Catatan : Darmawan Masri*
KOPI, denyut nadi urang Gayo. Aroma khas kopi arabica memang begitu menggoda. Sebabnya, Gayo kini dilirik dunia. Dunia perkopian memang selalu menarik diceritakan di daerah berhawa sejuk ini, mulai dari warung-warung kopi yang menyajikan pola minum kopi modern kini menjamur bak cendawan di musim hujan di kaki gunung yang terbentang mulai dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan sebagian Kabupaten Gayo Lues ini.
Yah, itulah kopi. Inovasinya memang tiada henti. Seperti yang dilakoni oleh seorang yang dulunya dikenal sebagai aktivis pecinta lingkungan di tanoh Gayo. Adalah Sadikin biasa disapa Gembel, salah satunya.

Berbekal memiliki perkebunan kopi di lereng bukit Bur Ni Telong, di lintasan Takengon-Bireuen tepatnya di kawasan Jamur Ujung, Bener Meriah, sekira 25 KM dari pusat Kota Takengon, Gembel yang dikenal sebagai aktivis lingkungan ini menikmati sekaligus menggantungkan hidup sebagai barista (peracik kopi).
Uniknya, coffee shop milik Gembel tidak seperti kebanyakan kedai-kedai kopi yang menjamur di bumi Reje Linge ini. Gembel memilih, membangun usahanya itu di kebun kopi milik keluarganya. Bangunannya sederhana dan berarsitektur seni tinggi, sebuah pondok kecil terlihat di tengah perkebunan kopi yang hanya beberapa meter dari jalan Nasional Takengon-Bireuen itu.
Gembel pun menamai tempat usahanya itu dengan SELADANG COFFEE. Menurut arti kata bahasa Gayo, Seladang adalah tempat penyimpan awal padi sebelum dirontokkan dari perdunya, Seladang dibangun di tengah persawahan, khusus pada musim panen saja.
Nah, kenapa ayah 3 anak ini menamai coffee shop nya dengan Seladang, ternyata perenang pertama yang melintasi Danau Lut Tawar di tahun 2004 ini punya alasan tersendiri. Kepada LintasGAYO beberapa waktu lalu, Gembel menjelaskan, sebelum kebun miliknya itu ditanami kopi, tempat itu adalah area persawahan milik keluarganya. Mengenang awal adanya tanaman kopi di lahan tersebut, dia pun berinisiatif menamai tempat usahanya itu dengan Seladang.

Apa uniknya minum kopi di Seladang Coffee?. Inilah yang selama ini selalu dipikirkan oleh aktivis lingkungan ini. Instink dekat dengan alamnya pun terbetik, untuk mengubah prilaku minum kopi yang identik di warung-warung kopi menjadi di kebun kopi.
“Sebenarnya ini perubahan prilaku, saat ini masyarakat kitanya masih beranggapan bahwa kebun kopi identik dengan hujan, ulat bulu (sesongot), dan lain sebagainya, hal ini yang mau saya rubah. Caranya, ya buat kebun kopi menjadi tempat yang mengasyikkan dan menarik dulu,” ujarnya.
Ide ini, sebut Gembel sudah tercetus dihatinya sejak 6 tahun lalu, dan baru kurang dari dua bulan belakangan ini Seladang Coffee resmi beroperasi. “Butuh waktu lama saya meyakinkan keluarga, mereka (keluarga) beranggapan mana ada orang yang mau ngopi langsung di kebun, ya saya jawab aja, hanya orang Gila,” kata Gembel sambil bercanda.
Gembel, membuat coffee shop di kebun kopi bukan karena kekurangan modal. Selama ini, warung kopi di tanoh Gayo menjamur di pusat-pusat keramaian di tengah tingginya pertumbuhan penduduk. “Pernah keluarga saya, memberi saran untuk bukanya di pusat ibukota Kabupaten saja, saya menolaknya, saya bersikukuh membukanya tetap di kebun kopi, hingga akhirnya saya berhasil meyakinkan itu, dan seperti yang dilihat saat ini, Seladang Coffee resmi beroperasi,” kata Gembel yang mengaku membangun usaha tersebut banyak dibantu tenaga dan pikiran dari sahabat-sahabatnya.
Selama menjalani bisnis kurang dari dua bulan ini, Gembel dalam sehari dia bisa menghabiskan sedikitnya 1,5 Kg bubuk kopi. Dengan harga, pergelasnya bervariasi. Menu, kopi arabica Gayo yang disajikan pun ada beberapa jenis, mulai dari espresso, black coffee, kopi cimik dan wine cofee, kita bisa memilih menu-menu tersebut sesuai dengan selera.

Uniknya lagi, Gembel menjual kopi tanpa ada pasokan kopi lain. Dia hanya mengandalkan hasil dari perkebunan disekitar cafe nya itu seluas kurang lebih 2 Hektar. Amatan kami, kopi arabica Gayo berjejer rapi, perawatan yang dilakukan pun cukup intensif dilakukan.
Di Seladang Coffee, Gembel tidak hanya menyediakan minum kopi saja, bagi pengunjung yang belum pernah merasakan bagaimana cara dan teknik memetik kopi, Gembel bersedia menemani pengunjung memetik kopi sendiri.
“Cara ini banyak diminati oleh wisatawan yang berkunjung ke daerah Gayo, ada beberapa bule yang datang kemari, saya ajak petik kopi, kemudian proses perontokan kulit menjadi biji dan lain sebagainya, mereka sangat menikmati sekali. Di negara mereka terkadang melihat batang kopi saja tak pernah, namun disini, jika pengunjung mau memeroses sendiri, kami persilahkan, asal jangan dibawa pulang saja. He..he..he..,” Gembel berseloroh.
Gembel beranggapan, semakin menjamurnya cafe-cafe kopi di daerah Gayo, akan semakin bagus bagi perekonomian masyarakatnya. Dia berujar, hal ini akan mengakibatkan kopi-kopi bagus akan diminum oleh masyarakat Gayo sendiri.
“Kita biarkan saja, buyer-buyer luar kesulitan mencari kopi yang bagus dari Gayo, dengan sendirinya harga akan semakin bersaing, perekonomian kita pun akan meningkat, karena mereka (buyer) mau tak mau akan membayar tinggi harga kopi kita,” ujarnya.
Dilanjutkan, kedepan coffee shop miliknya akan semakin dikembangkan lagi. Jika saat ini masih tersedia bangunan sederhana untuk beberapa orang, kedepan Gembel mengatakan, dia berinisiatif akan membuat lesehan di atas batang kopi, mushala di atas batang kopi. “Design konsepnya sih sudah ada, tinggal realisasinya saja, yang jelas tidak mengganggu tanaman kopi yang ada. Satu atau dua bulan kedepan, Insya Allah akan dibangun home stay bagi pengunjung yang hendak menginap disini,” ujar Sadikin Gembel.
Satu hal lagi, sebagai sahabat lingkungan, Gembel akan sangat senang jika sahabat atau tamu yang datang membawa bibit pohon dan langsung menanamnya sendiri di lokasi yang disediakan di areal kebunnya yang tidak kontraproduktif untuk kopi. [Kh]