅-nya adalah berupa petikan dari jenis karya tulis yang berbeda, sehingga sekilas buku ini lebih tepat disebut sebagai “Bunga Rampai dan Pemikiran” dari penulisnya. Karena kolerasi antar bab mempunyai signifikansi yang tidak berimbang.
Pun demikian dalam memilih dan menseleksi pemimpin, karya H. A. Basiq Djalil ini patut diapresiasi. Ciri pemimpin dan calon pemimpin yang kerap hadir di tengah masyarakat adalah dalam bentuk “tampak depan”, dengan bahasa lain dari “pencitraan”. Dalam bahasa politik dan Komunikasi Massa hal seperti ini disebut dengan dramaturgi. Dalam buku tanpa ber-International Series Book Number (ISBN) ini H. A. Basiq Djalil menyebutnya dengan istilah “Topeng Seribu”. Yaitu suatu “penyakit” kepribadian yang harus diwanti-wanti oleh masyarakat jangan sampai mendukung apalagi memilihnya, tulisnya. Ya, tentu karena penampakan “tampak belakang” akan berbanding terbalik dari yang dicitrakan.
Dengan mengetengahkan sejumlah contoh kasus penulis mendifnisikan “Topeng Seribu” adalah sebagai serigala yang berbentuk kucing imut. Bisa tampak tenang, punya tampilan yang memikat, dapat dipercaya, humoris, pandai berkata-kata dan merayu, tapi sesungguhnya di dalamnya penuh rasa permusuhan, kemarahan dan ketersinggungan. Mereka memainkan peran sesuai dengan situasi dan kepentingan yang ingin diraihnya, ia aktor dari segala aktor.
Manusia “Topeng Seribu” tidak selalu bersentuhan langsung dengan hukum sebagai pelaku kriminal, sekalipun mereka mempunyai kecenderungan berprilaku kriminal, melakukan kekerasan dan melabrak norma-norma hukum. Justru mereka yang lebih banyak mondar-mandir di sekitar kita sebagai orang terhormat. Tulis H. A. Basiq Djalil di halaman 62.
Terkait kajian dan pandangan terhadap kemungkinan terbentuknya provinsi Aceh Louser Antara (ALA). H. A. Basiq Djalil mengetengahkan sejumlah keraguannya. Keraguan tentang sebuah perubahan tata nilai kepemimpinan Gayo, dan keraguan tentang perubahan-perubahan lain yang mungkin terjadi, termasuk penerapan syariat Islam.
Pentingnya membaca karya ini adalah untuk melihat sisi dinamika pemikiran tentang pro-kontra pembentukan provinsi baru di Aceh di antara beberapa sudut pandang lainnya, dan buku ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hal tersebut. Meskipun tidak cukup mewawikili dari faksi-faksi yang ada, setidaknya pemikiran yang terangkum dalam tulisan setebal 122 halaman ini dapat menjadi masukan sekaligus kajian serta otokritik bagi semua. Terlebih buku yang tanpa daftar pustaka ini juga memformulasikan rekomendasinya dalam tujuh poin bagi siapapun yang memimpin di Aceh dan Gayo.[]